Hadlrotu syaikh Hasyim Asy’ari menolak segala bid’ah yang
bertentangan dengan syariat sebagaimana sabda Rosulullah SAW : كل بدعة ضلالة
Adapun pandangan beliau tentang bid’ad dijelaskan di dalam kitabnya
Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah sebagai berikut:
“Bid’ah menurut syaikh zaruq adalah membuat sesuatu yang baru dalam
masalah agama, seakan menyerupai agama padahal tidak baik berupa
shuroh(gambaran) atau haqiqah (kenyataan). Sebagaimana sabda rosulullah saw :
من أحدث في
أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
“barang
siapa yang mengadakan hal baru dalam urusan kami ini (agama), padahal tidak
bagian darinya maka tertolak (mardud).
"وكل محدثة بدعة "
“Dan
setiap yang baru adalah bid’ah”
Para ulama telah menjelaskan yang dimaksud dalam kedua hadis
tersebut kembali kepada perubahan hukum dengan keyakinan apa yang bukan ibadah
diyakini sebagai ibadah (pendekatan diri kepada Allah SWT ), jadi maksud ihdas bukanlah perkara baru secara
mutlak.
Syaikh zaruq menjelaskan : “Timbangan bid’ah ada tiga:
Timbangan pertama, dengan melihat perkara yang baru, yaitu apabila
ada dasar dalilnya di dalam syariat maka hal tersebut bukan bid’ah. Tetapi kalau
tidak dasar dalilnya bahkan menyelisihi dalil maka yang demikian itu sesat dan
batil. Dan jika dillihat ternyata ada dasar dalilnya tetapi juga
mengandung syubhat, dan tidak mudah
dibedakan, maka dilihat alasan – alasannya, kemudian memilih alasan yang kuat.
Timbangan Kedua, melihat kaidah-kaidah para aimmah dan ulama salaf
yang berjalan di atas sunnah, maka jika perkara tersebut menyelisihi semua
kaidah tersebut, maka perkara tersebut tidak dianggap, dan jika sesuai dengan
dasar kaidah para ulama maka perkara tersebut dibenarkan. Dan jika para ulama
berselisih dalam masalah asal / dasar atau furu’, maka yang diikuti yang ada
dalilnya. Diantara kaidah-kaidah tersebut adalah sesungguhnya apa yang telah
dilakukan oleh para ulama salaf dan pengikutnya khalaf tidak boleh
dikatakan sebaagai perkara bid’ah atau perbuatan tercela (madzmum). Dan apa
yang telah mereka tinggalkan dengan alasan yang jelas tidak juga disebut
sebagai perkara sunnah ataupun hal yang terpuji (mahmud). Adapun perkara yang
ada dalilnya (para ulama telah menetapkan dalilnya) tetapi tidak ada riwayat
bahwa mereka melakukannya, (dalam hal ini ulama berbeda pendapat): imam malik
berpendapat: yang demikian adalah bid’ah, karena para ulama tidaklah
meninggalkan perkara tersebut kecuali ada dalilnya. Adapun imam assyafi’I berpendapat:
yang demikian bukanlah bid’ah, meskipun ulama salaf tidak melakukannya, karena
terkadang mereka meninggalkan amalan tersebut karena suatu alasan pada waktu
itu atau karena ada hal yang lebih utama dari itu, sedangkan dasar hukum
diambil dari syariat (bukan ulama), dan telah ada. Begitu juga mereka
berselisih dalam suatu perkara yang tidak ada dalil sunnah yang melarangnya,
imam malik berkata : perkara tersebut bid’ah. Adapun imam syafii berkata:
perkara tersebut bukan bid’ah. Ia bersandar dengan hadis rosulullah saw : ما تركت لكم فهو عفو “apa yang aku tinggalkan untuk kalian
adalah dimaafkan (afwun)”
Dari sini mereka berselisih dalam hal membangun perkantoran
(idarah), dzikir dan doa dengan jahr (bersuara) atau dzikir berjama’ah. Karena
hal tersebut ada dalilnya tetapi tidak ada riwayat ulama salaf melakukan hal
tersebut. Karena itu setiap orang yang berpendapat dalam masalah tersebut tidak
disebut sebagai ahli bid’ah karena berbeda dengan pendapat lainnya. Dan tidak
boleh mengatakan bahwa yang berpendapat demikian itu batil dan sesat karena
perkara tersebut mengandung syubhat. Kalau hal itu dibolehkan maka mengarah
kepada menjadikan umat sebagai ahli bid’ah semua (tabdi’ul ummah). Setiap mujtahid
mendapatkan pahala, jika salah mendapatkan satu dan jiika benar mendapatkan dua
sebagaimana disebutkan didalam hadis rosulullah saw.
Timbangan ketiga, membedakan
perkara yang baru dengan syawahid ahkam (hukum-hukum islam) yaitu hukum syariah
yang enam, wujub, nadb / sunnah, tahrim, karohah, khilafull aula, dan ibahah. Maka
setiap perkara yang sesuai dengan dalil yang benar dan jelas, perkara tersebut
disamakan dengan perkara yang sudah ada dalilnya, tetapi jika perkara tersebut
tidak sesuai dengan dalil, yang demikian itu bid’ah.
Adapun macam-macam bid’ah ada tiga;
Pertama, bid’ah shorihah, yaitu perkara yang tidak ada dasar
dalilnya dan menyelisihi hukum syariat baik yang wajib, sunnah, mandub, atau
lainnya, karena hal ini mampu mematikan sunnah dan menghilangkan kebenaran, dan
inilah seburuk-buruk bid’ah.
Kedua, bid’ah idhofiyah, yaitu bid’ah yang ditambahkan pada suatu
perkara, seandainya diterima maka tidak diperbolehkan untuk diperselisihkan
apakah itu termasuk sunnah atau bid’ah sebagaimana khilaf yang dijelaskan
sebelumnya.
Ketiga, bid’ah khilafiyah, yaitu yang terbangaun dari dua dasar
yang saling tarik menarik diantara keduanya. Sebagaimana imam malik mengatakan
bid’ah sedang imam syafi’I mengatakan tidak bid’ah seperti dalam masalah
membangun perkantoran, dzikir jama’ah.
Karena itulah imam al’iz ibn abdissalam membagi bid’ah atau hawadis
(perkara yang baru) ke dalam hukum yang lima: bid’ah adalah perkara yang tidak
dilakukan pada masa rosulullah saw, bisa menjadi
Wajib, seperti mempelajari ilmu nahwu, ghoribul qur’an dan sunnah
yang membantu untuk memahami syariat agama.
Muharram (haram), seperti madzhab qodariyah, jabariyah dan
mujassimah.
Mandub (sunnah), seperti mendirikan pesantren dan sekolahan, dan
setiap kebaikan yang tidak dilakukan pada masa awal Islam.
Makruh, seperti menghiasi masjid (zahrofatul masajid), mengihasi
alqur’an.
Mubah (boleh), seperti berjabat tangan setelah sholat.”
Demikian inilah pandangan hadrotus syaikh kh. Hasyim asy’ari dalam
bid’ah.”[1]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar