Rabu, 30 Januari 2013

Pandangan Hadrotus syaikh K.H M.Hasyim Asy'ari tentang bid'ah



Hadlrotu syaikh Hasyim Asy’ari menolak segala bid’ah yang bertentangan dengan syariat sebagaimana sabda Rosulullah SAW : كل بدعة ضلالة
Adapun pandangan beliau tentang bid’ad dijelaskan di dalam kitabnya Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah sebagai berikut:
“Bid’ah menurut syaikh zaruq adalah membuat sesuatu yang baru dalam masalah agama, seakan menyerupai agama padahal tidak baik berupa shuroh(gambaran) atau haqiqah (kenyataan). Sebagaimana sabda rosulullah saw :
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
“barang siapa yang mengadakan hal baru dalam urusan kami ini (agama), padahal tidak bagian darinya maka tertolak (mardud).
"وكل محدثة بدعة "
“Dan setiap yang baru adalah bid’ah”
Para ulama telah menjelaskan yang dimaksud dalam kedua hadis tersebut kembali kepada perubahan hukum dengan keyakinan apa yang bukan ibadah diyakini sebagai ibadah (pendekatan diri kepada Allah SWT ), jadi maksud  ihdas bukanlah perkara baru secara mutlak.
Syaikh zaruq menjelaskan : “Timbangan bid’ah ada tiga:
Timbangan pertama, dengan melihat perkara yang baru, yaitu apabila ada dasar dalilnya di dalam syariat maka hal tersebut bukan bid’ah. Tetapi kalau tidak dasar dalilnya bahkan menyelisihi dalil maka yang demikian itu sesat dan batil. Dan jika dillihat ternyata ada dasar dalilnya tetapi juga mengandung  syubhat, dan tidak mudah dibedakan, maka dilihat alasan – alasannya, kemudian memilih alasan yang kuat.
Timbangan Kedua, melihat kaidah-kaidah para aimmah dan ulama salaf yang berjalan di atas sunnah, maka jika perkara tersebut menyelisihi semua kaidah tersebut, maka perkara tersebut tidak dianggap, dan jika sesuai dengan dasar kaidah para ulama maka perkara tersebut dibenarkan. Dan jika para ulama berselisih dalam masalah asal / dasar atau furu’, maka yang diikuti yang ada dalilnya. Diantara kaidah-kaidah tersebut adalah sesungguhnya apa yang telah dilakukan oleh para ulama salaf dan pengikutnya khalaf tidak boleh dikatakan sebaagai perkara bid’ah atau perbuatan tercela (madzmum). Dan apa yang telah mereka tinggalkan dengan alasan yang jelas tidak juga disebut sebagai perkara sunnah ataupun hal yang terpuji (mahmud). Adapun perkara yang ada dalilnya (para ulama telah menetapkan dalilnya) tetapi tidak ada riwayat bahwa mereka melakukannya, (dalam hal ini ulama berbeda pendapat): imam malik berpendapat: yang demikian adalah bid’ah, karena para ulama tidaklah meninggalkan perkara tersebut kecuali ada dalilnya. Adapun imam assyafi’I berpendapat: yang demikian bukanlah bid’ah, meskipun ulama salaf tidak melakukannya, karena terkadang mereka meninggalkan amalan tersebut karena suatu alasan pada waktu itu atau karena ada hal yang lebih utama dari itu, sedangkan dasar hukum diambil dari syariat (bukan ulama), dan telah ada. Begitu juga mereka berselisih dalam suatu perkara yang tidak ada dalil sunnah yang melarangnya, imam malik berkata : perkara tersebut bid’ah. Adapun imam syafii berkata: perkara tersebut bukan bid’ah. Ia bersandar dengan hadis rosulullah saw : ما تركت لكم فهو عفو “apa yang aku tinggalkan untuk kalian adalah dimaafkan (afwun)”
Dari sini mereka berselisih dalam hal membangun perkantoran (idarah), dzikir dan doa dengan jahr (bersuara) atau dzikir berjama’ah. Karena hal tersebut ada dalilnya tetapi tidak ada riwayat ulama salaf melakukan hal tersebut. Karena itu setiap orang yang berpendapat dalam masalah tersebut tidak disebut sebagai ahli bid’ah karena berbeda dengan pendapat lainnya. Dan tidak boleh mengatakan bahwa yang berpendapat demikian itu batil dan sesat karena perkara tersebut mengandung syubhat. Kalau hal itu dibolehkan maka mengarah kepada menjadikan umat sebagai ahli bid’ah semua (tabdi’ul ummah). Setiap mujtahid mendapatkan pahala, jika salah mendapatkan satu dan jiika benar mendapatkan dua sebagaimana disebutkan didalam hadis rosulullah saw.
Timbangan ketiga,  membedakan perkara yang baru dengan syawahid ahkam (hukum-hukum islam) yaitu hukum syariah yang enam, wujub, nadb / sunnah, tahrim, karohah, khilafull aula, dan ibahah. Maka setiap perkara yang sesuai dengan dalil yang benar dan jelas, perkara tersebut disamakan dengan perkara yang sudah ada dalilnya, tetapi jika perkara tersebut tidak sesuai dengan dalil, yang demikian itu bid’ah.
Adapun macam-macam bid’ah ada tiga;
Pertama, bid’ah shorihah, yaitu perkara yang tidak ada dasar dalilnya dan menyelisihi hukum syariat baik yang wajib, sunnah, mandub, atau lainnya, karena hal ini mampu mematikan sunnah dan menghilangkan kebenaran, dan inilah seburuk-buruk bid’ah.
Kedua, bid’ah idhofiyah, yaitu bid’ah yang ditambahkan pada suatu perkara, seandainya diterima maka tidak diperbolehkan untuk diperselisihkan apakah itu termasuk sunnah atau bid’ah sebagaimana khilaf yang dijelaskan sebelumnya.
Ketiga, bid’ah khilafiyah, yaitu yang terbangaun dari dua dasar yang saling tarik menarik diantara keduanya. Sebagaimana imam malik mengatakan bid’ah sedang imam syafi’I mengatakan tidak bid’ah seperti dalam masalah membangun perkantoran, dzikir jama’ah.
Karena itulah imam al’iz ibn abdissalam membagi bid’ah atau hawadis (perkara yang baru) ke dalam hukum yang lima: bid’ah adalah perkara yang tidak dilakukan pada masa rosulullah saw, bisa menjadi
Wajib, seperti mempelajari ilmu nahwu, ghoribul qur’an dan sunnah yang membantu untuk memahami syariat agama.
Muharram (haram), seperti madzhab qodariyah, jabariyah dan mujassimah.
Mandub (sunnah), seperti mendirikan pesantren dan sekolahan, dan setiap kebaikan yang tidak dilakukan pada masa awal Islam.
Makruh, seperti menghiasi masjid (zahrofatul masajid), mengihasi alqur’an.
Mubah (boleh), seperti berjabat tangan setelah sholat.”
Demikian inilah pandangan hadrotus syaikh kh. Hasyim asy’ari dalam bid’ah.”[1]


[1] Hasyim asy’ari, risalah ahli sunnah wal jama’ah,op.cit. hal.6-8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger