Sabtu, 19 Oktober 2013

Syafa'at Cinta

Syafa’at Cinta
Cinta adalah konsekuensi. Karena itu memilih kekasih haruslah selektif, tidak asal pilih. Cinta dalam arti umum, akan dipertanggungjawabkan sampai di akhirat, penentuannya adalah disini, di dunia. Teringat sabda Rosulullah saw, bahwa Seseorang akan dikumpulkan bersama orang yang ia cintai. Hadis tersebut menjelaskan bahwa kalau seseorang mencintai Rosulullah, para sahabat, para syuhada, para ulama, orang sholih, orang jujur, maka ia akan dikumpulkan bersama mereka. tetapi sebaliknya, ketika cinta itu salah sasaran, mencintai para penguasa dholim dan diktator, para pecinta dunia, orang yang sombong, penipu, korupsi, artis yang mengumbar aurat, atau orang-orang yang suka bermaksiat kepada allah, maka ia akan dikumpulkan bersama mereka. karena cinta adalah konsekuensi sampai akhir.
Kyai Maimun Zubair Sarang menulis tentang cinta dalam muqoddimahnya pada sebuah kitab karya syaikh muhammad mahfuzh al-tarmasi, ‘inayah al-muftakir,kecintaan saya kepada para ulama adalah dengan berusaha menjadikan mereka sebagai panutan dalam mencari ilmu dan menempuh jalan mengenal allah swt meskipun pada kenyataanya saya bukan termasuk mereka dan belum merasakan pengalaman spiritual sebagaimana yang telah mereka amalkan tetapi menjadi harapan saya dengan mencintai mereka allah berkenan mengumpulkan saya dengan mereka di dalam syurganya di akhirat kelak. Karena sebagaaimana hadis rosulullah saw yang diriwaayatkan oleh imam muslim dari anas ibn malik berkata, :
جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله متى الساعة ؟ قال : وما أعددت الساعة ؟ قال : حب الله ورسوله، قال : فإنك مع من أحببت. قال أنس : فما فرحنا بعد الإسلام فرحا أشد من قول النبي صلى الله عليه وسلم، فإنك مع من أحببت،. قال أنس : فأنا أحب الله ورسوله وأبا بكر وعمر ، فأرجو أن أكون معهم وإن لم أعمل بأعمالهم.
Datang seorang laki-laki kepada rosulullah saw seraya berkata : wahai rosulullah saw, kapan terjadi hari kiamat? Rosulullah saw berkata : apa yang membuatmu menyebut hari kiamat?ia berkata : cinta allah dan rosulnya. Rosulullah saw bersabda : “engkau bersama orang yang engkau cintai. anas berkata: kami tidak pernah merasakan kebahagian yang sangat setelah masuk islam daripada mendengar perkataan rosulullah saw “sesungguhnya engkau bersama orang yang engkau cintai”. ia melanjutkan: sungguh aku mencintai allah, rosulnya, abu bakar, umar. Aku berharap termasuk bagian dari mereka meski belum beramal sebagaimana yang telah mereka amalkan.
وفي رواية له عن عبد الله بن مسعود قال : جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله ، كيف ترى في رجل أحب قوما ولما يلحق بهم، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : المرء مع من أحب.
“Datang seorang laki-laki kepada Rosulullah saw seraya berkata, : “wahai Rosulullah saw, bagaimana pendapatmu terhadap seseorang yang mencintai orang lain, tetapi ia belum pernah bertemu dengannya?. Rosulullah saw menjawab: “seseorang bersama orang yang ia cintai”
Imam Nawawi dalam menjelaskan hadis ini mengatakan, : “hadis ini menerangkan keutamaan mencintai allah, rosulnya, orang-orang sholih, dan ahli kebaikan baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Dan tidaklah menjadi syarat mencintai mereka beramal seperti apa yang mereka lakukan, karena seandainya ia dapat beramal seprti yang mereka lakukan niscaya ia sama seperti  atau termasuk dalam golongan mereka, begitu juga yang dimaksud bersama mereka tidak mesti sama seperti mereka dalam masalah derajat dan pahala.”
Dijelaskan di dalam kitab Tuhfat Alakhwadzi : “yaitu orang yang mencintai suatu kaum dengan ikhlas, ia termasuk kelompok mereka meskipun belum beramal sepbagaimana yang telah mereka amalkan, yang demikian karena kedekatan hati mereka yang didasari oleh rasa cinta.”
Jika para sahabat merasakan kebahagiaan yang luar biasa setelah mereka masuk islam karena cinta tersebut seperti yang dikatakan Anas Ibn Malik, maka bagaimana kiranya dengan orang-orang yang datang setelah  mereka , terlebih pada zaman kita saat ini. Karena itu ada yang mengatakan:
أحب الصالحين ولست منهم لعل الله يرزقني صلاحا
“saya mencintai orang-orang sholih padahal diriku bukan termasuk mereka, tetapi saya mengharapkan supaya allah memberikan kepadaku kebaikan”
وقال أخر :
أحب الصالحين ولست منهم  لعلي أن أنال بهم شفاعة
وأكره من بضاعته المعاصي  وإن كنا سواء في البضاعة
“saya mencintai orang-orang sholih padahal saya bukan dari mereka, semoga karena mencintai mereka saya mendapat syafaat, saya membenci orang yang suka berbuat maksiat, meskipun saya melakukannya”
Semoga allah menjadikan ku termasuk orang-orang yang mencintai orang sholih, dengan mengharap supaya allah mengumpulkan ku dalam goloongan mereka dan berkumpul dengan mereka di syurganya yang penuh dengan kenikmatan.[1]
Demikian penjelasan kyai maimun zubair yang menegaskan bahwa cinta adalah konsekuensi sampai akhir. Karena itu rasa cinta kepada siapa dan apapun itu hendaknya berdasarkan karena cinta kepada allah swt, karena cinta itulah yang akan mendatangkan syafa’at di hari kiamat. Sebagaimana sabda rosulullah saw, yang dituliskan imam nawawi di dalam kitabnya riyadl al-sholihin,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : قال الله تبارك وتعالى : المتحابون في جلالي لهم منابر من نور يغبطهم النبيون والشهداء.
“Orang-orang yang mencintai karena aku (allah), bagi mereka adalah mimbar-mimbar cahaya, yang menjadikan para nabi dan syuhada menginginkannya” (AL-HADIS)
Al-katib: Al-Faqir Ila Ridha Rabbihi Dzulkifli Amnan Al-Syarafani Al-Qudsy
Bekasi, 20/10/2013
Semoga Bermanfaat


[1] Muqoddimah kh. Maimun zubair dalam kitab inayah almuftaqir karya syaikh muhammad mahfud altarmasi cet. Alfikroh yogyakarta.

Jumat, 11 Oktober 2013

TEN DAYS EARLIER DZUL HIJJAH (Menggapai Limpahan Pahala Bulan Dzulhijjah)


TEN DAYS EARLIER DZUL HIJJAH
(Menggapai Limpahan Pahala Bulan Dzulhijjah)
Bulan Dzulhijjah adalah bulan haji. Bulan yang mendapat kedudukan tersendiri dalam agama Islam. Di dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah ada nash yang menyinggung masalah bulan atau hari-hari tersebut. Sebagaimana di dalam surat Al-Fajr, Allah swt berfirman:
وَالْفَجْرِ (1) وَلَيَالٍ عَشْرٍ (2)
“Demi fajar, dan malam yang sepuluh” (QS. Al-Fajr: 1-2)
Para ahli tafsir menyebutkan, sebagaimana yang tertulis di dalam kitab Marāh Labid Syaikh Nawawi Al-Bantani, yang dimaksud malam yang ke sepuluh adalah 10 hari pertama bulan Dzulhijjah.
Berkaitan dengan 10 hari pertama bulan Dzulhijjah terdapat nash hadis yang menguatkan dan menjelaskan keutamaan hari-hari tersebut. Diantaranya adalah hadis Rosulullah saw yang diriwayatkan oleh ibnu abbas:
عن ابن عباس مرفوعا: "ما من أيام العمل الصالح أحب إلى الله فيهن من هذه الأيام" -يعني عشر ذي الحجة -قالوا: ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: "ولا الجهاد في سبيل الله، إلا رجلا خرج بنفسه وماله، ثم لم يرجع من ذلك بشيء" رواه البخاري
               “Dari Ibnu Abbas, Rosulullah saw bersabda : “Tidak ada hari dimana amal sholih yang dikerjakan, lebih dicintai Allah swt dari pada hari-hari ini (10 hari pertama Dzulhijjah). Para sahabat bertanya: tidak pula jihad di jalan Allah wahai Rosulullah saw?. Rosulullah saw menjawab: begitu juga dengan jihad, kecuali ada orang yang keluar dengan jiwa dan hartanya, kemudian ia tidak kembali dari jihad dengan sesuatu apapun”.  (HR. Imam Bukhori)
               Hadis tersebut menjelaskan bahwa beramal sholih pada hari-hari sepuluh pertama Dzulhijjah merupakan amal ibadah yang sangat dicintai Allah swt dibandingkan dengan beramal sholih pada hari selain hari-hari tersebut secara mutlak. Hal ini sebagaimana menurut Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani di dalam Fath Al-Bāri,: “Yang menjadi sebab mengapa sepuluh hari pertama Dzulhijjah menjadi istimewa dari hari lainnya karena di hari-hari tersebut terkumpul amal-amal ibadah yang utama (induk ibadah), seperti sholat, puasa, shodaqoh, dan haji. Amalan tersebut tidak terkumpul pada bulan lainnya.”
Dan diantara amal sholih yang mendapat perhatian khusus di sepuluh hari pertama Dzulhijjah adalah puasa Arafah, yaitu puasa pada tanggal 9 Dzulhijjah. Hal ini sebagaimana sabda Rosulullah saw yang diriwayatkan oleh qotadah:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : صوم يوم عرفة يكفر سنتين ماضية ومستقبلة. رواه الجماعة إلا البخاري
Puasa pada hari arafah menghapus dosa dua tahun; satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang”.
Memasuki tanggal 10 Dzulhijjah, Allah swt mensyariatkan umat Islam untuk berkurban (Udlhiyyah). Sebagaimana firman Allah swt:
فصل لربك وانحر
“Maka sholatlah kepada tuhanmu dan berkonlah” (QS. Al-Kautsar: 2)
Mengenai udlhiyyah (berkurban) terdapat nash hadis yang menjelaskan betapa besar keutamaan berkurban pada tanggal 10 Dzulhijjah. Sebagaimana sabda Rosulullah saw yang diriwayatkan oleh ummul mukminin aisyah ra:  
عن عائشة أن النبي، صلى الله عليه وسلم، قال: ما عمل آدمي من عمل يوم النحر أحب إلى الله من إهراق الدم ، إنها لتأتي يوم القيامة بقرونها وأشعارها وأظلافها، وإن الدم ليقع من الله بمكان  قبل أن يقع على الارض، فطيبوا بها نفسا ". روى الترمذي
“Dari Aisyah, Rosulullah saw bersabda : “tidak ada amalan yang dilakukan anak adam (manusia) pada hari kurban  Yaum Al-Nahr’ (10 Dzulhijjah) yang lebih dicintai Allah swt dari pada mengalirkan darah (memotong hewan kurban). Karena ia akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, bulu dan dagingnya. Dan sungguh darahnya sudah diterima Allah swt sebelum ia sampai ke tanah. Maka beruntunglah bagi orang yang mampu berkurban” (HR. Imam Tirmidzi)
Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan mengenai udlhiyyah (berkurban ) adalah
1. Disunnahkan bagi orang yang berkurban untuk memotong atau menyembelih sendiri hewan kurbannya dan mengucapkan doa sebagaimana yang diajarkan oleh Rosulullah saw yaitu :
بسم الله والله أكبر ، اللهم هذا عن فلان
Dengan menyebut asma Allah, Allah yang maha besar. Ya Allah ini adalah kurban dari fulan (nama orang yang berkurban)”
Atau doa
بسم الله والله أكبر ، اللهم هذا عني وعن من لم يضح من أمتي
Dengan menyebut asma Allah, Allah yang maha besar. Ya Allah ini adalah kurban dariku, dan dari umatku yang belum berkurban”. (HR. Imam Abu Dawud & Imam Tirmidzi)
2. Dianjurkan pula bagi orang yang berkurban untuk menyaksikan hewan kurbannya ketika disembelih. Hal ini sebagaimana perintah Rosulullah saw kepada fathimah,
فإن النبي، صلى الله عليه وسلم، قال لفاطمة: يا فاطمة، قومي فاشهدي أضحيتك فإنه يغفر لك عند أول قطرة من دمها كل ذنب عملته، وقولي: " إن صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العالمين، لا شريك له، وبذلك أمرت وأنا أول المسلمين ".
فقال أحد الصحابة: يا رسول الله، هذا لك ولاهل بيتك خاصة أو للمسلمين عامة؟ قال رسول الله، صلى الله عليه وسلم: بل للمسلمين عامة.
“Sesungguhnya nabi muhammad saw berkata kepada fathimah: wahai fathimah, berdiri dan saksikanlah hewan kurbanmu, sungguh kamu akan mendapat ampunan dari dosa yang telah kamu lakukan di setiap tetesan darah yang mengalir dari hewan kurban, dan katakanlah:  sesungguhnya sholatku, kurbanku (ibadahku), hidupku, matiku ada untuk Allah; tuhan penguasa alam raya. Tidak ada sekutu baginya, karena itulah aku diperintah dan aku termasuk orang pertama yang berserah diri. Bertanya salah seorang sahabat: wahai Rosulullah, apakah amalan ini khusus bagi engkau dan keluargamu, atau berlaku untuk semua umat Islam? Rosulullah saw berkata: “amalan tersebut berlaku  umum untuk semua umat Islam” (HR. Imam Hakim)

PAHALA AMAL IBADAH YANG SETARA DENGAN PAHALA HAJI DAN UMRAH      
Ada sebuah amalan yang apabila dilakukan, ia akan memperoleh pahala seperti pahala haji dan umrah dengan sempurna. Amalan tersebut berdasarkan hadis Rosulullah saw,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من صلَّى الغداةَ في جماعةٍ ثم قعد يذكرُ اللهَ حتى تطلعَ الشمسُ ثم صلَّى ركعتيْنِ كانت لهُ كأجرِ حجَّةٍ وعمرةٍ . قال : قال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ : تَامَّةٍ ، تَامَّةٍ ، تَامَّةٍ
“Barangsiapa yang melakukan sholat subuh (Ghodah) berjama’ah kemudian ia duduk berdzikir sampai terbit matahari, kemudian ia sholat dua rakaat, maka baginya pahala haji dan umrah. Sempurna, sempurna, sempurna”. (HR. Imam Tirmidzi, hasan ghorib).

Mengenai hadis tersebut, seorang kyai pernah menasehati santri-santrinya, kalau kalian bisa mengamalkannya setiap hari, lakukanlah. Kalau tidak bisa tiap hari, tiap pekan sekali, kalau tidak bisa tiap pekan sekali, tiap bulan sekali, kalau tidak bisa tiap bulan sekali, tiap tahun sekali, kalau tidak bisa, seumur hidup sekali.[1]
            Mengenai waktu pagi, insyaAllah saya akan membahasnya khusus dalam tema menggapai pahala pagi.
Demikian beberapa amalan ibadah yang perlu diperhatikan pada sepuluh pertama bulan Dzulhijjah. Semoga Allah swt memberikan limpahan rahmat dan karunianya supaya meringankan langkah kita untuk melaksanakan amalan-amalan sholih pada hari-hari tersebut sehingga kita mampu meraih limpahan pahala yang tidak dapat disamai amalan jihad fi sabilillah sekalipun, sebagaimana tersebut dalam hadis Rosulullah saw diatas. WAllahu A’lam Bisshowab. WAllahu Al-Muwaffiq Ila Aqwami Al-Thoriq.
وصلى الله على سيدنا محمد والحمد لله رب العالمين
Goresan Tinta Al-Rāji Ridha Rabbihi Al-Ghoniy Dzulkifli Amnan Al-Syarafani Al-Qudsyi .
Bekasi, Al-Hassan, Jum’at, 6 Dzulhijjah 1434 H/ 11 Oktober 2013 M

Semoga Bermanfaat



Maraji’ :
Al-Qur’an Al-Karim Dan Terjemah (Syamil Qur’an)
Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah. (Mesir: Al-Fat Li Al-I’lam Al-‘Arabi. Cet. I. 2004)
Syaikh Nawawi Al-Bantani, Marah Labid Li Kasyfi Ma’na Al-Qur’an Al-Majid. (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah. Cet. V. 2011)
Syaikh Muhammad Mahfud Al-Tarmasi, Hasyiyah Al-Tarmasi. (Riyadl: Dar Al-Minhaj. Cet. I. 2011).
 




[1] Kenangan ngaji bersama KH. Dr. Muslih Abdul karim, MA hafidahullah wa barakallah lahu

Senin, 16 September 2013

JARINGAN ULAMA TANAH JAWA DI TANAH SUCI ABAD XVII – XX

JARINGAN ULAMA TANAH JAWA DI TANAH SUCI ABAD XVII – XX

a. Hubungan Tanah Jawa Dengan Tanah Suci
Hubungan antara tanah jawa (nusantara) dengan dunia timur tengah sebenarnya telah terjadi jauh sebelum lahirnya nabi muhammad saw[1]. Hubungan antara nusantara dengan timur tengah melibatkan sejarah yang panjang. Azyumardi azra mengatakan bahwa Kontak paling awal antara kedua wilayah ini, khususnya perdagangan, bermula bahkan sejak masa Phunisia dan saba.[2] Hubungan ini berlangsung hingga masa setelah munculnya islam. Sejak abad ke-7 M atau abad pertama hijriyah, nusantara sudah membangun hubungan dengan timur tengah baik dalam bidang ekonomi, politik dan religi.[3] Hubungan ini semakin kuat pada  abad ke-16. Terlihat dengan adanya kerjasama antara kesultanan aceh dengan dinasti ustmani.[4]
Lebih lanjut, azyurmadi mengatakan, untuk menyimpulkan hubungan-hubungan antara timur tengah dan nusantara sejak kebangkitan islam sampai paruh kedua abad ke-17 menempuh beberapa fase dan juga mengambil beberapa bentuk. Dalam fase pertama, kasarnya sejak akhir abad ke-8 sampai abad ke-12, hubungan-hubungan yang ada pada umumnya berkenaan dengan perdagangan. Inisiatif dalam hubungan-hubungan semacam ini kebanyakan diprakarsai muslim timur tengah, khususnya arab dan persia. Dalam fase berikutnya, sampai akhir abad ke-15, hubungan-hubungan antara kedua kawasan mulai mengambil aspek-aspek lebih luas. Muslim arab dan persia, apakah pedagang atau pengembaara sufi, mulai mengintensifikasikan penyebaran islam di berbagai wilayah nusantara. Pada tahap ini hubungan-hubungan keagamaan dan kultural terjalin lebih erat.
Tahap ketiga adalah sejak abad ke -16 sampai paruh kedua abad ke-17. Dalam masa ini hubungan-hubungan yang terjalin lebih bersifat politik di samping keagamaan tadi. Di antara faktor terpenting di balik perkembangan ini adalah kedatangan dan peningkatan pertarungan di antara kekuasaan portugis dengan dinasti utsmani di kawasan lautan india. Menjelang paruh kedua abad ke-17, hubungan-hubungan keagamaan dan politik juga dijalin dnegan para penguasa haramayn. Dalam periode ini, muslim nusantara semakin banyak ke tanah suci, yang pada gilirannya mendorong terciptanya jalinan keilmuan antara timur tengah dengan nusantara melalui ulama timur tengah dan murid-murid jawi.[5]
B. Jaringan Ulama Tanah Jawa Di Tanah Suci
Keterlibatan ulama tanah dalam jaringan ulama tanah suci sudah ada sejak abad ke-17. Jejak mereka terekam dan ditulis oleh para ulama isnad dan sejarawan arab yang menulis tentang biografi para tokoh dunia arab, terutama tokoh tanah suci. Hal ini dikuatkan dengan analisa yang dilakukan azyumardi azra, dia mengungkap jaringan ulama timur tengah dan kepulauan nusantara abad ke-17-18 dari berbagai sumber arab dan orientalis. Kemudian masa berikutnya yaitu abad ke-19-20 merupakan masa keemasan para ulama tanah jawa di tanah suci, karena kuantitas mereka yang sangat banyak dan kualitas keilmuan mereka menjadi sandaran ulama tanah suci lainnya. Berikut jaringan ulama tanah jawa di tanah suci yang dimulai sejak abad ke-17 sampai dengan abad ke-20 M.
1). Ulama Tanah Jawa Di Tanah Suci Abad Ke-17
Di dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVII, prof. azyumardi azra menyatakan bahwa para perintis ulama tanah jawa di tanah suci dimulai pada abad ke-17. Sebagai perintisnya adalah Nuruddin al-raniri (w. 1068/1658), Abdurrauf al-sinkili (1024-1105/1615-1693), dan Muhammad yusuf bin abdullah abu al-mahasin al-taj al-khalwati al-maqassari (1037-1111/1627-99). Antara al-raniri dan al-sinkili mempunyai kedekatan hubungan Karena mereka bersahabat dan belajar bersama dengan, antara lain, al-qusyasyi dan al-kurani. Sedang al-maqassari dengan al-raniri mempunyai hubungan guru dan murid, serta ia juga belajar kepada gurunya al-raniri.
2. Ulama tanah jawa di tanah suci abad ke-18 M
Memasuki abad ke-18, jaringan ulama tanah jawa di tanah suci dilanjutkan oleh para tokoh yang banyak mempunyai pengaruh baik di tanah jawa maupun di tanah suci. Nama mereka juga dikenal oleh para ulama tanah suci dan banyak terdaftar di buku-buku biografi tokoh arab. Ulama melayu (jawa) yang terlibat dalam jaringan ulama abad ke-18 itu, mempunyai hubungan dan koneksi yang dapat dilacak dengan jaringan ulama pada masa sebelumnya. Mereka memang tidak mempunyai hubungan langsung guru-murid dengan para perintis melayu-indonesia, yaitu Al-Raniri, Al-Sinkili dan Al-Maqassari, tetapi guru-guru mereka di makkah dan madinah termasuk tokoh-tokoh terkemuka dari jaringan ulama pada masa mereka. guru-guru itu mempunyai hubungan langsung dengan para ulama sebelumnya, dengan siapa ketiga ulama jawi abad ke-17 juga berkaitan. Lebih-lebih lagi, para ulama melayu-indonesia pada abad ke-18 tahu benar tentang ajaran-ajaran ketiga perintis tersebut, dan mereka menjalin hubungan intelektual dengan mereka dengan jalan mengacu pada karya-karya mereka.
 Diantara ulama tanah jawa yang meneruskan jaringan ulama di tanah suci adalah Muhammad Arsyad Al-Banjari, Syaikh Abdus Samad Al-Falambani, Abdul Wahab Bugis, dan Syaikh Abdurrahman Al-Mashri. Keempat sahabat ini dikenal dengan sebutan Empat Serangkai Dari Jawa.
Hal ini dikuatkan oleh azyumardi azra, dia mengatakan : “Ada beberapa ulama utama melayu-indonesia yang berasal dari berbagai wilayah dan kelompok etnis di nusantara pad periode abad ke-18 hingga awal abad ke-19. Sebagaian mereka datang dari wilayah Palembang di Sumatera Selatan. Yang paling penting di antara mereka adalah Syihab Al-Din Ibn Abdulllah Muhammad, Kemas Fakhr Al-Din, Abdusshamad Al-Palimbani, Kemas Muhammad Ibn Ahmad, Dan Muhammad Muhyiddin Bin Syihabuddin. Selanjutnya adalah Muhammad Arsyad Al-Banjari dan Muhammad Nafis Al-Banjari Dari Kalimantan Selatan, Abdulwahhab Al-Bugisi dari Sulawesi, dan Abdurrahman Al-Mashri Al-Batawi dari Jakarta, Dan Dawud Ibn Abdulllah Al-Fatani Dai Wilayah Patani, Thailand Selatan. Meski informasi mengenai sebagian di antara para ulama ini sangat minim, karier dan ajaran mereka menjelaskan bahwa mereka terlibat baik secara sosial maupun intelektual dalam jaringan ulama. Jika digabungkan, mereka merupakan para ulama paling penting di nusantara pada abad ke-18.
3). Ulama tanah jawa di tanah suci abad ke-19-20 M
Memasuki penghujung abad ke-19 dan awal abad ke-20, semakin banyak ulama tanah jawa yang menuntut ilmu di tanah suci. Informasi tentang biografi mereka lebih banyak dan tercatat dengan cukup detail di dalam kitab-kitab sanad dan buku-buku biografi arab.  Dan banyak dari mereka yang setelah mendapat ijazah (sertifikasi), mereka mengajar di masjidil haram. hal tersebut secara tidak langsung, menjadikan peran mereka di tanah suci sebagai penerus jaringan ulama tanah jawa yang telah dirintis pada oleh para ulama tanah jawa sebelumnya.
Mungkin boleh dikatakan bahwa pada masa tersebut adalah masa keemasan ulama tanah jawa di tanah suci, karena kuantitas /jumlah mereka yang begitu banyak, disertai kualitas keluasan ilmu mereka yang melahirkan ribuan ulama besar dan ratusan karya tulis sebagai sumbangsih perkembangan intelektual di tanah suci. Keadaan seperti ini tidak ada pada masa sebelum dan sesudahnya. setidaknya ada beberapa data yang membantu analisa dalam mengungkap para ulama tanah jawa yang menjadi guru besar / ulama tanah suci, masjidil haram, seperti buku Siyar Wa Tarajim Ba’dli Ulamaina Fi Alqorni Alrobi’ ‘Asyar Li Alhijrah, Mausu’ah A’lam Al-Qorn Al-Rabi’ ‘Asyar Wa Al-Khomis ‘Asyar Al-Hijri Fi Al-‘Alam Al-‘Arabi Wa Al-Islami, Natsr Al-Jawahir Fi Ulama Al-Qorn Al-Rabi’ ‘asyar,  A’lamul makkiyin Min Al-Qorn Al-Tasi’ Ila Al-Qorn Al-Robi’ Asyara Al-Hijri, Al-Mubtada Wa Al-Khabar Li Ulama Fi Al-Qorn Al-Rabi’ ‘Asyar Wa Ba’dli Talamidzihim, Al-Dlou Al-Lami’ Li Ahli Alqorni Altasi’, Al-A’lam Qomus Tarajim Li Asyhar Al-Rijal Wa Al-Nisa’ Min Al-‘Arab Wa Al-Almusta’ribin Wa Al-Mustasyriqin, Fahros Al-Faharis Wa Al-Astbat Wa Mu’jam Al-Ma’ajim Wa Al-Masyihot Wa Al-Musalsala, Faidl Al-Malik Al-Wahhab Al-Muta’ali Bi Anba’ Awail Al-Qorn Al-Tsalis ‘Asyar Wa Al-Tawali, Akhbar Makkah Fi Qodim Al-Dahr Wa Hadisihi, dan kitab-kitab lainnya.
Berikut para penerus jaringan ulama tanah jawa di tanah suci pada abad ke-19-20 M:
1.      Muhammad Mahfud Al-Tarmasi Al-Jawi Al-Makki (1285-1338 H/ 1889-1920 M)
2.      Muhammad Nawawi Al-Jawi Al-Bantani Ibn Umar Ibn Ali Ibn ‘Arabi Al-Syafi’i Al-Makki (1230-1314 H)
3.      Abdul Haq Al-Jawi Al-makki (1285-1324 H / 1869—1907 M)
4.      Arsyad Ibn As’ad Ibn Mushthofa Ibn As’ad Al-Thowil Al-Bantani Al-Jawi Al-Makki (1255-1353 H/ 1840-1935 M).
5.      Muhammad Arif Ibn Muhammad Wasi’ Al-Bantani Al-Jawi Al-Makki Al-Syafi’i (1285-1348 H/ 1889-1940 M).
6.      Muhammad Saleh Darat al-jawi (1235 H/1820 M- 1321 H/ 1903 M)
7.      Muhammad Khalil bin Abdul Lathif (lahir 1235 H/1820 M)
8.       Ali Ibn Abdullah Ibn Mahmud Ibn Muhammad Arsyad Ibn Abdullah Al-Banjari Al-Indonisiy Al-Makki Al-Syafi’i (1285-1370 H / 1889-1951 ).
9.      Abu Bakar Ibn Syihab Ibn Abdurrahman Ibn Abdillah Tambusi Al-Jawi Al-Syafi’i (1280-1359 H/ 1864-1940 M).
10.  Utsman Ibn Abdillah Al-Tambusi (….-1369  H/ ….-1950 M).
11.  Muhammad Ahid Ibn Muhammad Idris Ibn Abi Bakar Ibn Tubagus Mushthofa Al-Bakri Al-Bughuri Al-Makki (1302-1372 H / 1885-1953 M).
12.  Baqir Ibn Muhammad Nur Ibn Fadli Ibn Ibrahim Ibn Ahmad Al-Jogjawi Al-Syafi’i Al-Indonisiy Al-Makki (1306-1363 H/ 1889-1944 M).
13.  Muhammad Hasyim Asy’ari Al-Jombani Al-Jawi (1228-1366 H/ 1875-1947 M).
14.  Ahmad Ibn Abdul Lathif Ibn Abdullah Ibn Abdul Aziz Al-Khotib Al-Minakabawi Al-Jawi Al-Makki 1276-1334 H/ 1860-1916 M.
15.  Muhammad Mukhtar Ibn ‘Athorid Al-Bughuri Al-Jawi Al-Batawi Al-Makki Al-Syafi’i (1278-1349 H/ 1862-1931 M).
16.  Ahmad Ibn Ahmad Ibn Sa’ad Ibn Abdurrahman Al-Marzuqi Al-Batawi (1292 – 1353 H/ 1875-1935 M)
17.  Mansur Ibn Abdul Hamid Ibn Muhammad Al-Batawi Al-Jakartawi Al-Syafi’i (1295-1387 H).
18.  Abdul Ghoni Al-Bimawi Aljawi (…-1270 H/ ….-1854 M).
19.  Marzuqi Al-Jawi Al-Syafi’i (…..- 1332 H/ …..-1914 M).
20.  Sholih Ruwah Al-Syafi’i (….-1270 H/ ….-1854)
21.  Baidlowi Ibn Abdul Aziz Ibn Baidlawi Ibn Abdul Lathif Al-Andunisia Al-Lasemi Al-Syafi’i (…- 1390 H/ ….-1970 M).
22.  Ali Ibn Abdul Hamid Ibn Muhammad Ali Kudus Al-Samarani Al-Syafi’i Al-Makki.
23.  Abdul Qodir Al-Mandili Al-Jawi Al-Syafi’i (…. – 1352 H/ ….-1933 M).
24.  Ismail Ibn Abdullah Al-Minakabawi Al-Naqsyabandi Al-Kholidi Al-Jawi ( …. -  1280 H/ ….- 1863 M).
25.  Muhammad Azhari Ibn Ismail Ibn Abdullah Al-Kholidi Al-Minakabawi Al-Makki
26.  Muhammad Nur Ibn Ismail Ibn Muhammad Azhari Ibn Ismail Ibn Abdullah Al-Minakabawi Al-Naqsyabandi Al-Kholidi Al-Jawi (…..-1313 H/ ….-1896) .
27.  Abdullah Ibn Azhari Ibn ‘Asyiq Aldin Muhammad Ibn Shofiyudin Al-‘Alawi Al-Husaini Al-Falambani (1279 – 1357 H/ 1863-1939 M).
28.  Ahmad Nahrawi Al-Jawi (…. – 1346 H/ ….-1927 M).
29.  Muhammad Ibn Umar Sumbawi Al-Jawi Al-Makki.
30.  Muhammad Ibn Abdul Ghoni Ibn Abdurrahman Al-Falambani Al-Jawi
31.  Wahyudin Ibn Abdul Ghoni Ibn Sa’adullah Al-Falambani Al-Syafi’i
32.  Ahmad Ibn Abdul Ghoffar Ibn Abdullah Ibn Muhammad Sambas (1217-1289 H / 1802-1872 M)
33.  Sayyid Muhsin Ali Ibn Abdurrahman Al-Musawa (Pendiri Madrasah Dar Al-‘Ulum Al-Diniyah Di Makkah) ( 1323-1354 H / 1905-1935 M).
34.  Zain Ibn Badawi Al-Sumbawi
35.  Muhsin Al-Sairami Al-Bantani (Serang Banten 1277-1359)
36.  Ali Ibn Abdullah Al-Banjari
37.  Sayyid Abdurrahman Ibn Muhammad Ibn Zai Al-‘Abidin Ibn Husain Ibn Musthofa Al-‘Idrus.
38.  Muhsin Ibn Muhammad Banhasan Al-Surabawi (1316-1366 H)
39.  KH. Abdul Mukhith Ibn Ya’qub Ibn Panji Al-Jawi Al-Makki (Panji, Surabaya)
40.  Hasan Musthofa Garut Al-Jawi,.
41.  Muhammad Syadzili Al-Jawi (1290-…. H/ 1973-…. M),
42.  Ali Ibn Abdul Qodir Kudus Al-Syafi’i (W. 1272 H/ 1855 M).
43.  Syaikh Junaid Al-Jawi
44.  Abdussyakur Ibn Abdul Jalil Al-Jawi
45.  Jami’ Ibn Abdurrasyid Al-Rifa’i Al-Buqisi (1255-1361 H)
46.  Syaikh Al-Sya’ri Ibn Abdurrahman Al-Jawi Al-Makki
47.  Abdul Aziz Ibn Abdul Wahhab Ibn Sholih Al-Bunquri Al-Indonisiy Al-Makki. (1297-1353 H)
48.  As’ad Syamsul Arifin Sitobondo (Makkah, 1897 – situbondo, 4 agustus 1990).
49.  Sulaiman Al-Rasuli (1871-1970 M).
50.  Abdul Karim Amrullah (1879-1945 M)
51.  Syaikh Muhammad Jamil Jambek (1860-1947 M).
52.  Muhammad Yasin Ibn Muhammad Isa Alfadani Al-Makki / Abu Al-Faid Alamuddin (W. 28 Dzul Hijjah Tahun 1410 H/ 1990 M).
53.  Muhammad Mukhtaruddin Ibn Zainal Abidin Al-Falimbani Al-Jawi Al-Makki Al-Syafi’i (W. 1411)
Data diatas merupakan bukti bahwa, abad ke-19-20 M adalah abad keemasan ulama tanah jawa di tanah suci. Mereka banyak melahirkan murid dan karya tulis. Tetapi sangat disayangkan kebanyakan karya mereka, masih berupa manuskrip dan sedikit yang sudah diterbitkan. Diantara ulama tanah jawa di tanah suci yang dikenal dan masyhur dengan banyaknya karya mereka antara lain, Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani, Syaikh Muktar ‘Athorid Al-Bughuri, Syaikh Muhammad Mahfud Al-Tarmasi, Syaikh Khotib Al-Minakabawi, Mansur Ibn Abdul Hamid Ibn Muhammad Al-Batawi, Syaikh Sayyid Muhsin Ali Al-Musawa, Dan Syaikh Muhammad Yasin Al-Padani. Dan nama terakhir adalah ulama tanah jawa terakhir yang berkiprah di tanah suci atau yang menjadi guru besar di masjidil haram. sangat disayangkan, setelah meninggalnya syaikh muhammad yasin al-fadani, belum ada lagi ulama tanah jawa / indonesia yang menjadi ulama tanah suci, yang bersinar namanya di seluruh penjuru alam islami.[6]
Umar abdul jabbar, penulis kitab siar wa tarajim mengatakan, “orang sekarang belum memperoleh apa yang telah mereka dapatkan yaitu ilmu yang melimpah ruah dan luas, terlebih lagi mereka juga berperan dalam melawan kedholiman dan orang-orang yang berbuat dholim dengan sikap teguh dan tegas mereka. merekalah orang-orang yang tidak takut pada celaan orang-orang yang mencela.” [7]
Dari data diatas dapat dibaca bahwa pemikiran para ulama tanah jawa di tanah suci sejak abad ke-17-20 M adalah beraqidah ahlu al-sunnah wa al-jama’ah al-‘asyairoh, dalam bidang fiqih mereka bermadzhab syafi’I, serta tasawuf sunni. Hal ini dikuatkan dengan analisa yang dilakukan oleh mufti syafi’iyah, syaikh sayyid ahmad zaini dahlan, ia mengatakan bahwa, Sekitar abad ke-19, madzhab syafi’I adalah madzhab yang paling berpengaruh dan tersebar di jazirah arabia. Dan daerah hijaz adalah pusatnya. Bahkan mayoritas para ulama dan pencari ilmu adalah bermadzhab syafi’i.”[8]
Begitu juga, jaringan ulama tanah jawa di tanah suci yang sudah dimulai sejak abad ke-17 sampai dengan abad ke-20 adalah bukti bahwa tanah jawa (indonesia) mampu melahirkan tokoh-tokoh hebat yang berperan besar dalam perkembangan intelektual di dunia islam dan penyebaran agama islam di berbagai belahan dunia. Hari ini mungkin belum ada ulama indonesia seperti mereka, tetapi sebagai ungkapan optimisme, tidaklah mustahil akan terlahir kembali dari rahim indonesia para ulama besar yang mampu melanjutkan jaringan ulama tanah jawa di tanah suci.  
Demikian penelitian tentang jaringan ulama tanah jawa di tanah suci dari abad ke17-20 M yang dapat saya tuliskan. Tetapi dalam penulisan ini, banyak footnote yang tidak saya tuliskan karena beberapa alasan, tapi insyaallah dalam waktu dekat akan diperbarui dan disertai dengan biografi para ulama yang disebut diatas. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi umat islam, dan hanya doa yang kami harapkan suapay kami dapat terus menulis dalam upaya melanjutkan tradisi intelektual para ulama islam. Amin
Goresan Tinta Al-Faqir Ila Rahmati Robbihi Al-Ghoniy Dzul Kifli Amnan Al-Syarafani Al-Qudsyi
Bekasi, 17/09/2013


[1] ahmad mansur suryanegara, Api sejarah 1(Bandung: penerbit salamadani. Cet. V. 2012). Hal. 2
[2] Prof. Azyumardi Azra, PH.D.,M.phil., M.A., CBE, jaringan ulama timur tengah dan kepulauan nusantara abad XVII & XVIII (Jakarta : Prenada Media group. Cet.I. 2013). Hal.19-20
[3] Ibid. hal. 23
[4] Ibid. hal. 39
[5] Prof. Azyumardi Azra, PH.D.,M.Phil., M.A., CBE, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII (Jakarta : Prenada Media Group. Cet.I. 2013). Hal. 50-51
[7] Umar abdul jabbar, Siyar wa tarajim ba’dl ‘ulamaina fi al-qorn al-rabi’ ‘asyar li al-hijrah. (Jeddah: tihama. Cet. III. 1982). Hal.9
[8]Ahmad zaini dahlan, Khulashoh Al-Kalam Fi Bayan Umara Al-Balad Al-Haram. (Beirut: dar al-saqi. Cet. I. 1993). Hal. 83
Powered By Blogger