ISMAH ANBIYA
1.
PENGERTIAN
Ismah secara bahasa memiliki beberapa arti diantaranya:
1.
Alman’u (Menolak / Melindungi). Sebagaimana di dalam Lisan al-Arab[1] : “al-Ismah
fil kalamil arab alman’u” dalam
bahasa arab ismah berarti mencegah. “ismatullah
abdahu” Allah SWT melindungi
hambanya. “ismatuhu min thoam” mencegahnya dari makanan. Sebagaimana firman Allah SWT :
{قَالَ سَآوِي إِلَى جَبَلٍ يَعْصِمُنِي مِنَ
الْمَاء} [هود: 43]
“Anaknya
menjawab: "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku
dari air bah!" ( QS. Hud : 43).
{وَلَقَدْ رَاوَدتُّهُ عَن نَّفْسِهِ فَاسَتَعْصَمَ}
[يوسف: 32]
“Dan
Sesungguhnya aku telah menggoda Dia untuk menundukkan dirinya (kepadaku) akan
tetapi Dia menolak.” (QS. Yusuf : 32)
Di dalam sebuah hadis disebutkan :
أُمِرْت أن
أقاتل النَّاس حتى يقولوا: لا إله إلا الله، فمَن قالها فقد عصم مني مالَه
ونفسه ...))[2]
“Aku
diperintahkan untuk memerengi manusia sehingga mereka mengatakan tidak ada
tuhan selain Allah SWT , maka barangsiapa telah mengatakannya, berarti ia telah
melindungi harta dan jiwanya”.
Di
dalam hadis ini kata Ashoma
berarti melindungi atau mencegah.
2.
Al-Hifdu (Menjaga). Disebutkan didalam Lisanul al-Arab : “Al-Ismah:
Alhifdu” Ismah berarti menjaga. Alhafidz Ibnu Hajar berkata ketika menjelaskan bab “Alma’sum Man Ashomahullah”[3] : “Man
Ashomahullah Hamahu Min Wuqu’ Fi L Halak” Barangsiapa yang diismah oleh Allah
SWT berarti ia telah dijaga dari kehancuran.
Dari sini
disimpulkan bahwa kata ismah menurut bahasa berarti melindungi, mencegah dan
menjaga.
ISMAH MENURUT ISTILAH
Ada beberapa pendapat para ulama dalam mengartikan pengertian
ismah, sebagai berikut:
1.
Al-hafidz
Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari berpendapat[4] : “Ismah
Anbiya berarti penjagaan Allah SWT
kepada mereka dari segala kekurangan, pengkhususan mereka dengan segala
kesempurnaan jiwa, pertolongan dan peneguhan didalam setiap perkara dengan menurunkan
ketenangan.”
2.
Imam
Manawi mengatakan : “ Ismah adalah kemampuan untuk menjauhi segala maksiat yang
mungkin terjadi”[5]
3.
Berkata
Ali al-Harwi al-Qori : “Ismah adalah kasih saying Allah SWT yang diberikan
kepada Nabinya untuk senantiasa melakukan kebaikan dan menjaganya dari dosa”[6]
4.
Adapun
menurut Imam Ali As-Shobuni di dalam bukunya al-Nubuwah wa al-Anbiya
mendefinisikan “Ismah adalah penjagaan Allah SWT kepada para Nabi dan RosulNya
dari melakukan perbuatan dosa dan maksiat, dan dari melakukan hal yang munkar
dan haram. Ismah berlaku untuk semua Nabi dan Rosul, sebagai kemulian yang
diberikan oleh kepada mereka dan sebagai pembeda antara mereka dengan manusia
biasa.” [7]
menurut saya definisi ini mencangkup pendapat-pendapat di atas.
2.
HIKMAH ISMAH ANBIYA
Imam Ali al-Shobuni
menjelaskan hikmah ismah anbiya di dalam al-nubuwah wa al-anbiiya : “Allah SWT memerintahkan umat
manusia untuk mengikuti dan menjadikan mereka (para Nabi dan Rosul) sebagai teladan,
berjalan diatas jalan yang telah mereka tempuh, karena mereka adalah uswah dan
teladan yang baik , contoh bagi semua umat manusia. Seandainya mereka diperbolehkan
melakukan perbuatan maksiat, atau diperbolehkan melakukan dosa besar, pastinya maksiat menjadi syariat
(perintah), dan ketaatan bukanlah hal yang wajib lagi. Sungguh yang demikian
itu adalah sesuatu yang tidak benar dan mustahil. Para Nabi adalah pemimpin,
bagaimana dibenarkan kalau mereka menyuruh kebaikan dan melarang kemungkaran
kemudian mereka sendiri melakukan perbuatan keji dan munkar?. Maksiat dan dosa
adalah kotoran hati, sebagaimana kotoran dhohir, maka bagaimana mungkin hal itu
dinisbahkan kepada para Nabi dan Rosul?
Akal dan
syariat tidak meragukan kemaksuman para Nabi. Bagaimana mungkin seorang Nabi diperbolehkan
mencuri, merampok, meminum khamr, berzina dan lain sebagainya kalau hal
tersebut menjauhkan manusia dari mengikutinya. Apakah mungkin perkataan para Nabi
akan berpengaruh kalau perjalanan hidupnya ternoda dengan dengan dosa dan
maksiat.? Karena itulah kehidupan para Nabi haruslah kehidupan yang penuh
dengan kemuliaan, terang dengan cahaya hidayah, dikenal suci dan menjaga
kehormatan “iffah”, Inilah yang disebut Ismah Anbiya.”[8]
3.
PERKARA-PERKARA YANG MA’SUM BAGI PARA NABI[9]
a.
KEKUFURAN
Para Nabi dan Rosul dijaga Allah SWT dari melakukan kekufuran dan
kesyirikan. Hal ini adalah ‘ijma baik
sebelum atau sesudah kenabian. sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Jurjani: “Adapun
kekufuran, para ulama ber’ijma bahwa para Nabi dan Rosul dimaksumkan dari
segala bentuk kekufuran baik sebelum atau sesudah, dan tidak ada satu pun ulama
yang menyelisihi hal tersebut.”[10]
Imam Fakhruddun al-Rozi
menjelaskan tentang kemaksuman para Nabi dan Rosul dari kekufurann : “Umat (para
ulama) ber’’ijma bahwa para Nabi terjaga (maksum) dari kekufuran dan bid’ah.”[11]
Senada dengan Imam Fakhruddin al-Rozi, Ibnu Taimiyah mengatakan: “Segala
yang mengotori kenabian dan dakwah para Nabi, para ulama sepakat bahwa hal itu
harus dijauhkan.”[12]
Dari pendapat para ulama diatas disimpulkan bahwa para Nabi dan
Rosul dijaga dan dilindungi Allah SWT dari kekufuran. Dan karena itu tidak ada
yang menyelisihi ‘ijma ini kecuali kelompok yang hujjahnya tidak dianggap (la
yu’tabar). kelompok tersebut ada empat sebagai berikut :
1.
Al-Azariqoh , Al-Fadhiliyah (termasuk kelompok dari khawarij) mereka
beranggapan bahwa para Nabi boleh melakukan kekufuran[13]
2.
Al-Rofidhoh (kelompok syiah), mereka meyakini bahwa para Nabi boleh
menampakkan kekufuran sebagai jalan taqiyah disaat takut kematian, karena
dakwah Islam berarti menghadapi kematian. [14]
3.
Al-Samnaniyah, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Fishol
: “Bahwa Ibnu Hazm pernah melihat kitab Abu Bakr Samnani, Ia berkata: “Setiap dosa
besar atau kecil boleh dilakukan para Rosul, kecuali berdusta di dalam
menyampaikan saja. Dan boleh bagi mereka untuk melakukan kekufuran.”[15]
b.
DOSA BESAR
Mengenai kemaksuman para Nabi dan Rosul dari dosa besar, Ibnu Taimiyah
mengatakan: “Pendapat yang mengatakan bahwa para Nabi maksum dari segala dosa besar adalah pendapat
mayoritas ulama, semua kelompok bahkan
pendapat mayoritas ahli kalam. Perkataan Ibnu Taimiyah dikuatkan dengan
pendapat Imam Amidi yang mengatakan : “Bahwa ini adalah pendapat mayoritas
asy’ariyah, ahli tafsir, hadis, dan fuqoha (ahli fiqih) yang diriwayatkan dari
para sahabat dan tabiin.”[16] Sebagimana
firman Allah SWT :
وإنك لعلى خلق عظيم (القلم : 4)
“Dan sesungguhnya engkau Muhammad SAWmemiliki ahlak
yang agung.” (Q.S. al-Qolam
: 40)
Ayat
ini menjelaskan bahwa Allah SWT mensucikan pribadi Nabi dari segala yang
menjatuhkan martabatnya, dan menghilangkan kenabiannya. Rosulullah SAW bersabda
:
((والله
إني لأخْشاكم لله وأتْقاكم له) [17]
“Demi
Allah SWT, aku adalah orang yang paling takut dan orang yang paling bertaqwa
kepada Allah SWT.”
Dari hadis ini dapat dipahami bahwa sifat taqwa
dan takut kepada Allah SWT menjauhkan pribadi Nabi dari perbuatan dosa dan
maksiat.
Mengenai
syubhat pembunuhan yang pernah dilakukan Nabi Musa, apakah termasuk dosa besar
atau kekhilafan, seperti firman Allah SWT :
فوكزه موسى فقضى
عليه (سورة القصص : 15 )
“Lalu Musa
meninjunya, dan matilh musuhnya itu”. (Q.S.
al-qososh: 15)
Imam Fakhruddin al-Rozi menjawab syubhat ini
seraya mengatakan: bahwa orang yang dibunuh oleh Nabi Musa memang layak dibunuh
karena kekufurannya dan Nabi Musa AS membunuhnya tidak dengan sengaja tetapi karena
Khoto’ (qotlu khoto’), karena ia bermaksud untuk menyelamatkan orang qibthi,
tetapi tanpa sengaja ia membunuhnya. [18]
Dan
untuk menjawab syubhat tentang kemaksuman Nabi Adam, karena ia melakukan
pelanggaran perintah Allah SWT dengan mengikuti perintah iblis, sebagimana
firman Allah SWT ;
وعصى أدم ربه
فغوى (سورة طه : 121)
“Dan telah durhaka
Adam terhadap tuhannya, dan sesatlah dia.”(Q.S. thoha :
121)
ألم أنهكما عن
تلكما الشجرة (الأعراف : 22)
“bukankah aku telah
melarang kamu dari pohon itu?(Q.S. al-A’raf : 22)
Ayat diatas menunjukkan bahwa Nabi Adam
mendurhakai Allah dan melakukan hal yang dilarang, dan itu semua termasuk dosa
besar.
Sungguh syubhat ini sudah dijawab oleh Imam
Fakhruddin al-Rozi : [19]“ulama
yang meyakini bahwa ismah terjadi sesudah nubuwah, maka apa yang terjadi pada
diri Nabi Adam AS, hal itu terjadi sebelum nubuwah, maka tidak masalah. Adapun
ulama yang meyakini bahwa ismah ada sebelum dan sesudah nubuwah mengatakan
“kita tidak sepakat bahwa larangan (nahyu) hukumnya haram saja (littahrim),
tetapi nahyu itu ada dua yaitu littahrim
dan littanzih, adapun Nabi Adam yang melanggar dan melakukan hal
yang dilarang itu karena lupa, sebagaimana firman Allah SWT :
فنسي ولم نجد له
عزما (سورة طه : 115 )
“Tetapi dia lupa, dan
kami tidak dapati kemauan yang kuat padanya.” (Q.S. Thoha; 115)
c.
MEMBAWA DAN
MENYAMPAIKAN RISALAH
Para ulama sepakat bahwa para Nabi maksum dalam membawa dan menyampaikan risalah[20],
mereka tidak melupakan sesuatu yang diwahyukan Allah SWT kepada mereka. Karena Allah
SWT telah menjamin dalam firman-Nya:
{سَنُقْرِؤُكَ فَلَا تَنسَى * إِلَّا مَا شَاء اللَّهُ} [الأعلى: 6، 7]
“Kami akan membacakan (Al Quran) kepadamu
(Muhammad) Maka kamu tidak akan lupa,kecuali kalau Allah SWT menghendaki.
Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi.” (Q.S. al-A’la :
6-7)
{لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ * إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ
وَقُرْآنَهُ * فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ}
[القيامة: 16 – 18]
“janganlah kamu
gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat
(menguasai)nya,. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. apabila Kami telah selesai
membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.” (Q.S. al-Qiyamah : 16-17)
Para Nabi maksum dalam menyampaikan wahyu, serta tidak
menyembunyikan sedikitpun wahyu yang diturunkan kepada mereka, karena
menyembunyikan wahyu berarti berkhinat, dan para Nabi mustahil mempunyai sifat
tersebut. Firman Allah SWT:
{يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن
رَّبِّكَ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ} [المائدة: 67]
“
Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika
tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak
menyampaikan amanat-Nya." (Q.S. al-Maidah : 67)
{وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى * إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ
يُوحَى} [النَّجم: 3، 4].
“ Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan
hawa nafsunya. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).” (Q.S. al-Najm : 3-4)
Sebagai
contoh bahwa para Nabi dan Rosul dimaksumkan dari berbuat dusta di semua
keadaan baik ketika menyampaikan risalah, mengabarkan berita pada masalah
duniawi sebelum bi’tsah dan sesudahnya, bahwa para sahabat serta merta langsung
percaya dan membenarkan setiap perkataan Rosul tanpa keraguan sedikitpun.
Bahkan orang kafir quraisy pun mempercayai dan membenarkan perkataan Rosulullah
SAW ketika mereka diundang di bukit shofa, sebagaimana hadis yang diriwayatkan
oleh Ibnu Abbas : Rosulullah SAW bersabda : “Bagaimana pendapat kalian jika aku
memberitahu kalian bahwa ada kuda yang keluar dari kaki gunung ini, apakah
kalian membenarkanku? Mereka menjawab : kami tidak pernah menuduhmu sebagai
pendusta. Ia berkata : “Maka sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan bagi
kalian, di depanku siksaan yang keras.”[21]
Adapun
lupa yang tidak masuk dalam perkara tablig dan tasyri’, maka hal itu adalah
bagian dari sisi kemanusiaan para Nabi dan tidak mengurangi kemaksuman dalam
hal menyampaikan dan tabligh dakwah. Sebagai misal lupanya Nabi Adam AS:
dari Abu
Hurairah berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Saat
Allah menciptakan Adam, Ia mengusap punggungnya lalu dari punggungnya
berjatuhan setiap jiwa yang diciptakan Allah dari keturunan Adam hingga hari
kiamat dan Ia menjadikan kilatan cahaya diantara kedua mata setiap orang dari
mereka, kemudian mereka dihadapkan kepada Adam, ia bertanya: 'Wahai Rabb, siapa
mereka? ' Allah menjawab: 'Mereka keturunanmu'. Adam melihat seseorang dari
mereka dan kilatan cahaya diantara kedua matanya membuatnya kagum, Adam
bertanya: Wahai Rabb siapa dia? Allah menjawab: Ia orang akhir zaman dari
keturunanmu bernama Dawud. Adam bertanya: Wahai Rabb, berapa lama Engkau
menciptakan umurnya? Allah menjawab: Enampuluh tahun. Adam bertanya: Wahai
Rabb, tambahilah empatpuluh tahun dari umurku. Saat usia Adam ditentukan,
malaikat maut mendatanginya lalu berkata: Bukankah usiaku masih tersisa
empatpuluh tahun. Malaikat maut berkata: Bukankah kau telah memberikannya
kepada anakmu, Dawud. Adam membantah lalu keturunannya juga membantah. Adam
dibuat lupa dan keturunannya juga dibuat lupa. Adam salah dan keturunannya juga
salah." Abu Isa berkata: Hadits ini hasan shahih.[22]
Begitu
juga pernah terjadi pada diri Nabi Muhammad SAW ketika beliau mengucapkan salam setelah dua rokaat
sholat dhuhur karena lupa, sebagaimana hadis yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud,
Rosulullah SAW bersabda : “Saya hanyalah
manusia seperti kalian, saya lupa begitu juga kalian lupa, maka kalau saya lup
ingatkanlah.”[23]
d.
DILINDUNGI DARI
PEMBUNUHAN
Allah SWT melindungi Rosulnya dari segala upaya
pembunuhan sehingga mereka selesai menyampaikan risalah Islam. Firman Allah SWT
:
{ يا أيها الرسول بلغ ما أنزل إليك
من ربك وإن لم تفعل فما بلغت رسالته
والله يعصمك من الناس إن الله لا يهدي القوم الكافرين (67) } [
المائدة : 67 ].
“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti)
kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah SWT memelihara kamu dari (gangguan)
manusia[24]. Sesungguhnya Allah
SWT tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”(Q.S. al-Maidah : 67)
Ibnu kasir menafsirkan ayat ini di dalam
tafsirnya dengan mengatakan: “Sampaikanlah risalah-Ku, Aku (Allah SWT) menjagamu,
menolongmu dari musuh, memenangkanmu atas mereka, maka janganlah kamu takut dan
bersedih, sungguh mereka tidak akan pernah mampu mencelakaimu.”[25]
Ada sebuah hadis Nabi yang diriwayakan oleh Anas bin Malik bahwa datang
seorang perempuan Yahudi kepada Rosululllah
SAW membawa daging kambing yang diracun. Lalu beliau memakannya. Didatangkan perempuan
itu kepadanya dan ditanyai mengenai hal tersebut, ia menjawab: Aku ingin
membunuhmu.. Rosulullah SAW berkata : “Allah SWT tidak akan membiarkanmu melakukan
itu.” Para sahabat berkata: Bolehkah kami
membunuhnya ? Tidak.[26]
Begitu juga alqur’an banyak menceritakan bagaimana Allah SWT
menyelamatkan dan melindungi Nabi Ibrahim AS, Nabi Musa AS, Nabi Isa AS dari
pembunuhan.
Berkenaan dengan Nabi Zakaria dan Yahya yang mati dibunuh, apakah
ini pengecualian kemaksuman para Nabi dan Rosul? Dr. sulaiman al-asyqor
mengatakan bahwa para Nabi dan Rosul, mereka akan dijaga dan dilindungi Allah
SWT dari pembunuhan sampai selesai menyampaikan risalah. [27]
e.
PENJAGAAN DARI SYAITON
Allah SWT menjaga Rosulnya dari syetan. Sebagaimana disebutkan di dalam Shohih Muslim ada sebuah riwayat dari Abdullah bin Mas’ud, Rosulullah SAW bersabda : “Tidak ada seorang pun dari kalian melainkan dikuasai pendamping dari kalangan jin." Mereka bertanya: Anda juga, wahai Rasulullah? Beliau menjawab: "Aku juga, hanya saja Allah SWT membantuku mengalahkannya lalu ia masuk Islam, ia hanya memerintahkan kebaikan padaku."[28]
Adapun yang terjadi pada diri Nabi Adam AS, ketika ia digoda dan dirayu iblis untuk memakan buah khuldi yang dilarang Allah SWT, sebagaiamana firman Allah SWT :
فوسوس لهما الشيطان ليبدي لهما ما وري عنهما من سوأتهما وقال ما نهاكما ربكما عن هذه الشجرة إلا أن تكونا ملكين أو تكونا من الخالدين
“kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepada mereka agar menampakkan aurat mmereka yang selama ini tertutup. Dan syaitan berkata “ tuhanmu hanya melarang kamu berdua mendekati pohon ini, agar kamau berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal.” (Q.S. Al-A’raf : 20)
Seperti yang sudah saya sebutkan pada pembahasan kemaksuman dari dosa besar, bahwa ini terjadi sebelum nubuwah, maka tidak mengurangi kemaksuman Nabi Adam AS.
f. Maksum Dari Segala Penyakit Yang Menular (Menjijikkan)
Para Nabi maksum dari segala penyakit menular, seperti kusta, buta, tuli, dan penyakit–penyakit lain yang membuat orang lain menghindarinya. Yang demikian karena para Nabi adalah pembimbing dan butuh berinteraksi dengan manusia. Dan penyakit yang dinisbahkan kepada Nabi Ayyub AS dari penyakit-penyakit yang menular dan menjijikkan tidak benar. Sebagaimana takliq muhammad sulaiman al-bassam pada tafsir al-sa’di dalam surat shod.[29]
Adapun penyakit atau luka yang tidak menular para nabi terkadang merasakannya. Mengenai masalah ini Ibnu Hajar menjelaskan bahwa: “Para Nabi terkadang terkena luka dan merasa sakit, yang demikian itu terjadi agar menjadi pembesar pahala disisi Allah SWT, meninggikan derajat mereka, dan supaya para pengikut / sahabat Nabi mencontoh mereka dalam hal kesabaran menghadapi ujian sakit, karena syurga hanya bagi orang yang bertaqwa.”[30] Sebagaimana hal ini pernah dialami oleh Rosulullah SAW, beliau terluka ketika perang, dan merasakan sakit panas sebelum kematian menjemputnya.
4.
PERLINDUNGAN ALLAH SWT KEPADA ROSUL-NYA SEDARI KECIL
Muhammad Ali al-Shobuni mengatakan : “Allah SWT menjaga dan melindungi Rosulullah SAW sedari kecil, menjaganya dari perbuatan-perbuatan jahiliyah di waktu kecil dan remaja, sampai datang masa ke-Nabian. Inilah kenikmatan dan ismah yang sempurna yang diberikan Allah SWT kepada Rosul-Nya sebagai lambang kemuliaan utuk memikul beban risalah dengan sebaiknya.
Sebagai contoh, seperti yang diriwayatkan Imam Muslim dari Anas bahwa Rosulullah SAW didatangi Jibril, ketika ia sedang bermain bersama anak-anak yang lain, jibril langsung menidurkannya dan membelah dadanya dan mengeluarkan hatinya, lalu mengeluarkan segumpal daging ,seraya berkata : ini adalah bagian syaitan di dalam dirimu, kemudian dicuci di bejana dari emas dengan air zamzam, kemudian mengembalikannya ke tempat semula.”[31]
Begitu juga ketika rosulullah saw diajak pamannya untuk berdagang ke yaman dan bertemu dengan pendeta Bukhaira, lalu diberitahu bahwa ia akan menjadi seorang Nabi , karena itu ia menyruh pamannya untuk segera kembali ke makkah agar selamat dari pembunuhan orang-orang yahudi. Dan ini juga termasuk penjagaan Allah SWT.
Begitu juga kalau kita mencermati kisah Nabi Musa yang diceritakan Allah SWT di dalam alqur’an, bagaimana Musa yang baru lahir dimasukkan kedalam kotak dan dihanyutkan ke sungai, kemudian diambil oleh istri fir’aun dan dibesarkan di istana fir’aun, padahal firaun sendiri yang menginginkan agar setiap anak laki-laki yang lahir harus dibunuh. Tapi inilah kekuasaan Allah SWT dan pengaturan yang sempurna. Ini menunjukkan bahwa Allah SWT menjaga dan melindungi para Nabi dan Rosul-Nya sedari kecil.
Adapun mengenai apakah ismah sebelum kenabian atau setelahnya, para ulama berselisih pendapat. Sebagian mereka berpendapat bahwa ismah ada sebelum dan sesudah kenabian. Hal itu karena perilaku seseorang berpengaruh terhadap masa depan dakwah Nabi, maka sepatutnya seorang Nabi harus memiliki perjalanan hidup yang bersih dan jiwa yang suci sehingga tidak ada celah untuk membantah risalah dan dakwahnya. Mereka berhujjah bahwa Allah SWT swt telah memilih para Nabi dari manusia yang paling baik, dan Allah SWT menjaganya sejak kecilnya, sebagaimana firman Allah SWT kepada Nabi Musa :
ولتصنع على عيني
“dan kamu berbuat diatas pengawasanku.”
Dan Allah SWT telah menjadikan mereka sebaik-biak makhluk. Sebagaimana firman Allah SWT:
وإنهم عندنا لمن المصطفين الأخيار
“dan sesungguhnya mereka termasuk hamba-hamba pilihan”
Pendapat lain mengatakan bahwa ismah kenabian ada setelah kenabian itu sendiri. Mereka berhujjah, karena manusia tidak diperintah untuk mengikuti Nabi sebelum kenabian, mereka baru ittiba dan iqtida setelaah diturunkannya wahyu diatas meereka.[32] Ini adalah pendapat yang kuat (rojih) menurut Ali al-Shobuni, Ia menambahkan: “Adapun pendapat mayoritas ulama mengatakan: bahwa para Nabi maksum dari segala maksiat (besar dan kecil) setelah kenabian adalah ittifaq (kesepakatan pendapat) para ulama.
Hal ini dikuatkan dengan pendapat Imam Fakhrudin al-Rozi dalam kitabnya Ismah Al-Anbiya: “Kami berpendapat bahwa para Nabi maksum dari dosa besar dan kecil pada masa kenabian.[33] Di dalam kitab tersebut ia menyebutkan lima belas hujjah tentang hal tersebut dan bantahan terhadap syubhat-syubhat yang ada pada masalah ismah para Nabi.
5. KEMAKSUMAN SELAIN NABI
Ismah salah satu sifat para Nabi yang diberikan khusus kepada mereka dan tidak diberikan kepada selain mereka, untuk mencapai suatu tujuan kenabian dan mengemban risalah.
Al-hafidz Ibnu Hajar mengatakan : “Selain Nabi, meskipun ia memiliki kelebihan, dia tidaklah maksum.”[34]
Ibnu taimiyah sependapat dengan pendapat Ibnu Hahar, Ia berkata: “Selain para Nabi, mereka tidaklah maksum sebagaimana para Nabi, meskipun mereka adalah wali-wali Allah SWT.”[35]
Ali al-Shobuni mengatakan: “Ismah tidak diberikan kepada selain
para Nabi, karena setiap orang memungkinkan melakukan kesalahan dan jatuh dalam
kemaksiatan, tetapi Allah SWT menjaga wali-wali Allah SWT dari melakukan
dosa-dosa besar dan perbuatan –perbuatan yang hina dengan cara takyid, sebagai
bentuk kelembutan Allah SWT kepada mereka, bukan dengan ismah yang hanya
dikhususkan kepada para Nabinya.[36]
Sebagaimana firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
وَآمِنُوا بِرَسُولِهِ يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيَجْعَلْ لَكُمْ
نُورًا تَمْشُونَ بِهِ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“ Hai orang-orang yang beriman
(kepada Para rasul), bertakwalah kepada Allah SWT dan berimanlah kepada
Rasul-Nya, niscaya Allah SWT memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan
menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia
mengampuni kamu. dan Allah SWT Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al-Hadid : 28)
Yang dimaksud cahaya dalam ayat ini adalah kasih sayang
(kelembutan ) Allah SWT yang diberikan kepada wali-wali Allah SWT dan orang
yang bertaqwa, Bukan ismah.
KESIMPULAN
Ismah adalah kenikmatan yang diberikan khusus kepada
para Nabi dan Rosul. Ismah tidak diberikan kepada wali-wali Allah SWT, tetapi
mereka diberikan kasih sayang dan petunjuk. Para Nabi dan Rosul dimaksumkan
dari beberapa hal diantaranya; maksum dari kekufuran, dosa besar, berkhianat
dalam membawa dan menyampaikan risalah, pembunuhan hingga mereka selesai dalam
menyampaikan risalah, dan godaan syaitan.
Allah SWT melindungi dan menjaga para Nabi dan Rosul
sejak mereka kecil sampai mereka menyampaikan amanah risalah. Beban amanah yang
dipikul para Nabi dan Rosul untuk berdakwah menyampaikan risalah Allah SWT sangat
berat, karena itulah Allah SWT senantiasa menjaga dan melindungi mereka dari
hal-hal yang dapat menghalangi sampainya dakwah kepada manusia. Waalalhu
a’lam bissowab
DAFTAR PUSTAKA
Al-Amidi, Ali, Al-Ihkam (Beirut: Al-Maktab Al-Islami
,Thn. 2001 )
Al-Asyqor, Sulaiman, Al-Rusul Wa Al-Risalat (Kairo :
Maktabah Wahbah, Thn.
2003)
Al-Bukhori, Muhammad bin Ismail, Shohih Al-Bukhori,
(Dar Thuk Al-Najah,
Cet Ke-1, Thn. 1422H)
Al-Harwi, Ali, Syarh Al-Syifa, (Beirut: Dar Al-Kutub
Al-Ilmiyah, Cet. 1, Thn.
1421H)
Al-Mubarokfuri, Shofiyu Al-Rahman, Al-Rohiqu Al-makhtum,
(Beirut: Dar
Hilal, Cet.1 Thn.
2004)
Ali Nayif, Al-Nubuwah Wa Al-Anbiya Fi Al-Qur’an Wa Al-Sunnah,
(Kairo:
Dar al-Hadis, Thn.
2004)
Al-Rozi, Fakhruddin, Ismah
Anbiya , (Kairo: Maktabah Al-Tsaaqofah
Al-Diniyah, Cet.
1, Thn. 1986)
Al-Sa’di , Muhammad Ibn Nashir, Taisiru Al-Karim Al-Rahman Fi Tafsir Kalami
Al-Manan, (Beirut: Muassasah Al-Risalah, Thn. 2000)
Al-Shobuni, Muhammad Ali, Al-Nubuwah Wa Al-Anbiya, (
Damaskus:
Maktabah
Al-Ghozali, Cet.3, Thn. 1985)
Al-Tirmidzi, Muhammad Ibn Isa, Sunan Al-Tirmidzi (Mesir:
Makwabah
Musthofa Al-Babi Al-Halabi,
Cet. 2, Thn. 1975)
al-Zubaidi, Muhammad bin Muhammad, Taj Al-Arus ,(Dar
Hidayah)
Ibnu Abdul Ghoffaar, Abdurrahman, Al-Mawaaqif,
(Beirut: Dar Al-Jil, Cet Ke-1
Thn. 1997)
Ibnu Hajar, Ahmad Bin Ali, Fath Al-Bari Syarh Shohih
Al-Bukhori (Beirut: Dar
Al-Makrifah, Thn.
1379H)
Ibnu Hazm, Ali Bin Ahmad, Alfishol Fi Al-Milal Wa Al-Ahwa’ Wa
Al-Nihal
(Kairo: Maktabah
Al-Khonaji Thn. 1992)
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Adhim, (Madinah: Dar
Thoyibah, Cet.2, Thn.
1999)
Ibnu Mandur, Muhammad, Lisan Al-Arab, (Beirut: Dar Shodir,
Cet.3, Thn.
1414H)
Ibnu Taimiyah, Ahmad Bin Abdussalam, Minhaj Al-Sunnah
Al-Nabawiyah,
(Riyadh: Jamiah
Al-Imam Muhammad Ibnu Saud, Cet-1 , Thn. 1986)
Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa ,(Madinah: Majma
Al-Malik, 1995)
Lidwa Pustaka, Maktabah Hadis Sembilan Imam
Maktabah Syamilah
Muslim Bin Hajjaj, Shohih Muslim (Beirut: Dar Ihya’
Al-Turats Al-Arabi, )
[1]
Muhammad Ibnu Mandur, Lisan al-Arab, cet ke-3 (Beirut: Dar Shodir,
1414H), Jilid 12 hal 402.
[2]
Muhammad Ibnu Ismail, Shohih Al-Bukhori, cet ke-1 (Dar Thuk al-najah,
1422H) jilid1, hal 14, no 25.
[3]Ibnu
Hajar, Ahmad Bin Ali, Fath Al-Bari Syarh Shohih Al-Bukhori (Beirut: dar
al-makrifah, thn. 1379H) jilid 18, hal 402
[4]
Ibnu Hajar, Op, Cit, jilid 7 hal. 62
[5] Muhammad Bin Muhammad al-Zubaidi, Taj al-Arus ,(Dar hidayah),
jilid 1, hal .7819
[6] Ali
al-Harwi, Syarh Al-Syifa, cet. Ke-1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah 1421H)
4/ 39
[7]
Muhammad Ali al-Shobuni, Al-Nubuwah Wa Al-Anbiya, cet ke-3 ( Damaskus: Maktabah
al-Ghozali, 1985) hal. 54
[8] Muhammad
Ali al-Shobuni, Op. Cit, hal.55
[9] Ali
Nayif, Al-Nubuwah Wa Al-Anbiya Fi Al-Qur’an Wa Al-Sunnah, (Mesir : Dar
Al-Hadis 2004). Hal 103
[10] Abdurrahman Bin Abdul Ghoffaar, Al-Mawaaqif, (Beirut: Dar
Al-Jil, Cet Ke-1. Thn 1997). Hal. 134.
[11]
Fakhruddin Al-Rozi, Ismah Al-Anbiya, (Kairo: Maktabah Tsaqofah Diniyah,
Cet-1 Thn. 1986). Hal. 18
[12] Ahmad
Bin Abdussalam Ibnu Taimiyah, Minhaj Al-Sunnah Al-Nabawiyah, (Jamiah
Al-Imam Muhammad Ibnu Saud, Cet-Ke1 , thn. 1986) Hal. 1/ 471
[13] Ali
Al-Amidi, al-Ihkam (Beirut: al-Maktab al-Islami , ) Hal . 1/ 128
[14] Fakhruddin
Al-Rozi , Op. Cit,. hal 18.
[15] Ali
Bin Ahmad Ibnnu Hazm, Al-Fishol Fi Al-Milal Wa Al-Ahwa’ Wa Al-Nihal (Kairo:
Maktabah al-Khonaji) hal 1/ 393
[16]
Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa ,(Madinah: Majma al-Malik, 1995) hal. 1/363
[17]Al-Bukhori, Muhammad bin Ismail, Shohih Al-Bukhori, (Dar
Thuk Al-Najah, Cet Ke-1, Thn. 1422H) kitab nikah, bab attargib, juz 15, hal. 493,
no. 4675
[18] Fakhruddin al-Rozi, Op. Cit, hal. 101
[19]
Ibid, Hal. 53
[20] Ibnu
Taimiyah, Op. Cit, hal 10/291
[21] Al-Mubarokfuri,
Shofiyu Al-Rahman, Al-Rohiqu Almakhtum, (Beirut: Dar Hilal, Cet.1 Thn. 2004)
Hal. 69
[22]
Al-Tirmidzi, Muhammad Ibn Isa, Sunan Al-Tirmidzi (Mesir: Makwabah Musthofa
Al-Babi Al-Halabi, Cet. 2, Thn. 1975) No. 3002
[23]
Al-Bukhori, Muhammad bin Ismail, Shohih Al-Bukhori, (Dar Thuk Al-Najah,
Cet Ke-1, Thn. 1422H) juz. 3, hal. 212, no. 896.
[24] Maksudnya: tak seorangpun yang dapat membunuh Nabi Muhammad
s.a.w.
[25]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Adhim, cet ke-2 (Madinah: Dar Thoyibah,
1999) hal. 3/151
[26]
Muslim Bin Hajjaj, Shohih Muslim (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-Arabi,
) no 7286
[27] Sulaiman
Al-Asyqor, Al-Rusul Wa Al-Risalat (Kairo : Maktabah Wahbah, Thn. 2003) hal. 80
[28] Muslim
Bin Hajjaj, ibid, No. 5034
[29] Al-Sa’di
, Muhammad Ibn Nashir, Taisiru Al-Karim
Al-Rahman Fi Tafsir Kalami Al-Manan, (Beirut: Muassasah Al-Risalah, Thn. 2000) Hal.
714
[30]
Fath al-Baari, Op. Cit, hal. 11/409
[31]
Shohih Muslim, Op.Cit, Hal. 92 juz 1
[32]
Muhammad ali shobuni, Op. cit, Hal .56-57
[33]
Fahrudin al-Rozi, Hal. 40
[34]
Fath al-Bari, Op. cit, hal 1/459
[35]
Majmu’ Fatawa , Op. Cit, hal. 10/290
[36] Ali
al-Shobuni, Op. Cit, hal. 59-60
Tidak ada komentar:
Posting Komentar