Sabtu, 29 Oktober 2011

dakwah sebagai pilihan hidup

DAKWAH SEBAGAI PILIHAN HIDUP


Ketika kita berkomitmen menjadikan dakwah sebagai pilihan hidup, kita membutuhkan dua hal; pertama jiddiyah (kesungguhan) dan yang kedua indibath (kedisiplinan).

Sebagaimana kalau kita telah mantap dengan pasangan hidup kita, kita akan berusaha mencintai, menyayangi, memperhatikanya bahkan mengorbankan sesuatu untuk bisa memperoleh cintanya, dan itu adalah kebahagiaan tersendiri. Dengan menjadikan pernikahan sebagai madrasah untuk saling belajar menjadi lebih baik. Karena tidak mungkin orang itu sempurna keseluruhannya, pasti ada sebuah aib yang melekat padanya, karena itulah pentingnya belajar dari pasangan untuk berubah menjadi lebih baik dan menutup kekurangan. Begitu juga dakwah, kalau kita mencintai dakwah kita akan merasa ringan ketika kita melangkahkan kaki di jalan dakwah, bahkan rela berkorban jiwa, harta untuk tegaknya kalimatullah.

Ada beberapa sifat sebagai tolak ukur benarnya kesungguhan yang ada dalam hati kita:

1. Alfauriyah fittanfidz (bersegera melaksanakan), seorang dai ibarat dokter. Ia akan segera tergerak untuk mengobati pasien dengan harapan cepat sembuh. Begitu juga dai, ketika melihat ummat membutuhkan pencerahan, maka dai harus segera menjelaskan masalah yang sedang ummat hadapi sesuai denga apa yang ada dalam alqur’an dan assunnah.

2. Quwwatul irodah (keinginan atau tekad yang kuat), seorang dai tidak hanya memfikirkan apa yang terbaik untuk diri dan keluarganya semata, tapi harus lebih dari itu. Ia harus selalu berfikir apa yang terbaik untuk kemaslahatan ummat. Membimbing, mengarahkan dan memberi nasihat untuk menjadikan umat yang mengamalkan islam dalam kehidupan sehari-hari, bukan sebatas teori. Keinginan atau tekad yang kuat tak akan luntur oleh rintangan, dan tak akan pudar oleh zaman. Sebagaimana pepatah arab mengatakan “kun rojulan himmatuhu fi tsuroyya, wa rijluhu fi tsaro” jadilah laki-laki yang keinginannya di bintang (tinggi) sedang kakinya di atas tanah”. Dalam artian keinginan kita harus tinggi tapi harus sesuai dengan realita, atau bermimpilah asal jangan jadi pemimpi. Bersumber dari keinginan yang kuat, ia akan berprinsip “saya akan hidup dimana saja, dimana saya dibutuhkan ummat, dengan kata lain hidupnya hanya untuk berdakwah kepada allah azza wa jalla untuk memperbaiki ummat (ishlahul ummah).

3. Mutsabaroh ‘ala addakwah (terus-menerus berdakwah), dakwah tak kenal kata berhenti. Karena berhenti berdakwah berarti kematian bahkan kehancuran bagi ummat. Maka seorang dai dituntut untuk terus beraktifitas dan berfikir di jalan dakwah. Waktu sangatlah sedikit sedang tugas yang harus dipikul begitu banyak. Bahkan imam hasan albanna mengatakan “Seandainya waktu bisa dibeli, maka aku akan membeli waktu orang-orang yang menganggur”. Sebagaimana firman allah swt “fa idza faroghta fansob” maka apabila kamu telah selesai mengerjakan suatu pekerjaan, kerjakanlah yang lain. Pernah malaikat jibril datang kepada rosulullah saw dan berkata kepadanya, kenapa engkau meletakkan pedangmu, padahal kami masih menghadapi musuh, keluarlah, allah telah mengijinkan kamu untuk memerangi bani quraidhoh”.

4. Taskhiru atthoqoh (mengerahkan potensi), setiap orang mempunyai potensi yang berbeda, ia lebih tahu potensi yang ada pada dirinya daripada orang lain. Dalam berdakwah kita dituntut untuk mengerahkan semua potensi yang ada dalam diri kita. Ilmu yang kita pelajari adalah potensi yang sangat agung, karena ialah ilmu syar’i. Ilmu tidak akan berarti kalau tidak diajarkan kepada orang lain bahkan ia hanya akan menjadi belenggu dan sumber kehinaan bagi dirinya. Tapi ilmu akan bertambah dengan mengamalkanya, menjadi kebahagian tersendiri kalau ilmu kita bermanfaat bagi orang lain.

5. Mugholabatul a’dzar (berusaha mengalahkan udzur/ alasan), betapa banyak rintangan dakwah, bahkan banyak rintangan itu berasal dari keluarga, anak, istri, harta dan pekerjaan. Sebagaimana allah swt berfirman “innama amwalukum wa auladukum fitnah” sesungguhnya harta-harta dan anak-anak kalian adalah ujian. “inna min azwajikum wa auladikum aduwan lakum fakhdzaruhum” . janganlah kita membiarkan alasan-alasan kecil memberatkan kaki untuk melangkah berdakwah atau mencari ilmu, karena kalau kita terbiasa dengan alasan, maka kita tidak akan mampu mencapai hasil yang memuaskan, tapi sebaliknya, kita akan merasa berat bahkan meninggalkan tugas dakwah. “nahnu jama’ah ‘azimah wa lasna jama’ah rukhsoh”.

Yang kedua, Indlibath (kedisiplinan). Ada beberapa hal yang harus kita disiplinkan dalam mengarungi samudra dakwah. Kedisplinan itulah yang akan menjadikan kita kuat, teratur dan semakin menjadi lebih baik. “al haq bila nidom yaghlibuhul bathil binidom”

1. Indlibath syar’i, mulai mengamalkan ilmu syar’i yang telah kita pelajari dan bagaimana kita untuk berkomitmen secara utuh. Islam bukanlah sebatas teori. Alqur’an dan assunnah tidak akan tersebar dengan sedirinya tapi harus ada penggeraknya, dan kitalah penggeraknya. Lihatlah bagaimana para sahabat ketika belajar dari rosululllah saw, mereka tak hanya menghafal alqur’an dan assunnah tapi mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka tidak akan menyuruh berbuat baik sampai mereka memberikan contoh dengan menjadikan diri dan keluarga mereka sebagai teladan yang patut ditiru. Keluarga adalah cermin seseorang. Bagaimana ia berdakwah mengajak orang lain menegakkan kebenaran kalau keluarganya jauh dari tarbiyah islamiyah. Sungguh ironis tapi inilah yang saat ini, telah melanda orang-orang yang mengaku sebagai juru dakwah. Menipu ummat dengan penampilan berjubah dan bersorban. Mereka mencampuradukkan kebenaran dan kebatilan tanpa ada rasa takut kepada Allah swt sedikitpun. Tujuan mereka adalah dunia dan mencari sensasi. Na’udzu billah min dzalik.

2. Indlibath khuluqi, sebagaimana sabda Rosulullah saw, “innama bu’istu liutammima makarimal akhlaq” hanyalah saya diutus untuk menyempurnakan akhlaq. Kenapa hanya akhlaq? Bagaimana dengan akidah dan syariah? Akhlaq adalah asasi. Syariah dan aqidah harus dilandasi dan dibarengi dengan akhlaq. Semisal contoh apabila seorang melakukan thowaf (salah satu syariat dalam haji) tidak dibarengi dengan akhlaq maka dia akan mengutamakan dirinya supaya bisa berjalan di keramaian jamaah haji meski harus menyakiti orang sekitarnya dengan menyikut, menginjak, bahkan mendorong-dorong di depannya hingga terjatuh. Begitu juga dakwah kepada tauhid atau akidah harus dibarengi dengan akhlaq, sebagaimana rosulullah saw ketika menyeru kafir quraisy hanya untuk menyembah allah swt, dilarang allah swt untuk mencela berhala-berhala yang mereka sembah. Menghormati pamannya meskipun tidak mau beriman hingga akhir hayatnya. Dan allah telah menjelaskan dalam surat alhujurot bagaimana seharusnya kita bersosialisasi dengan masyarakat. Karena kita hidup tidak sendiri, tapi bermasyarakat. Sebagaimana firman Allah azza wa jalla “wa lau kunta faddon gholidolqolbi lanfaddlu min khalik” . Maka perlunya kita menelaah kembali surat alhujurat dan tafsirnya.

3. Indlibath Amali, hendaklah kita dalam beramal mempunyai visi dan misi. Terlebih dalam memandang masa depan. Dengannya kita akan tergerak untuk berusaha mewujudkannya.

4. Indlibath Tarbawi

5. Indlibath Tandhimi, kita harus masuk dalam struktur jamaah dakwah. Apapun peran yang dipilihkan untuk kita. Karena orang yang sendirian adalah lemah, tapi dengan berjamaah dia menjadi kuat. Sebagaimana rosulullah saw bersabda “ innama ya’kulu addzikbu minal ghonam alqosshiyah” srigala hanya memakan kambing yang sendirian. “yadullah maal jamaah”

1 komentar:

  1. assalamu'alaikum wr wb
    kebanyakan para da'i sekarang itu banyak yang berat sebelah, maksud nya jika ada orang yang di luar kelompok nya maka tidak di hiraukan, karena mementingkan kelompok nya msing-msing
    bukan nya tugas da'i itu untuk umat, bukan untuk kelompok tertentu...

    lalu menurut anda, jika ada da'i seperti itu disebut apa...????

    BalasHapus

Powered By Blogger