MEMAKNAI NUZUL AL-QUR’AN
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ
هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“Bulan Ramadhan, adalah bulan yang diturunkan Al-Qur’an di
dalamnya. Sebagai petunjuk bagi manusia, dan penjelas antara huda dan furqon” (QS.
Al-Baqoroh)
Nuzul berasal dari kata nazala yanzilu nuzulan yang berarti
turun. Nuzulul qur’an artinya turunnya alqur’an. Syaikh Nawawi
Al-Bantani menjelaskan maksud nuzululqur’an di dalam tafsirnya Mirah
Labid,: Allah swt menurunkan Al-Qur’an dengan perantara malaikat Jibril satu
kitab utuh pada malam lailatul qodr, yaitu malam ke dua puluh empat
bulan Ramadhan dari Al-Lauh Al-Mahfudz ke langit dunia, yang disebut
dengan Bait Al-‘Izzah, kemudian dari Bait Al-‘Izzah, Allah swt
menurunkan Al-Qur’an kepada nabi Muhammad saw melalui perantara malaikat Jibril
secara berangsur-angsur dalam kurun masa 23 tahun, sesuai dengan
kebutuhan/peristiwa.[1]
Bulan Ramadhan adalah bulan yang
mulia. Bulan yang dikhususkan Allah untuk menurunkan kitab-kitabnya. Al-Imam
Fakhruddin Al-Rozi menyebutkan riwayat hadis, Rosulullah saw bersabda : “Lembaran-lembaran
wahyu (shuhuf) nabi ibrahim diturunkan pada malam pertama Ramadhan, taurat
diturunkan pada malam kedua, injil diturunkan pada malam ke-13, sedangkan Al-Qur’an
diturunkan pada ke-24 Ramadhan.”[2]
(HR. Imam Al-Baihaqi)
Al-Qur’an yang diturunkan kepada Rosulullah
saw adalah wahyu Allah. Menjadi kewajiban setiap muslim untuk mengimaninya.
Karena mengimani Al-Qur’an termasuk salah satu rukun iman yang enam, yaitu iman
kepada kitab-kitab Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat di atas,
menjelaskan bahwa Al-Qur’an adalah Huda Li Al-Nas (petunjuk bagi
manusia) pedoman hidup yang menuntun manusia dalam kehidupannya selama di
dunia. Yang dimaksud dengan huda,Al-Imam Fakhruddin Al-Rozi mengutip pendapat Shohib
Al-Kassyaf: “petunjuk yang mengantar sampai tujuan”. [3]
Al-Qur’an adalah petunjuk (al-huda)
yang kompleks yang tidak hanya mengatur satu sisi dan meninggalkan sisi lain.
Tetapi Al-Qur’an adalah pedoman hidup yang mengatur segala lini kehidupan
manusia yang meliputi aspek ibadah (ritual), akhlak (moral), aqidah (spiritual),
sejarah dan masa depan, sains, mu’amalah / hubungan; baik kepada kholiq
(pencipta) maupun kepada mahluk (ciptaan). Meskipun Al-Qur’an membahas segala
hal mengenai kehidupan, tetapi Al-Qur’an hanya terdiri dari 114 surat, atau
hanya setebal satu buku yang berjumlah kurang lebih 604 hal. Karena itulah imam
syafi’I pernah berkata di dalam bait syairnya: “ilmu sejati adalah apa yang
ada di dalam Al-Qur’an dan sunnah rosulullah saw, dan selain keduanya hanyalah
bisikan syaitan”.[4]
Ramadhan adalah momentum bagi kita
untuk kembali kepada Al-Qur’an. Maksudnya adalah bagaimana interaksi keseharian
kita kepada Al-Qur’an meningkat. Sehingga kita menjadi sadar bahwa Al-Qur’an
bukanlah sebuah buku biasa, tetapi ia adalah petunjuk kehidupan kita
sehari-hari, selama kita masih di dunia. Karena itu ada beberapa fase yang
perlu kita perhatikan dalam rangka kembali kepada Al-Qur’an,
1. Mengaji
Hal pertama yang dilakukan sebagai
langkah awal untuk kembali kepada Al-Qur’an adalah dengan mengaji (membaca Al-Qur’an).
Setiap muslim dituntut agar mampu membaca Al-Qur’an sehingga ia mampu
mengetahui apa yang dikandunganya. Mengenai membaca Al-Qur’an, banyak sekali
hadis rosulullah saw yang menjelaskan keutamaannya, diantaranya:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم : خيركم من تعلم القرأن وعلمه (رواه الإمام البخاري)
“sebaik-baik kalian adalah orang yang
mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya”. (HR. Imam Bukhori)
Hadis di atas menjelaskan, bahwa
orang yang baik adalah orang yang mengaji dan mengajarkan Al-Qur’an, sebaliknya
orang yang tidak baik (seburuk-buruk orang) adalah orang yang tidak mau mengaji
dan tidak mau berusaha untuk bisa mengaji (membaca Al-Qur’an).
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم : "من قرأ حرفا من كتاب الله فله حسنة والحسنة
بعشر أمثالها لا أقول "الم " حرف، ولكن ألف حرف ولام حرف وميم
حرف". (رواه الترميذي)
“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Al-Qur’an,
maka ia menapatkan satu pahala kebaikan, dan satu pahala kebaikan Allah set
lipatgandakan sepuluh kali lipat. Aku (rosulullah saw) tidak mengatakan alif
lam mim adalah satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu
huruf” (HR. Imam Tirmidzi)
Hadis di atas menjelaskan, bahwa
satu huruf yang dibaca di dalam Al-Qur’an akan mendapatkan pahala kebaikan dari
Allah swt, semakin banyak huruf yang dibaca maka pahala kebaikan semakin
banyak. Dan satu-satunya kitab di dunia yang mendapatkan pahala kebaikan per
hurufnya adalah Al-Qur’an. Karena itulah semakin banyak kita membaca Al-Qur’an
maka semakin banyak investasi amal kita di akhirat. Terlebih di bulan Ramadhan,
dimana Allah swt melipatgandakan berkali-kali lipat. Maka merugilah bagi orang
yang tidak memborong pahala kebaikan selama di bulan Ramadhan. (sebagiamana sabda
Rosulullah Saw)
Satu lagi Hadis Rosulullah yang saya sebutkan di tulisan ini,
أن
رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : من قرأ القرأن وعمل بما فيه، ألبس الله والديه
تاجا يوم القيامة ضوؤه أحسن من ضوء الشمس في بيوت الدنيا فما ظنكم بالذي عمل
بهذا."(رواه أبو داود)
“orang yang membaca Al-Qur’an dan
mengamalkan isi Al-Qur’an, maka Allah swt akan memakaikan mahkota kebesaran
pada hari kiamat kepada orang tuanya, cahanya lebih baik daripada cahaya
matahari yang menerangi rumah-rumah di dunia. Lantas bagaimana dengan orang
yang mengamalkannya”. (HR. Imam Abu Dawud)
Hadis di atas menjelaskan bahwa
seorang muslim yang dapat membaca Al-Qur’an, pahalanya tidak hanya bermanfaat
bagi dirinya sendiri, tetapi Allah swt akan mengangkat derajat orangtuanya
dengan memberi keduanya mahkota kebesaran di hari kiamat. Maka dari itu, timbul
satu pertanyaan, apakah kita tidak bangga ketika di hari kiamat nanti, hari
yang setiap mahluk akan terdiam bisu, tunduk lesu melaporkan setiap pertanggung
jawabanya kepada Allah, Allah swt memberikan mahkota kebesarannya kepada orang
tuanya?, (sebagai renungan)
2. Mengkaji
Setelah kita mampu mengaji, hal yang
berikutnya yang mesti dilakukan adalah mengkaji Al-Qur’an. Maksudnya adalah
mempelajari dan memahami isi Al-Qur’an. Seorang muslim tidak akan mampu
menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup, kalau ia tidak mengetahui isi Al-Qur’an.
Sebagaimana contoh, orang yang baru saja membeli alat elektronik, misal HP, ia
tidak akan bisa mengoperasikan dan menggunakannya dengan baik dan optimal
kecuali dengan membaca dan memahami buku petunjuk penggunaannya dengan seksama.
Sama halnya dengan Al-Qur’an, ia tidak akan memberikan kepada kita petunjuk
kalau kita tidak mengkajinya/ mempelajarinya. Karena itu mengkaji Al-Qur’an
perlu dilakukan oleh setiap muslim sehinnga ia mengetahui isi kandungan Al-Qur’an.
Banyak kitab tafsir (buku yang
menjelaskan dan menerangkan Al-Qur’an) yang telah ditulis oleh para ulama,
mulai dari masa sahabat sampai masa global saat ini. Yang intinya mereka
mengkaji isi Al-Qur’an. Diantara kitab tasir yang populer di indonesia adalah
tafsir mirah labid karya syaikh muhammad nawawi al-bantani al-makki (seorang
ulama tanah suci dari tanah jawa), tafsir Al-Qur’an al-‘adhim (atau yang
dikenal dengan tafsir ibnu katsir), tafsir al-jalalain, tafsir ayat al-ahkam
karya syaikh muhammad ali shobuni dan lain-lain. Dalam mengkaji inilah
dibutuhkan kesabaran dan kontinuitas, karena seorang yang tidak mampu
membacanya (karena kitab-kitab tafsir biasanya berbahasa arab) maka ia harus
mengkajinya dengan orang yang sudah mempunyai ilmunya. Sehingga dengan ia
belajar kepada seorang kyai atau ustad yang sudah mengetahui ilmu tafsir, ia
tidak akan salah dalam memahaminya. Allah swt berfirman :
فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
“bertanyalah kepada ahlinya (orang yang
mengetahui) jika kamu tidak bisa”
3. Tadabbur (Perenungan)
Mentadabburi Al-Qur’an adalah
kelanjutan dari fase mengaji dan mengkaji. Ketika seorang muslim sudah mampu
mengaji dan mengkajinya, maka ia akan lebih mudah dalam mentadabburi kandaungan
Al-Qur’an. Berbeda antara orang yang sekadar membaca dengan orang yang membaca
disertai tadabbur. Meskipun keduanya sama-sama mendapatkan pahala, sebagaimana
pendapat para ulama, tetapi orang yang membaca dengan disertai tadabbur, ia
akan merasakan kedekatan kepada Allah, dan ketengan hati. Karena tadabbbur itu
berhubungan dengan hati. Sebagaimana yang disingggung Allah swt :
ألا
بذكر الله تطمئن القلوب
“Ingatlah, dengan mengingat Allah swt, hati
menjadi tenang”.
Lebih spesific lagi tentang tadabbur, Allah swt berfirman
أفلا
يتدبرون القرأن أم على قلوب أقفالها
“tidakkah mereka mentadaduri Al-Qur’an,
ataukah hati-hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad: 24)
tadabbur,sebagaimana al-imam fakhruddin al-rozi menjelaskan, merenungi bacaan Al-Qur’an dengan hati dan memahaminya.[5]
tadabbur,sebagaimana al-imam fakhruddin al-rozi menjelaskan, merenungi bacaan Al-Qur’an dengan hati dan memahaminya.[5]
4. Mengamalkannya
Ketika seorang muslim mampu mengaji,
mengkaji dan mentadabburinya lalu mengamalkannya dalam kehidupannya, maka itu
adalah bukti keimanannya kepada Al-Qur’an. Karena iman tidak sekadar perkataan
lewaat ucapan lisan, tetapi ia harus diyakini di hati dan diamalkan. Ini
berarti bahwa bukti keimanan kepada Al-Qur’an adalah meyakini bahwa Al-Qur’an
adalah kitab suci (kalamullah) yang diturunkan kepada rosulullah saw, dan
meyakini bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk / pedoman hidup manusia yaitu dengan mengaji,
mengkaji, mentadabburi dan mengamalkannya. Ketika kita dapat melakukan itu
semua, maka kenikmatan hidup di bawah naungan Al-Qur’an akan dapat kita
rasakan. Sebagaimana kata sayyid quth di dalam muqoddimah tafsirnya fi
dhilal Al-Qur’an :
الحياة
في ظلال القرأن نعمة، نعمة لا يعرفها إلا من ذاقها
“Hidup di bawah naungan Al-Qur’an adalah suatu
kenikmatan, kenikmatan yang tidak diketahui kecuali orang yang merasakannya”.
(Semoga bermanfaat)
Ditulis oleh : Al-Faqir Ila Rahmati Rabbihi, Dzul Kifli
Amnan Al-Syarafani Al-Qudsy
MARAJI’ (REFRENSI):
Mirah Labid Li Kasyfi Ma’na Al-Qur’an Al-Majid, Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi Al-Makki
Al-Tafsir Al-Kabir Aal-Mutsamma Bi Mafatih Al-Ghaib, Syaikh Al-Islam Fakhruddin Al-Razi
Al-Tibyan Fi Adab Hamalah Al-Qur’an, Al-Imam Muhyiddin Nawawi
Fathu Al-Qodir,
Al-Imam Syaukani
Fi Dhilal Al-Qur’an ,
Sayyid Quthb
[1] Al-‘allamah syaikh muhammad nawawi al-bantani, mirah labid li
kasyfi ma’na al-qur’an al-majid. (beirut: dar al-kutub al-‘ilmiyah. Cet. V.
2011). Hal. 61
[2] Syaikh fakhruddin al-rozi, al-tafsir al-kabir. (beirut : dar
al-kutub al-islamiyah. Cet.IV. 2013). Hal. 2/21
[3] Syaikh fakhruddin al-rozi, al-tafsir al-kabir. (beirut : dar
al-kutub al-islamiyah. Cet.IV. 2013). Hal. 2/2
[4] Lihat diwan al-imam syafi’i
[5] Ibid., Hal. 28/57