MUHARRAM; SEJARAH, IBRAH DAN AMAL
Bulan Muharram adalah bulan yang mulia. Ia disebut Muharram karena
diharamkan terjadinya perang di bulan tersebut.[1]Terlebih
bulan Muharram banyak merekam peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah peradaban
manusia. Seperti yang disampaikan oleh syaikh nawawi al-bantani al-makki, ia
meriwayatkan dari para ulama, bahwa di bulan Muharram inilah Nabi Adam AS
diciptakan di syurga, diterima taubatnya, berlabuhnya kapal Nabi Nuh AS di
bukit Judi, terbelahnya laut merah dengan mukjizat Nabi Musa AS,
ditenggelamkannya fir’aun di laut merah, keluarnya Nabi Yunus dari perut hiu,
dan juga keluarnya Nabi Yusuf dari sumur yang gelap, diterimanya taubat kaum
Nabi Yunus, dikembalikannya penglihatan Nabi Ya’qub AS, disembuhkannya penyakit
Nabi Ayyub, dan Allah mengampuni Nabi Dawud AS.[2]
Sebagaimana diriwayatkan di dalam shahih Imam Bukhari dan shahih
Imam Muslim, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah saw ketika telah sampai di Madinah,
ia melihat orang-orang yahudi sedang berpuasa seraya berkata, “Ini adalah hari
yang agung karena pada hari itu Allah telah menyelamatkan musa beserta kamunya
dan menenggelamkan fir’aun beserta pasukannya. Karenanya nabi Musa berpuasa
sebagai bentuk rasa syukur, dan kami pun berpuasa. Berkata Rasulullah saw, :
“maka kami lebih berhak dan lebih utama mengikuti nabi Musa daripada kalian.
Kemudian ia pun berpuasa, dan memerintahkan puasa.
Begitu juga diriwayatkan di dalam shahih bukhari dan Shahih
Muslim, hadis Salamah bin al-Akwa’ bahwa Rasulullah saw menyuruh seseorang dari
bani Aslam agar mengumumkannya, bagi orang yang sudah makan hendaklah ia
berpuasa di sisa harinya, dan bagi orang yang belum makan hendaklah berpuasa,
karena hari ini adalah hari Asyura’. [3]
Selain peristiwa tersebut, di bulan Muharram terdapat peristiwa
yang sangat monumental yang takkan terlupakan dalam sejarah umat Islam; sejarah
yang mampu membalikkan keadaan peradaban manusia dari jahiliyah kepada
peradaban yang rahmatan lil alamin, yaitu hijrah Rasulullah saw dari Makkah
ke Madinah.
Hijrah Rasulullah saw bukanlah sekadar perjalanan biasa, tetapi
hijrah adalah perjalanan keimanan, pengorbanan dan kesabaran. Hijrah adalah
titik tolak perubahan dalam membangun masyarakat yang beradab, berpendidikan
dan bervisi ke depan untuk menjadi lebih baik. Sebagaimana hijrah Rasulullah
saw dari Makkah ke Madinah, sesampainya di Madinah, ia membangun peradaban yang
jauh lebih modern dari zamannya, peradaban yang memartabatkan dan meninggikan
derajat manusia, peradaban yang membebaskan manusia dari setiap belenggu perbudakan
sesama manusia menuju penghambaan hanya kepada Allah swt; dzat pencipta dan
penguasa alam semesta.
Bercermin dari hijrah Rasulullah saw, terdapat banyak pelajaran
yang bisa diaplikasikan untuk realita sekarang, diantaranya:
1).Menjaga Keimanan
Ketika di Makkah, Rasulullah saw diperintahkan untuk mengajak
manusia agar beriman kepada Allah swt. Mulai dari keluarga, saudara dan
masyarakat pada umumnya. Sehingga sebagian masyarakat Makkah pada saat itu
beriman kepada Allah dan agama yang dibawa Rasulullah saw tetapi tidak sedikit
orang yang menentang dakwanya. Karenanya, untuk menghentikan dakwah tersebut,
mereka tidak segan-segan menyiksa orang yang beriman baik dengan perkataan atau
bahkan dengan siksaan fisik hingga meninggal supaya mereka kembali ke agama
berhala dan meninggalkan agama Islam. Bahkan Rasulullah pun tidak luput dari
siksaan tersebut. Oleh karena itu, ketika ada momentum utuk menyelamatkan
keimanan para sahabat, Rasulullah saw memerintahkan mereka agar berhijrah; di
mulai dengan hijrah ke habasyah (hijrah pertama), dan dilanjutkan dengan hijrah
ke Madinah. Hingga tidak ada lagi umat Islam yang tinggal di Makkah setelah
perintah hijrah tersebut; untuk menjaga dan menyelamatkan keimanan.
Inilah pelajaran yang sangat berharga untuk individu muslim,
keluarga muslim dan masyaraka muslim saat ini. Karena keimanan itu mahal,
bahkan lebih mahal dari dunia dan seisinya, lebih mahal dari emas, perak dan
permata, dan lebih mahal dari hanya sekadar jabatan dan tahta. Karenanya,
keimanan harus dijaga. Mahalnya keimanan dijelaskan Allah swt dalam firman
sucinya, :
إِنَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا وَمَاتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْ أَحَدِهِمْ
مِلْءُ الْأَرْضِ ذَهَبًا وَلَوِ افْتَدَى بِهِ أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati sedang mereka tetap
dalam kekafirannya, Maka tidaklah akan diterima dari seseorang diantara mereka
emas sepenuh bumi, walaupun Dia menebus diri dengan emas (yang sebanyak) itu.
bagi mereka Itulah siksa yang pedih dan sekali-kali mereka tidak memperoleh
penolong.” (QS. Ali Imran: 91)
Dalam ayat lain, Allah memerintahkan agar setiap mukmin menjaga
keimanan diri, dan keluarganya agar terhindar dari api neraka. Firman Allah swt
:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka”.(QS. Attahrim:
6)
Mengenai ayat ini, Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Makki dalam
tafsirnya Mirah Labid mengatakan, ajarkanlah kebaikan (Islam) kepada
diri, istri dan anak-anak kalian, dan tanamkanlah akhlak mulia yaitu dengan
menyuruh mereka melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan, dengan begitu
berarti kamu menjaga mereka dari api neraka. [4]
Begitu juga, menjaga keimanan merupakan wasiat terakhir Nabi
Ibrahim AS kepada anak keturunannya. Sebagiamana hal ini diabadikan di dalam
al-Qur’an, :
وَوَصَّى
بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى
لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Dan Nabi Ibrahim telah Mewasiatkan Ucapan itu kepada anak-anaknya,
demikian pula Nabi Ya'qub. (Nabi Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku!
Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, Maka janganlah kamu mati
kecuali dalam memeluk agama Islam".
(QS. Al-baqarah : 132)
Karenanya, setiap muslim patut untuk mencontoh mereka untuk
senantiasa menjaga keimanan yang telah Allah berikan kepada diri dan
keluarganya dengan terus istiqamah dalam mentaati Allah swt sehingga mendapat
kebahagian dunia dan akhirat serta terhindar dari api neraka.
2. Pengorbanan
Hijrah mengajarkan bahwa setiap perjuangan dalam rangka ketaatan kepada
Allah, menolong agama Allah membutuhkan pengorbanan baik waktu, pikiran, harta
bahkan jiwa sekalipun. Para sahabat ketika hijrah dalam rangka menyelamatkan
keimanan dan melaksanakan perintah Allah dan Rasulnya, mereka rela mengorbankan
harta mereka; rumah, perhiasan dan seluruh yang mereka miliki agar mampu hijrah
ke Madinah. Mereka rela meninggalkan itu semua, karena mereka sangat yakin
dengan janji Allah, bahwa pengorbanan fi sabilillah tidak akan sia-sia,
karena Allah akan memberi pahala dan ganti yang lebih baik di dunia dan di
akhirat. Sebagaimana janji Allah dalam al-Qur’an, :
وَالَّذِينَ
آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا
وَنَصَرُوا أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ
كَرِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada
jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi
pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka Itulah orang-orang yang
benar-benar beriman. mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia.” (QS. Al-anfal: 74)
Dan adakah yang lebih menepati janjinya daripada Allah swt?!
3). Menjadi Lebih Baik
Hijrah adalah titik tolak perubahan. Perubahan menjadi lebih baik.
Sebagaimana Rasulullah saw, dengan hijrah ia mampu membangun peradaban yang
agung, dan menyebarkan dakwah Islam hingga mampu berlanjut ke seluruh penjuru
dunia. Hijrah adalah bergerak, mendobrak ke stagnanan hidup menjadi lebih
dinamis dan maju. Karena itulah Imam syafi’i dalam sya’irnya mengatakan:
ما
في المقام لذي عقل وذي أدب من راحة فدع الأوطان واغترب
سافر
تجد عوضا عمن تفارقه وانصب فإن لذيذ العيش في النصب
إني
رأيت وقوف الماء يفسده إن ساح طاب وإن لم يجر لم يطب
والأسد
لولا فراق الأرض ما افترست والسهم لولا
فراق القوس لم يصب
والشمس
لو وقفت في الفلك دائمة لملها الناس من عجم ومن عرب
Tidak layak
bagi orang yang berakal dan beradab untuk diam menetap, tapi tinggalkanlah
negeri dan berkelanalah
Bersafarlah,
kamu akan menemukan pengganti orang yang kamu tinggalkan, dan bekerjalah,
karena kelezatan hidup dengan bekerja
Pendapatku
bahwa diamnya air bisa merusaknya, jika ia mengalir ia akan jernih, tapi jika
tidak maka menjadi keruh.
Seekor singa
jika tidak meninggalkan tempatnya, maka ia tidak mendapat mangsa, juga anak
panah jika tidak dilepas dari busurnya, ia tidak akan mengena
Matahari
seandainya ia berhenti di jagat raya, niscaya orang arab dan ajam akan merasa
jenuh.[5]
Oleh
karenanya, setiap muslim dituntut untuk berhijrah menjadi lebih baik. Hijrah
dari kemaksiatan kepada ketaatan, hijrah dari kebodohan kepada pendidikan,
hijrah dari kemiskinan kepada kesejahteraan. Intinya hijrah untuk menjadi lebih
baik. Dan inilah yang menjadi syiar setiap muslim, “hari ini lebih baik dari
hari kemarin, dan esok lebih baik dari hari ini”.
4). Puasa Tasu’a dan Asyura
Sebagaimana di depan telah dijelaskan sejarah puasa Asyura, bahwa Rasulullah
menganjurkan umat Islam untuk berpuasa Asyura; hari ke-sepuluh bulan Muharram,
dan juga hari ke-sembilannya tasu’a. Hal ini disebutkan Imam Nawawi
Al-Damasyqi dalam kitabnya Riyadl Al-Shalihin[6],
أنَّ رسول الله - صلى الله عليه وسلم - سُئِلَ
عَنْ صِيامِ يَوْمِ عَاشُوراءَ، فَقَالَ : (( يُكَفِّرُ السَّنَةَ المَاضِيَةَ ))
رواه مسلم .
وقال : ( لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابلٍ لأَصُومَنَّ التَّاسِعَ ))
رواه مسلم .
Rasulullah saw pernah ditanya tentang puasa hari ‘Asyura, ia
menjawab, : “puasa Asyura menghapus dosa satu tahun yang lalu”. HR. Imam
Muslim
Dan juga sabdanya, : “jika aku masih hidup sampai tahun depan,
aku akan berpuasa pada hari kesembilannya (tasu’a)”. HR. Imam Muslim
Betapa besarnya pahala puasa Asyura dan tasu’a, seyogyanya setiap
muslim untuk memperhatikan tangggal tersebut dan mengikuti sunnah Rasulullah
saw dengan berpuasa di dua hari tersebut. Selain puasa, ada amalan lain yang
dianjurkan untuk diamalkan pada hari ‘Asyura, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh
Nawawi Al-Bantani Al-Jawi Al-Makki dalam kitabnya Nihayah al-Zainfi Irsyad
al-mubtabiin,para ulama besar meriwayatkan, bahwa ada dua belas amalan yang
dianjurkan untuk dilakukan di hari Asyura, yaitu, shalat, terlebih shalat
tasbih, puasa, shadaqah, infka kepada keluarga, mandi besar, mengunjungi ulama
shalih, menjenguk orang sakit, mengusap kepala anak yatim, memakai celak mata,
memotong kuku, membaca surat al-ikhlash seribu kali, dan silaturrahim. Ia
menambahkan, ibnu hajar al-asqalani dalam syarh al-bukhari menyebutkan doa
bahwa orang yang mengucapkannya pada hari Asyura maka hatinya tidak mati. Doa
tersebut yaitu:
سُبْحَانَ
اللهِ مِلْءَ المِيْزَان وَمُنْتَهَى العِلْمِ ومَبْلَغ الرِضَا وَزِنَةَ العَرْشِ
والحَمْدُ لِلهِ مِلْءَ المِيْزَان وَمُنْتَهَى العِلْمِ وَمَبْلَغَ الرِضَا وَزِنَةَ
العَرْشِ واللهُ أَكْبَر مِلْءَ المِيْزَان وَمُنْتَهَى العِلْم وَمَبْلَغَ الرضَا
وَزِنَةَ العَرْشِ لَا مَلْجَأَ وَلَا مَنْجَا مِنَ اللهِ إلَّا إِلَيْهِ سُبْحَانَ
اللهِ عَدَدَ الشَفْعِ وَالوِتْرِ وعَدَدَ كَلِمَاتِ اللهِ التَامَّاتِ كُلِّهَا
والحَمْدُ لِلهِ عَدَدَ الشَّفْعِ وَالوِتْرِ وَعَدَدَ كَلِمَاتِ اللهِ التَامَّاتِ
كُلِّهَا وَاللهُ أَكْبَر عَدَدَ الشَّفْعِ وَالوِتْرِ وَعَدَدَ كَلِمَاتِ اللهِ
التَامَّاتِ كُلِّهَا
أَسْأَلُكَ السَّلَامَةَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ
الرَّاحِمِيْنَ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ العَظِيْمِ
وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وعَلَى آلِهِ وَصَحْبِه أَجْمَعِين
والحمد لله رب العالمين
Berkata pula Sayyid Ali al-Ajhuri, bahwa orang yang mengatakan pada
hari Asyura “hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’man nashir__
حسبنا الله ونعم الوكيل نعم المولى ونعم النصير maka Allah akan melindunginya dari
keburukan tahun itu”[7]. Wallahu
a’lam bisshawab wa shallallahu ‘ala sayyidina Muhammad
SEMOGA BERMANFAAT
Al-Faqir Ila Ridla Rabiihi Dzulkifli Amnan al-Syarafani al-Qudsy
al-Jawi
Jum’at, 31 Oktober 2014 09.50
[1]
Abu al-Faraj Abdurrahman al-Jauzi, At-Tabshirah, Mesir: Dar al-Hadist.
H.2/2
[2]
Abu al-mu’thi muhammad bin umar Nawawi al-Bantani al-Jawi al-Makki (w. 1316 H),
Nihayah al-Zain Fi Irsyad al-Mubtadiin, Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, cet. 4, 2013. H. 192
[3]
Attabshirah, loc.cit.,h.2/2
[4]
Syaikh Muhammad bin umar Nawawi al-Bantani al-Jawi al-makki, Mirha Labid li
kasyfi ma’na al-qur’an al-majid,Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyah, 1417 H.
H. 2/542
[5]
Imam syafi’i, diwan al-imam al-syafi’i, Beirut: dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 2010. H. 36
[6]
Al-imam Abu zakaria yahya bin syaraf al-nawawi al-damasyqi, riyadl
al-shalihin, Beirut: Dar al-Fikr, 1994. H.233
[7]
Nihayah al-zain, Op.cit., h. 191-192
Tidak ada komentar:
Posting Komentar