Kamis, 30 Oktober 2014

Muharram; Sejarah, Ibrah dan Amal

MUHARRAM; SEJARAH, IBRAH DAN AMAL
Bulan Muharram adalah bulan yang mulia. Ia disebut Muharram karena diharamkan terjadinya perang di bulan tersebut.[1]Terlebih bulan Muharram banyak merekam peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah peradaban manusia. Seperti yang disampaikan oleh syaikh nawawi al-bantani al-makki, ia meriwayatkan dari para ulama, bahwa di bulan Muharram inilah Nabi Adam AS diciptakan di syurga, diterima taubatnya, berlabuhnya kapal Nabi Nuh AS di bukit Judi, terbelahnya laut merah dengan mukjizat Nabi Musa AS, ditenggelamkannya fir’aun di laut merah, keluarnya Nabi Yunus dari perut hiu, dan juga keluarnya Nabi Yusuf dari sumur yang gelap, diterimanya taubat kaum Nabi Yunus, dikembalikannya penglihatan Nabi Ya’qub AS, disembuhkannya penyakit Nabi Ayyub, dan Allah mengampuni Nabi Dawud AS.[2]
Sebagaimana diriwayatkan di dalam shahih Imam Bukhari dan shahih Imam Muslim, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah saw ketika telah sampai di Madinah, ia melihat orang-orang yahudi sedang berpuasa seraya berkata, “Ini adalah hari yang agung karena pada hari itu Allah telah menyelamatkan musa beserta kamunya dan menenggelamkan fir’aun beserta pasukannya. Karenanya nabi Musa berpuasa sebagai bentuk rasa syukur, dan kami pun berpuasa. Berkata Rasulullah saw, : “maka kami lebih berhak dan lebih utama mengikuti nabi Musa daripada kalian. Kemudian ia pun berpuasa, dan memerintahkan puasa.
Begitu juga diriwayatkan di dalam shahih bukhari dan Shahih Muslim, hadis Salamah bin al-Akwa’ bahwa Rasulullah saw menyuruh seseorang dari bani Aslam agar mengumumkannya, bagi orang yang sudah makan hendaklah ia berpuasa di sisa harinya, dan bagi orang yang belum makan hendaklah berpuasa, karena hari ini adalah hari Asyura’. [3]
Selain peristiwa tersebut, di bulan Muharram terdapat peristiwa yang sangat monumental yang takkan terlupakan dalam sejarah umat Islam; sejarah yang mampu membalikkan keadaan peradaban manusia dari jahiliyah kepada peradaban yang rahmatan lil alamin, yaitu hijrah Rasulullah saw dari Makkah ke Madinah.
Hijrah Rasulullah saw bukanlah sekadar perjalanan biasa, tetapi hijrah adalah perjalanan keimanan, pengorbanan dan kesabaran. Hijrah adalah titik tolak perubahan dalam membangun masyarakat yang beradab, berpendidikan dan bervisi ke depan untuk menjadi lebih baik. Sebagaimana hijrah Rasulullah saw dari Makkah ke Madinah, sesampainya di Madinah, ia membangun peradaban yang jauh lebih modern dari zamannya, peradaban yang memartabatkan dan meninggikan derajat manusia, peradaban yang membebaskan manusia dari setiap belenggu perbudakan sesama manusia menuju penghambaan hanya kepada Allah swt; dzat pencipta dan penguasa alam semesta.
Bercermin dari hijrah Rasulullah saw, terdapat banyak pelajaran yang bisa diaplikasikan untuk realita sekarang, diantaranya: 

1).Menjaga Keimanan
Ketika di Makkah, Rasulullah saw diperintahkan untuk mengajak manusia agar beriman kepada Allah swt. Mulai dari keluarga, saudara dan masyarakat pada umumnya. Sehingga sebagian masyarakat Makkah pada saat itu beriman kepada Allah dan agama yang dibawa Rasulullah saw tetapi tidak sedikit orang yang menentang dakwanya. Karenanya, untuk menghentikan dakwah tersebut, mereka tidak segan-segan menyiksa orang yang beriman baik dengan perkataan atau bahkan dengan siksaan fisik hingga meninggal supaya mereka kembali ke agama berhala dan meninggalkan agama Islam. Bahkan Rasulullah pun tidak luput dari siksaan tersebut. Oleh karena itu, ketika ada momentum utuk menyelamatkan keimanan para sahabat, Rasulullah saw memerintahkan mereka agar berhijrah; di mulai dengan hijrah ke habasyah (hijrah pertama), dan dilanjutkan dengan hijrah ke Madinah. Hingga tidak ada lagi umat Islam yang tinggal di Makkah setelah perintah hijrah tersebut; untuk menjaga dan menyelamatkan keimanan.
Inilah pelajaran yang sangat berharga untuk individu muslim, keluarga muslim dan masyaraka muslim saat ini. Karena keimanan itu mahal, bahkan lebih mahal dari dunia dan seisinya, lebih mahal dari emas, perak dan permata, dan lebih mahal dari hanya sekadar jabatan dan tahta. Karenanya, keimanan harus dijaga. Mahalnya keimanan dijelaskan Allah swt dalam firman sucinya, :
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَمَاتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْ أَحَدِهِمْ مِلْءُ الْأَرْضِ ذَهَبًا وَلَوِ افْتَدَى بِهِ أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati sedang mereka tetap dalam kekafirannya, Maka tidaklah akan diterima dari seseorang diantara mereka emas sepenuh bumi, walaupun Dia menebus diri dengan emas (yang sebanyak) itu. bagi mereka Itulah siksa yang pedih dan sekali-kali mereka tidak memperoleh penolong.” (QS. Ali Imran: 91)
Dalam ayat lain, Allah memerintahkan agar setiap mukmin menjaga keimanan diri, dan keluarganya agar terhindar dari api neraka. Firman Allah swt :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”.(QS. Attahrim: 6)
Mengenai ayat ini, Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Makki dalam tafsirnya Mirah Labid mengatakan, ajarkanlah kebaikan (Islam) kepada diri, istri dan anak-anak kalian, dan tanamkanlah akhlak mulia yaitu dengan menyuruh mereka melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan, dengan begitu berarti kamu menjaga mereka dari api neraka. [4]
Begitu juga, menjaga keimanan merupakan wasiat terakhir Nabi Ibrahim AS kepada anak keturunannya. Sebagiamana hal ini diabadikan di dalam al-Qur’an, :
وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Dan Nabi Ibrahim telah Mewasiatkan Ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Nabi Ya'qub. (Nabi Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam". (QS. Al-baqarah : 132)
Karenanya, setiap muslim patut untuk mencontoh mereka untuk senantiasa menjaga keimanan yang telah Allah berikan kepada diri dan keluarganya dengan terus istiqamah dalam mentaati Allah swt sehingga mendapat kebahagian dunia dan akhirat serta terhindar dari api neraka. 

2. Pengorbanan
Hijrah mengajarkan bahwa setiap perjuangan dalam rangka ketaatan kepada Allah, menolong agama Allah membutuhkan pengorbanan baik waktu, pikiran, harta bahkan jiwa sekalipun. Para sahabat ketika hijrah dalam rangka menyelamatkan keimanan dan melaksanakan perintah Allah dan Rasulnya, mereka rela mengorbankan harta mereka; rumah, perhiasan dan seluruh yang mereka miliki agar mampu hijrah ke Madinah. Mereka rela meninggalkan itu semua, karena mereka sangat yakin dengan janji Allah, bahwa pengorbanan fi sabilillah tidak akan sia-sia, karena Allah akan memberi pahala dan ganti yang lebih baik di dunia dan di akhirat. Sebagaimana janji Allah dalam al-Qur’an, :
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka Itulah orang-orang yang benar-benar beriman. mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia.” (QS. Al-anfal: 74)
Dan adakah yang lebih menepati janjinya daripada Allah swt?!

3). Menjadi Lebih Baik
Hijrah adalah titik tolak perubahan. Perubahan menjadi lebih baik. Sebagaimana Rasulullah saw, dengan hijrah ia mampu membangun peradaban yang agung, dan menyebarkan dakwah Islam hingga mampu berlanjut ke seluruh penjuru dunia. Hijrah adalah bergerak, mendobrak ke stagnanan hidup menjadi lebih dinamis dan maju. Karena itulah Imam syafi’i dalam sya’irnya mengatakan:
ما في المقام لذي عقل وذي أدب        من راحة فدع الأوطان واغترب
سافر تجد عوضا عمن تفارقه       وانصب فإن لذيذ العيش في النصب
إني رأيت وقوف الماء يفسده       إن ساح طاب وإن لم يجر لم يطب
والأسد لولا فراق الأرض ما افترست  والسهم لولا فراق القوس لم يصب
والشمس لو وقفت في الفلك دائمة      لملها الناس من عجم ومن عرب
Tidak layak bagi orang yang berakal dan beradab untuk diam menetap, tapi tinggalkanlah negeri dan berkelanalah
Bersafarlah, kamu akan menemukan pengganti orang yang kamu tinggalkan, dan bekerjalah, karena kelezatan hidup dengan bekerja
Pendapatku bahwa diamnya air bisa merusaknya, jika ia mengalir ia akan jernih, tapi jika tidak maka menjadi keruh.
Seekor singa jika tidak meninggalkan tempatnya, maka ia tidak mendapat mangsa, juga anak panah jika tidak dilepas dari busurnya, ia tidak akan mengena
Matahari seandainya ia berhenti di jagat raya, niscaya orang arab dan ajam akan merasa jenuh.[5]
Oleh karenanya, setiap muslim dituntut untuk berhijrah menjadi lebih baik. Hijrah dari kemaksiatan kepada ketaatan, hijrah dari kebodohan kepada pendidikan, hijrah dari kemiskinan kepada kesejahteraan. Intinya hijrah untuk menjadi lebih baik. Dan inilah yang menjadi syiar setiap muslim, “hari ini lebih baik dari hari kemarin, dan esok lebih baik dari hari ini”.

4). Puasa Tasu’a dan Asyura
Sebagaimana di depan telah dijelaskan sejarah puasa Asyura, bahwa Rasulullah menganjurkan umat Islam untuk berpuasa Asyura; hari ke-sepuluh bulan Muharram, dan juga hari ke-sembilannya tasu’a. Hal ini disebutkan Imam Nawawi Al-Damasyqi dalam kitabnya Riyadl Al-Shalihin[6],
 أنَّ رسول الله - صلى الله عليه وسلم - سُئِلَ عَنْ صِيامِ يَوْمِ عَاشُوراءَ، فَقَالَ : (( يُكَفِّرُ السَّنَةَ المَاضِيَةَ )) رواه مسلم .
وقال : ( لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابلٍ لأَصُومَنَّ التَّاسِعَ )) رواه مسلم .

Rasulullah saw pernah ditanya tentang puasa hari ‘Asyura, ia menjawab, : “puasa Asyura menghapus dosa satu tahun yang lalu”. HR. Imam Muslim
Dan juga sabdanya, : “jika aku masih hidup sampai tahun depan, aku akan berpuasa pada hari kesembilannya (tasu’a)”. HR. Imam Muslim
Betapa besarnya pahala puasa Asyura dan tasu’a, seyogyanya setiap muslim untuk memperhatikan tangggal tersebut dan mengikuti sunnah Rasulullah saw dengan berpuasa di dua hari tersebut. Selain puasa, ada amalan lain yang dianjurkan untuk diamalkan pada hari ‘Asyura, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi Al-Makki dalam kitabnya Nihayah al-Zainfi Irsyad al-mubtabiin,para ulama besar meriwayatkan, bahwa ada dua belas amalan yang dianjurkan untuk dilakukan di hari Asyura, yaitu, shalat, terlebih shalat tasbih, puasa, shadaqah, infka kepada keluarga, mandi besar, mengunjungi ulama shalih, menjenguk orang sakit, mengusap kepala anak yatim, memakai celak mata, memotong kuku, membaca surat al-ikhlash seribu kali, dan silaturrahim. Ia menambahkan, ibnu hajar al-asqalani dalam syarh al-bukhari menyebutkan doa bahwa orang yang mengucapkannya pada hari Asyura maka hatinya tidak mati. Doa tersebut yaitu:
سُبْحَانَ اللهِ مِلْءَ المِيْزَان وَمُنْتَهَى العِلْمِ ومَبْلَغ الرِضَا وَزِنَةَ العَرْشِ والحَمْدُ لِلهِ مِلْءَ المِيْزَان وَمُنْتَهَى العِلْمِ وَمَبْلَغَ الرِضَا وَزِنَةَ العَرْشِ واللهُ أَكْبَر مِلْءَ المِيْزَان وَمُنْتَهَى العِلْم وَمَبْلَغَ الرضَا وَزِنَةَ العَرْشِ لَا مَلْجَأَ وَلَا مَنْجَا مِنَ اللهِ إلَّا إِلَيْهِ سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ الشَفْعِ وَالوِتْرِ وعَدَدَ كَلِمَاتِ اللهِ التَامَّاتِ كُلِّهَا والحَمْدُ لِلهِ عَدَدَ الشَّفْعِ وَالوِتْرِ وَعَدَدَ كَلِمَاتِ اللهِ التَامَّاتِ كُلِّهَا وَاللهُ أَكْبَر عَدَدَ الشَّفْعِ وَالوِتْرِ وَعَدَدَ كَلِمَاتِ اللهِ التَامَّاتِ كُلِّهَا
 أَسْأَلُكَ السَّلَامَةَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ العَظِيْمِ وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وعَلَى آلِهِ وَصَحْبِه أَجْمَعِين والحمد لله رب العالمين
Berkata pula Sayyid Ali al-Ajhuri, bahwa orang yang mengatakan pada hari Asyura “hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’man nashir__ حسبنا الله ونعم الوكيل نعم المولى ونعم النصير maka Allah akan melindunginya dari keburukan tahun itu”[7]. Wallahu a’lam bisshawab wa shallallahu ‘ala sayyidina Muhammad

SEMOGA BERMANFAAT


Al-Faqir Ila Ridla Rabiihi Dzulkifli Amnan al-Syarafani al-Qudsy al-Jawi
Jum’at, 31 Oktober 2014 09.50 


[1] Abu al-Faraj Abdurrahman al-Jauzi, At-Tabshirah, Mesir: Dar al-Hadist. H.2/2
[2] Abu al-mu’thi muhammad bin umar Nawawi al-Bantani al-Jawi al-Makki (w. 1316 H), Nihayah al-Zain Fi Irsyad al-Mubtadiin, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. 4, 2013. H. 192
[3] Attabshirah, loc.cit.,h.2/2
[4] Syaikh Muhammad bin umar Nawawi al-Bantani al-Jawi al-makki, Mirha Labid li kasyfi ma’na al-qur’an al-majid,Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyah, 1417 H. H. 2/542
[5] Imam syafi’i, diwan al-imam al-syafi’i, Beirut: dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2010. H. 36
[6] Al-imam Abu zakaria yahya bin syaraf al-nawawi al-damasyqi, riyadl al-shalihin, Beirut: Dar al-Fikr, 1994. H.233
[7] Nihayah al-zain, Op.cit., h. 191-192

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger