Minggu, 19 Oktober 2014

Zakat dan Solusi Kesejahteraan Umat

Zakat dan Solusi Kesejahteraan Umat
Oleh: Dzul Kifli Hadi Imawan, Lc. M. Kom. I

A.    Pendahuluan
Diantara masalah bangsa yang memerlukan penanganan yang serius adalah masalah yang berhubungan dengan ekonomi. Karena masalah tersebut merupakan salah satu sebab kokohnya suatu bangsa ataupun sebaliknya, masalah yang mampu menyalakan gejolak revolusi ataupun memadamkannya. Bahkan sekarang telah menjadi salah satu penyebab perang ideologi antar bangsa-bangsa di dunia tidak lain karena masalah ekonomi.[1]
Islam bukanlah agama yang tidak mampu mengatasi masalah ekonomi, tetapi agama Islam memberi solusi positif dalam masalah tersebut dengan adanya perintah zakat. Bahkan zakat sendiri menjadi tiang utama rukun Islam ketiga yang harus dilaksanakan bagi tiap-tiap individu muslim yang telah memenuhi persyaratan wajib zakat; nisab dan haul.
Sejarah telah merekam bagaimana zakat mampu meningkatkan ekonomi dan mensejahterakan umat sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw dan para penerus-penerusnya di zaman keemasan Islam.  Bahkan sampai pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz, sangking jayanya masa pemerintahannya, ia pernah memerintahkan seseorang untuk menyeru tiap harinya, : “Dimana orang-orang miskin?,Dimana orang-orang terlilit hutang?, dan dimana orang yang ingin nikah?.”[2]  Agar mereka mendapatkan hak zakat.
Bercermin dari sejarah tentang zakat yang mampu menjadi solusi ekonomi dan salah satu jalan mensejahterakan umat, maka sekarang diperlukan langkah untuk mengoptimalkan fungsi zakat sehingga   mampu menjadi solusi bagi ekonomi dan kesejahteraan umat. Seperti yang disebutkan oleh Dompet Dhuafa, umat Islam (Indonesia) sebenarnya memiliki potensi dana yang sangat besar.Hipotesa awal, Indonesia berpenduduk 204,8 juta jiwa, diperkirakan 83% umat Islam atau lebih kurang 166 juta jiwa. Dengan asumsi penduduk yang telah berkewajiban menunaikan zakat adalah mereka yang memiliki pengeluaran di atas Rp. 200.000 per kapita per bulan, maka jumlahnya mencapai 18,7 % (SUSENAS 1999). Apabila dikurangi dengan berbagai kriteria, maka rata-rata harta yang wajib dizakati dari harta (mâl) adalah 20 dinar emas murni (1 dinar = 4,25 gram) atau setara dengan 85 gram emas. Jika harga emas Rp 102.200 per gram, maka zakat dapat dihimpun dari sektor ini setiap tahun adalah 2,5% x 85 x 102.200 x 30.000.000 = Rp 6.515.250.000.000,-.
Jika ditambah dengan zakat perniagaan, pertanian, peternakan serta zakat emas dan perak, juga infak, sedekah, kafarat, fidyah, wakaf dan lain-lainnya, maka umat Islam memiliki potensi dana yang sangat besar, dan dapat digunakan untuk membantu umat Islam yang kurang mampu secara optimal. Sehingga kebutuhan dasar umat Islam dapat terpenuhi secara layak dan baik.[3]
Dari latar belakang tersebut, uraian tentang zakat sebagai solusi ekonomi dan kesejahteraan umat perlu diangkat kembali dengan tujuan agar mampu mengingatkan kembali kesadaran individu dan masyarakat muslim dalam menunaikan perintah Allah yang berupa zakat demi terwujudnya ekonomi umat yang lebih baik dan sejahtera. 

B.     Definisi Zakat
Menurut pakar fikih Islam Syaikh Muhammad Mahfuzh al-Tarmasi al-Makki, secara bahasa zakat bermakna al-tathir, al-ishlah, al-nama’, al-madhu membersihkan, memperbaiki, tumbuh dan pujian.[4] Adapun menurut syara’, zakat adalah nama suatu harta yang dikeluarkan secara khusus dan diberikan kepada kelompok khusus.[5] Dan di dalam kitab al-Hâwî, al-Mawardi mendefinisikan zakat dengan nama pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat tertentu, dan untuk diberikan kepada golongan tertentu.[6]
            Landasan perintah mengeluarkan zakat adalah al-Qur’an dan al-Sunnah, sebagaimana firman Allah swt:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ
Dan firman Allah swt, “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian” (QS. adz-Dzâriyât[51]: 19); “Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah menjadikan telah kamu menguasainya” (QS. al-Hadîd[57]: 7); “Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah (zakat) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik” (QS. al- Baqarah[2]: 267).

            Di dalam al-Qur’an, zakat memiliki beberapa kata yaitu Zakat (QS. al-Baqarah[2]: 43), Sedekah (QS. at-Taubah[9]: 104), Hak (QS. al-An’âm[6]: 141),  Nafkah (QS. at-Taubah[9]: 34) dan Al-‘Afwu (maaf) (QS. al-A’râf[7]: 199).  Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang ketiga. Sebagimana pendapat yang masyhur dari kalangan ahli hadis, bahwa zakat mal diwajibkan pada bulan syawal tahun kedua hijrah, sedang zakat fitri dua hari sebelum idul fitri setelah kewajiban puasa ramadhan.[7]
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : "بني الإسلام على خمس : شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله، وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة وحج البيت وصوم رمضان". أخرجه البخاري ومسلم
"Islam dibangun diatas lima (landasan); persaksian tidak ada ilah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji dan puasa Ramadlan".[8]
               Banyak sekali nash al-Qur’an dan hadis yang menyebut kata zakat. Di dalam al-Qur’an, zakat disebut sebanyak 32 kali. Dan kalau dihitung kata shadaqah, infak, memberi makan fakir miskin maka mencapai 115 kali. [9]
Hal ini menunjukkan bahwa, diantara hikmah disyariatkannya zakat adalah sebagai salah satu cara untuk mengatasi masalah kemiskinan. Lebih spesifik, Allah berfirman:
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ ( الذاريات: 19)
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”(QS. Al-Dzariayat: 19)[10]
إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا (19) إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا (20) وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا (21) إِلَّا الْمُصَلِّينَ (22) الَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَ (23) وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ (24) لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ (25)
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia Amat kikir,. kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat. yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya, dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).(QS. Alhaqqah: 19-25)
Pada hakikatnya mengeluarkan zakat selain sebagai kewajiban agama juga agar harta yang ada menjadi bersih dan terjaga dari berbagai musibah.[11] Memang secara dhahir harta yang dikeluarkan zakatnya berkurang, tetapi Allah akan menggantikannya dengan yang lebih baik dan banyak. Demikian karena, para malaikat turut serta dalam mendoakan orang yang mengeluarkan zakat hartanya kepada Allah agar memberi ganti yang lebih baik dan mendoakan bagi orang yang tidak mau dengan kehancuran. Karenanya berkata sebagian ulama, orang yang tidak bersyukur kepada Allah dengan mengeluarkan zakat hartanya, maka ia termasuk orang yang paling bodoh. Sebab tidaklah Allah memerintahkan zakat  kecuali Dia menginginkan untuk menambah karuniaNya kepada hambanya, maka sepatutnya ia bangga dan senang bukan sedih atau gelisah.[12]

C.    Praktik Zakat dari Masa ke Masa
Sebagimana pendapat yang masyhur dari kalangan ahli hadis, bahwa zakat mal diwajibkan pada bulan syawal tahun kedua hijrah. Di dalam kitab Bulugh al-Maram, al-Imam Ibnu Hajar al-Asqlani menyebutkan riwayat hadis, bahwa Rasulullah saw pernah mengutus Mu’adz ke Yaman, dan berkata kepadanya,:
sesunguhnya kamu mendatangi kaum ahli kitab, maka ajaklah mereka agar bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan sesungguhnya aku adalah utusan Allah, maka jika mereka mentaati itu, maka beritahukan kepada mereka bahwa sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah (zakat) di dalam harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang fakir. Jika mereka mentaati itu, maka wajib bagimu menjaga harta mereka, dan takutlah terhadap doa orang yang teraniaya, karena tidak ada penghalang antara doanya dengan Allah swt. (HR. Bukhari & Muslim)[13]
Hal ini dilanjutkan oleh para khalifah sesudah meninggalnya Rasulullah saw. Bahkan ketika masa Abu bakar al-Shiddiq, banyak orang yang tidak mau membayar zakatnya, hingga ia memerintahkan para sahabat untuk memerangi mereka dan mengatakan dengan perkataannya yang masyhur,
"والله، لأجاهدنهم ما استمكن السيف في يدي وإن منعوني عقالا أو عناقا كانوا يؤدونها إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم[14]
“Demi Allah, pasti aku perangi mereka selama pedang masih di tangan, jika mereka tidak mau membayarkan zakat (inaq/kambing) yang pernah mereka bayarkan kepada Rasulullah saw”.
Dan ketika Umar bin Khattab menggantikan Abu Bakar sebagai Khalifaul Muslimin, ia pernah didatangi seorang wanita yang belum kebagian zakat, maka  ia pun memberinya harta zakat berupa onta berserta tunggangannya yang berisi gandum dan minyak, bahkan ia menambahi dua onta lagi kepada wanita tersebut.[15] Begitu juga, pernah datang seorang laki-laki kepada Umar bin Khattab seraya mengadu akan kesusahan dirinya, lalu Umar pun memeberinya tiga ekor onta. Dari sini, umar berkata dan menjadi perkataan yang sangat masyhur dalam masalah zakat yaitu:
 إذا أعطيتم فأغنوا                                                      
“jika kalian memberi, maka cukupkanlah (orang yang diberi)”
Menurut Umar ibn Khattab, zakat diberikan kepada orang fakir agar ia merasa kecukupan dan kondisinya menjadi lebih baik, bukan hanya sekedar memberinya sesuap makanan atau sedikit uang untuk menutupi rasa lapar atau kebutuhannya.[16]
Praktik zakat seperti inilah yang dilanjutkan oleh para pemerintah setelah Umar, hingga pada masa pemerintahan cicitnya, Umar bin Abdul Aziz. Sangking jayanya masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, ia pernah memerintahkan seseorang untuk menyeru tiap harinya, : “dimana ada orang-orang miskin?,dimana ada orang-orang yang terlilit hutang?, dan dimana ada orang yang ingin menikah?.”[17]
Lebih lanjut, Imam Ibnu Syihab al-Zuhri pernah menuliskan tentang tataletak zakat (pembagian zakat) sesuai sunnah Rasulullah saw untuk khalifah Umar bin Abdul Aziz agar dijalankan pada masa pemerintahannya, diantara yang ia sebutkan sebagai berikut:
“Di dalam harta zakat terdapat bagian bagi orang-orang tua dan sakit menahun, bagian bagi setiap orang miskin yang miskinnya karena tidak mampu bekerja atau karena cedera ketika bekerja atau juga seorang mujahid yang cedera ketika perang, juga bagian bagi orang-orang miskin yang meminta-minta makanan sampai mereka mengambil harta yang dapat mencukupi mereka hingga mereka tidak lagi meminta-minta, dan bagian bagi orang-orang Islam yang terpenjara yang tidak lagi memiliki saudara satu pun, dan bagian bagi orang-orang miskin yang selalu mendatangi masjid yang tidak ada pemberian dan jatah bagi mereka tapi mereka tidak meminta-minta, dan bagian bagi orang yang tertimpa kefakiran dan terlilit hutang yang bukan untuk bermaksiat kepada Allah dan tidak pula tercela agamanya, dan bagian bagi musafir yang tidak memiliki tempat tinggal dan keluarga, maka ia perlu diberikan tempat tinggal dan makanan sampai ia mendapatkan rumah untuk kebutuhan hidupnya”.[18]
Demikian besarnya perhatian para khalifah terhadap masalah zakat di masa keemasan pemerintahan Islam sehingga mampu menciptakan ekonomi yang sehat dan mampu menciptakan keadilan sosial bagi seluruh umat serta mampu mensejahterakan hidup mereka, sehingga apa yang dilakukan mereka merupakan acuan dan pijakan dalam sistem zakat untuk generasi berikutnya. Terlebih untuk zaman sekarang, sejarah mereka merupakan cermin untuk melihat realita sekarang dan ke depan, karena tidaklah suatu kaum menjadi baik kecuali mengikuti kebaikan para pendahulunya, ma shaluha bihi qaum illa bima shaluha bihi awwaluhu.



D.    Zakat Sebagai Solusi Kesejahteraan Umat Islam Indonesia
Peningkatan kesejahteran umat Islam Indonesia melalui zakat merupakan hal yang bisa terwujud, terlebih sistem dan peraturan zakat di Indonesia semakin berbenah dan bertambah baik tiap masanya. Terutama pasca dikeluarkannya UU No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, lembaga-lembaga zakat pun banyak bermunculan. Manajemen dan jaringan lembaga-lembaga itu diperbaiki dan semakin baik sehingga dapat menjadi suatu gerakan tersendiri bagi pemberdayaan ekonomi umat.
Sebagai contoh di Indonesia terdapat Badan Amil Zakat Nasional (disingkat BAZNAS) adalah lembaga yang melakukan pengelolaan zakat secara nasional. BAZNAS merupakan lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada presiden melalui menteri agama. BAZNAS memiliki visi “Menjadi Badan Zakat Nasional yang Amanah, Transparan dan Profesional.” Dalam mewujudkan visinya tersebut, BAZNAS telah tersebar di semua provinsi negara Indonesia, tersebar di setiap kota dalam provinsi tersebut. Untuk memudahkan kinerja, BAZNAS sendiri membentuk Unit Pengumpul Zakat (disingkat UPZ) adalah satuan organisasi yang dibentuk oleh BAZNAS untuk membantu pengumpulan zakat. Hasil pengumpulan zakat oleh UPZ wajib disetorkan ke BAZNAS, BAZNAS provinsi atau BAZNAS kabupaten/kota. UPZ ini bekerjasama dengan lembaga-lembaga pemerintah, swasta, lembaga dakwah, masjid-masjid dan majlis taklim serta perusahaan-perusahaan di Indonesia.[19]
Selain BAZNAS yang telah diakui negara atau ditjen pajak, ada lagi 15 lembaga amil zakat (LAZ), dan 3 Lembaga amil zakat, infaq, dan shadaqah (LAZIS) yang sudah diakui. Sebagai rinciannya sebagai berikut: LAZ Dompet Dhuafa, LAZ Yayasan Amanah Takaful, LAZ PKPU, LAZ Baitulmaal Muamalat, LAZ Yayasan Dana Sosial Al Falah, LAZ Baitul Maal Hidayatullah, LAZ Persatuan Islam, LAZ Yayasan Baitul Mal Umat Islam PT BNI, LAZ Yayasan Bangun Sejahtera Mitra Umat, LAZ Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, LAZ Yayasan Baitul Mal BRI, LAZ Yayasan Baitul Mal Wat Tamwil, LAZ Baituzzakah Pertamina, LAZ Dompet Peduli Umat Darut Tauhid (DUDT), LAZ Yayasan Rumah Zakat Indonesia, LAZIS Muhammadiyah, LAZIS NU, LAZIS IPHI (Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia).
Seperti yang disampaikan Hatta Rajasa Menko Perekonomian RI,
Dalam konteks Indonesia, potensi zakat sangat luar biasa. Berdasarkan riset Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan Institut Pertanian Bogor (IPB), potensi zakat di Indonesia pada tahun 2011 mencapai Rp217 triliun, yakni Rp117 triliun dari rumah tangga dan Rp100 triliun dari perusahaan milik muslim. Jumlah itu akan mencapai empat kali lipat atau Rp868 triliun bila infak, sedekah, dan wakaf juga tergarap dengan baik.  Melihat angka tersebut, tentu potensi zakat bisa menjadi modal penggerak ekonomi umat. Karena, selain didistribusikan secara langsung kepada kaum muslimin, dana zakat juga bisa dikelola sebagai bahan investasi.  Sebagai perbandingan, potensi dana zakat yang ada di Indonesia ini, hampir setara dengan rencana APBN-P 2011 untuk sektor subsidi. Secara umum, pemerintah mengajukan APBN-P untuk berbagai macam subsidi sebesar 237 triliun (14%). Sementara angka potensi zakat kita sebesar Rp217 triliun. Seandainya potensi zakat ini bisa dikelola dengan benar, bayangkan dampak ekonominya bagi permbangunan umat.[20]
Dengan adanya lembaga-lembaga zakat tersebut, pemberdayaan zakat untuk kesejahteraan umat Indonesia bisa terwujud selama ada kerjasama yang baik antar lembaga-lembaga tersebut. Terlebih, ketika mereka lebih aktif dalam melakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga dan organisasi Islam serta masjid-masjid dan majlis taklim. Demikian karena, yang mendorong orang untuk mengeluarkan zakat adalah keimanan, dan tempat-tempat penempa keimanan itu di masjid-masjid dan majlis taklim. Dalam arti, dengan diterangkannya masalah zakat; antara al-targhib wa al-tarhib, di masjid dan majlis taklim, diharapkan tumbuh keimanan seseorang sehingga ia terdorong mnegeluarkan zakat karena iman bukan paksaan. Dengan begitu, penyuluhan-penyuluhan yang aktif dari lembaga-lembaga zakat dengan kerjasama dengan masjid, majlis taklim serta organisasi Islam akan mampu mengoptimalkan zakat masyarakat. Intinya, amil zakat harus lebih aktif dan kreatif dalam penyuluhan dan menjemput zakat.
Sebenarnya, syariat zakat di dalam Islam mengisyaratkan kepada setiap muslim agar menjadi orang-orang kaya dan menjauhkan diri dari kemiskinan. Bagaimana tidak, karena nisab harta sendiri dalam setahun harus mencapai 20 dinar atau sekira 40-50 juta,ini berarti bahwa setiap muslim diharapkan mampu berpenghasilan atau memiliki tabungan dalam setahunnya minimal 50 juta supaya ia mampu membantu orang lain. Kalau setiap muslim telah mempunyai kesadaran seperti ini; lewat penyuluhan dan penjelasan dari lembaga zakat dan masjid-masjid, maka bukan tidak mungkin jumlah muzakki di Indonesia akan bertambah,  dan zakat akan mampu menjadi salah saatu solusi dalam meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan umat Islam Indonesia.
Adapun menurut Yusuf al-Qardlawi, terdapat beberapa syarat agar lembaga-lembaga zakat dapat berhasil dalam mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan umat, diantaranya:
1.     Memahami Secara Luas Tentang Kaidah Kewajiban Zakat (توسيع قاعدة إيجاب الزكاة)
أن كل مال نام يكون وعاء أو مصدرا للزكاة، ولو لم ينص النبي صلى الله عليه وسلم على وجوب الأخذ منه بذاته، فيكفينا أنه يدخل في العمومات القرأنية والنبوية.
Bahwa setiap harta yang berkembang merupakan wadah atau sumber daya zakat, meskipun dalam hal tersebut tidak terdapat nash nabi tentang kewajiban membayar zakat pada harta tersebut, tetapi hal tersebut tidak menafikan itu, karena nash-nash al-Qur’an bersifat umum. Hal ini sebagaimana firman Allah:
والذين في أموالهم حق معلوم (المعارج : 24)
“Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu”(QS. Al-Ma’arij:24)
خذ من أموالهم صدقة (التوبة : 103)
“ambillah shadaqah (zakat) dari sebagian harta mereka”. (QS. Attaubah: 103)
وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : "أعلمهم أن الله افترض عليهم في أموالهم صدقة ، تؤخذ من أغنيائهم فترد على فقرائهم". وقوله : "أدوا زكاة أموالكم".
Rasulullah saw bersabda,: “Beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka shadaqah dalam harta mereka, yang diambil dari orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang fakir diantara mereka”. Dan sabdanya,: “Tunaikanlah zakat harta kalian”.   
Dari kaidah tersebut, ia berijtihad di dalam Fiqih al-Zakah, bahwa harta atau pemasukan yang mencapai nisab sebagaimana nisab emas dan perak, atau juga seperti nisab zakat pertanian, maka bisa dikategorikan harta wajib zakat. Dengan pandangan seperti ini, ia memasukkan harta wajib zakat baru (kontemporer) sesuai perkembangan zaman seperti zakat madu, hewan ungas, hasil laut, hasil tambang, hasil properti, perusahaan, pabrik, profesi, saham dan obligasi.[21]
2.      Pengumpulan Harta Zakat Secara Menyeluruh تحصيل زكاة الأموال ظاهرة وباطنة
Jumhur ulama bersepakat bahwa pengambilan dan pembagian zakat kepada para mustahik hendaknya ditangani oleh Ulil Amri (pemerintah atau lembaga zakat) tidak bersifat individu. Hal ini sebagaimana riwayat bahwa Nabi saw mengutus utusan dan para amil untuk mengumpulkan zakat. Karenanya, ketika masa Abu Bakar al-Shiddiq, ada kabilah Arab yang tidak mau membayar zakat sebagaimana yang pernah mereka bayarkan pada masa Rasulullah saw, ia berkata: “Demi Allah, seandainya mereka menolak membayar ‘iqal yang mereka bayarkan kepada Rasulullah saw, pastinya aku akan memerangi mereka karenanya”. [22]
Berkata Imam al-Razi mengenai surat al-Taubah 60, ayat ini menunjukkan bahwa yang mengumpulkan dan membagikan zakat adalah pemimpin (pemerintah atau lebaga zakat). Demikian karena, dalam ayat tersebut Allah memberi bagian zakat kepada ‘amil, hal ini menunjukkan bahwa dalam melaksanakan zakat dibutuhkan seorang ‘amil yaitu orang yang ditugaskan untuk mengambil zakat. [23]
Meskipun demikian ada pendapat ulama yang menyatakan bahwa bolehnya bagi  seorang muzakki menyerahkan zakatnya lewat pemerintah atau ia bagi sendiri dengan syarat ia harus bertakwa, dan menyerahkan kepada yang berhak menerimanya.[24]
3.      Manajemen yang Baik حسن الإدارة
Supaya zakat dapat tersalurkan dengan baik maka perlu adanya manajemen pengelolaan zakat yang baik serta tepat dalam penyalurannya. Dalam arti, penyaluran zakat mampu mengatasi masalah ekonomi dan mampu menciptakan kesejahteraan umat Islam. Oleh karena itu perlu langkah-langkah terstruktur rapi supaya zakat tersebut optimal dalam penyalurannya yang tepat. Menurut Yusuf al-Qardlawi, manajemen yang baik meliputi dua hal yaitu, pertama, memilih amil zakat yang baik; muslim, mampu, berilmu, dan amanah dan kedua, memperhatikan kemudahan dan kehati-hatian dalam pengelolaan harta [25]
4.      Penyaluran Zakat yang Baik
Pembagian atau penyaluran yang baik maksudnya supaya pembagian zakat tepat sasaran; diberikan kepada yang berhak menerimanya bukan kepada orang yang sudah mampu ekonomi (kaya).[26]
Al-Qur’an telah menjelaskan siapa saja yang berhak menerima zakat sebagaimana di dalam surat Attaubah ayat 60, Allah berfirman:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللهِ وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”(QS. Attaubah: 60)
Dari 8 golongan yang berhak menerima zakat tersebut (mustahik), maka bisa dikatakan bahwa zakat disyariatkan untuk memenuhi kebutuhan fakir miskin, ibnu sabil, dan orang-orang yang terlilit hutang, untuk menciptakan kemaslahatan bagi umat Islam keseluruhan seperti pembiayaan jihad, melembutkan hati bagi orang yang baru masuk Islam, dan untuk menjaga hubungan sosial yang baik di antara orang Islam.[27]
Sebab tujuan utama zakat sebenarnya bukan hanya memberi bahan makanan atau uang, tetapi lebih dari itu, zakat bertujuan untuk memberi kehidupan yang lebih layak dan lebih baik dari sebelumnya.[28] Seperti kata Umar bin Khattab “idza a’thaitum fa aghnuhum”. Dengan begitu zakat diharapkan akan mampu menciptakan keadilan sosial bagi umat Islam Indonesia, dan hal ini selaras degnan sila kelima dalam pancasila; keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Disamping itu, sebagian ulama berijtihad bahwa zakat boleh juga diberikan kepada para pencari ilmu, orang fakir yang inggin menikah tetapi terkendala dana, atau juga orang yang tertimpa bencana sebagaimana yang telah disebutkan pada halaman sebelumnya (praktik zakat dari masa ke masa). Sependapat dengan ini, Yusuf al-Qardlawi mengatakan, harta zakat bisa disalurkan kepada orang yang hendak menikah tapi miskin dan juga sebagai biaya bagi orang yang menuntut ilmu baik ilmu agama ataupun dunia. [29]
Selain faktor diatas, menurut al-Qardlawi dalam mensukseskan zakat sebagai solusi kesejahteraan umat Islam, hal lain yang tidak kalah pentinganya dalam mendukung keberhasilan zakat adalah terwujudnya masyarakat yang melaksanakan perintah-perintah Allah, dan menjauhi larangan-laranganNya. Sebab, zakat tidak akan mampu menjadi solusi apa-apa bagi masyarakat yang tidak melaksanakan perintah Allah dan bahkan menerjang larangan Allah. Adapun yang menjadi dalil dalam pernyataan ini adalah bahwa Allah ketika menyuruh kita membayar zakat selalu diiringi dengan perintah melaksanakan shalat, atau kewajiban yang lain. Bahkan di dalam al-Qur’an, Allah menggabungkan antara perintah shalat dan zakat sebanyak 28 kali.[30] Karenanya, hal tersebut mengisyaratkan bahwa zakat tidak akan berhasil menjadi solusi kesejahteraan umat, kalau umat tersebut meninggalkan shalat dan mengikuti syahawat. Sebagaimana firman Allah:
وأقيموا الصلاة وأتوا الزكاة (البقرة : 43)
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”. (QS. Al-baqarah: 43)
Begitu pula, zakat tidak akan berhasil menjadi solusi kesejahteraan masyarakat apabila masyarakatnya berdiam diri dari perbuatan keji dan munkar, tidak beramar ma’ruf dan nahi munkar. Hal ini sebagaimana firman Allah :
والمؤمنون والمؤمنات بعضهم أولياء بعض يأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر ويقيمون الصلاة ويؤتون الزكاة ويطيعون الله ورسوله
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. (QS. Attaubah: 71)
Demikian karena, kewajiban di dalam Islam saling terkait dan melengkapi, tidak berdiri masing-masing, tetapi setiap kewajiban tersebut mempunyai pengaruh dalam kehidupan pribadi, dan masyarakat.[31]

E.     KESIMPULAN
Dari penjelasan tentang zakat dan perannya dalam mensejahterakan umat Islam di atas, dapat disimpulkan dalam beberapa point sebagai berikut:
1.      Zakat adalah kewajiban agama yang bersandar pada Al-Qur’an dan hadist Rasulullah saw, dan menjadi salah satu rukun Islam yang harus diamalkan oleh setiap muslim.
2.      Pada hakikatnya, orang yang mengeluarkan zakat berarti ia telah bersyukur atas nikmat harta yang Allah berikan kepadanya, dan juga dengan zakat itu ia terjaga dari bencana atau musibah baik di dunia maupun di akhirat. Demikian karena, selain terdapat nash yang memerintahkan zakat juga diiringi dengan adanya nash targhib wa tarhib dalam zakat.
3.      Zakat telah dipraktikan pada masa Rasulullah saw dengan mengirim para amil untuk mengambil zakat orang-orang kaya untuk kemudian disalurkan kepada orang-orang fakir dan miskin. Dan hal ini berlanjut pada masa sesudahnya, seperti masa Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali. Dan terjadi perkembangan dengan pesat ketika masa khalifah Umar bin Abdul Aziz. Bahkan dalam pemerintahannya telah diatur perundang-undangan mengenai masalah zakat dengan sangat baik.
4.      Zakat akan mampu menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan umat apabila ada kerjasama dan perbaduan visi dan misi diantara lembaga zakat di Indonesia yang bekerja secara profesional dan transparan. Dengan begitu zakat akan mampu menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5.      Diantara syarat kesuksesan zakat dalam mengatasi masalah kesejahteraan adalah  memahami secara luas tentang kaidah kewajiban zakat, Pengumpulan harta zakat secara menyeluruh, manajemen dan penyaluran zakat yang baik. Disamping itu, hal lain yang lebih penting adalah perpaduan antara moral dan spiritual ibadah suatu masyarakat dan muzakki. Dalam arti, ketika masyarakat rajin beribadah kepada Allah dan beramar makruf nahi munkar maka zakat akan mampu menjadi solusi ampuh untuk kesejahteraan umat, tetapi jika tidak , maka hal tersebut akan sia-sia. Karena kewajiban di dalam agama Islam saling berkaitan antara satu sama lainnya, tidak bisa terpisahkan. Wallahu a’lam bisshawab.

SEMOGA BERMANFAAT

F.     DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim dan Terjemah
Al-Asqalani, Ahmad Ibnu Hajar, Bulughu al-Maram min Adillati al-Ahkam,(Riaydl: Dar al-Falaq, cet. 7. 1424).
Al-Mawardi, Abu Hasan Ali bin Muhamma, al-Hawi fi Fiqh al-Syafi’i, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Cet.1,19994 M)
Al-Qardlawi, Yusuf, Dr., Daur al-zakah fi ‘ilaj al-Musykilat al-Iqtishadiyah,(Beirut: Dar Al-Syuruq).
....................,Yusuf, Dr., Fiqh al-Zakah, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1973.
Al-Razi, Fakhruddin Muhammad bin Umar, Mafatih al-Ghaib, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Cet. 1, 2000.
Al-Tarmasi, Muhammad Mahfuzh, Hasyiah al-Tarmasi,(Riyadl: Dar al-Minhaj. Cet. 1. 2011).
Azzah al-Muttaqi al-Hindi, Kanzu al-‘Ummal.
Mas’udi, Masdar Farid Ali, Manhaj al-Aslamah Limizaniyati al-Daulah bi Wasilati al-Tajdid fi Mafhumi al-Zakah, (Jakarta: Ma’had Cililitan)
Panduan Zakat Dompet Dhuafa,.h.8




[1] Dr. Yusuf qardlawi, Daur al-zakah fi ‘ilaj al-Musykilat al-Iqtishadiyah,(Beirut: Dar Al-Syuruq). h.7
[2]Ibid.,h. 27
[3] Panduan Zakat Dompet Dhuafa,.h.8
[4] Syaikh Muhammad Mahfuzh al-Tarmasi, Hasyiah al-Tarmasi,(Riyadl: Dar al-Minhaj. Cet. 1. 2011). H.5/6
[5] Ibid.,h.5/6
[6] Abu Hasan Ali bin Muhammad al-Mawardi, al-Hawi fi Fiqh al-Syafi’i, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Cet.1,19994 M).,h. 3/71
[7] Syaikh Muhammad Mahfuzh al-Tarmasi, Hasyiah al-Tarmasi, Op.cit.,,H.5/7
[8] Shohih bukhori
[9] Masdar Farid Ali Mas’udi, Manhaj al-Aslamah Limizaniyati al-Daulah bi Wasilati al-Tajdid fi Mafhumi al-Zakah, (Jakarta: Ma’had Cililitan). H. 31
[10]Orang miskin yang tidak mendapat bagian Maksudnya ialah orang miskin yang tidak meminta-minta.
[11] Dijelaskan di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah tentang ancaman bagi orang-orang yang tidak mengeluarkan zakat hartanya jika sudah mencapai syarat wajib zakat. Sebagaimana firman Allah, “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu."(QS. Attaubah: 34-35)
Juga ditegaskan oleh sabda Rasulullah saw, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu wa'alaihi wa sallam bersabda: "Tidaklah pemilik barang simpanan yang tidak menunaikan haknya kecuali Allah menjadikannya pada Hari Kiamat dipanaskan barang simpanan tersebut dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahinya, lambung dan punggungnya, hingga Allah memberikan keputusan diantara para hambaNya pada hari yang kadarnya adalah lima puluh ribu tahun menurut perhitungan kalian, kemudian ia akan melihat jalannya, ke Surga atau ke Neraka. Dan tidaklah pemilik kambing yang tidak menunaikan haknya melainkan kambing tersebut akan datang pada Hari Kiamat lebih banyak daripada dahulunya dan pemiliknya di dudukkan di hadapannya pada tanah terbuka yang datar, kambing tersebut menanduknya dengan tanduknya dan menginjaknya dengan sepatu-sepatunya, tidak ada padanya kambing yang bertanduk bengkok serta yang tidak bertanduk. Setiap kali kambing yang terakhir selesai maka kambing yang pertama dikembalikan lagi, hingga Allah memberikan keputusan diantara para hambaNya pada hari yang kadarnya adalah lima puluh ribu tahun menurut perhitungan kalian. Kemudian ia akan melihat jalannya, ke Surga atau ke Neraka. Dan tidaklah pemilik unta yang tidak menunaikan haknya melainkan unta tersebut akan datang pada Hari Kiamat lebih banyak daripada dahulunya dan orang tersebut didudukkan di hadapannya pada tanah terbuka yang datar, unta tersebut menginjaknya dengan sepatunya. Setiap kali unta yang terakhir selesai maka unta yang pertama dikembalikan kepadanya hingga Allah ta'ala memberikan keputusan diantara para hambaNya pada hari kadarnya adalah lima puluh ribu tahun menurut perhitungan kalian. Kemudian ia akan melihat jalannya, ke Surga atau ke Neraka." Sunan Abu Dawud. No. 1414
[12] Ibid.,h. 5/6-7
[13] Ahmad Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Bulughu al-Maram min Adillati al-Ahkam,(Riaydl: Dar al-Falaq, cet. 7. 1424). H. 1/169
[14] Azzah al-Muttaqi al-Hindi, Kanzu al-‘Ummal,no. 16838, Syaikh Muhammad Mahfuzh al-Tarmasi, Hasyiah al-Tarmasi, Op.cit.,h.5/8
[15] Yusuf al-Qardlawi, Daur al-zakah, Op.cit.,h. 36
[16] Ibid.,h. 31
[17]Ibid.,h. 27
[18] Al-amwal, h. 578-580
[19] http://pusat.baznas.go.id/
[21] Yusuf al-Qardlawi, Fiqh al-Zakah, Beirut: Muassasah al-Risalah, cet. 2, 1973. H. 1/122
[22] Ibid. H. 67
[23] Fakhruddin Muhammad bin Umar al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Cet. 1, 2000. H. 16/80
[24] Yusuf al-Qardlawi, daur al-zakat, Op.cit.,,h.70
[25] Ibid.,h. 75
              [26] Ibid.,h. 83
[27] Ibid.,, h. 61
[28] Ibid.,h.30
[29] Ibid.,h.28
[30] Ibid.,h.93
[31] Ibid.,h. 94

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger