Nikmatnya
Pacaran...
Kata pacaran berasal dari kata pacar, seperti disebutkan dalam
kamus besar bahasa Indonesia, terdapat dua makna, pertama, teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan
berdasarkan cinta kasih, atau juga disebut kekasih, dan yang kedua tumbuhan kecil yg daunnya biasa dipakai untuk
pemerah kuku; batang inai.[1]
Di kalangan masyarakat kita saat ini, mungkin kata pacar sudah tidak asing lagi
bagi tiap orang, baik kecil, remaja, dewasa atau bahkan orang tua. Pacar adalah
kekasih, dan pacaran adalah aktivitasnya. So...nikmatkah pacaran itu?!
Kalau kita flashback ke tempo doeloe, orang pertama yang
memadu kasih adalah Nabi Adam AS dan Sayyida Hawa. Bahkan lebih nikmat lagi,
mereka berdua menikmati rasa cinta dan kasih itu di syurga hingga akhirnya
syaitan mampu menggodanya dengan buah khuldi yang terlarang. Karena
terperangkap godaan tersebut, Nabi Adam dan Sayyida Hawa’ dikeluarkan dari
syurga dan diturunkan ke dunia. Dan inilah takdir Allah, hingga dunia
dimakmurkan oleh bani Adam dan Hawa, atau yang disebut manusia.
Ternyata tidak berhenti disini, meskipun telah berhasil menggoda Adam
hingga akhirnya dikeluarkan dari syurga, sang Iblis dan pasukannya para syaitan
akan terus mengoda keturunannya dari ketaatan kepada Allah hingga sampai akhir
zaman.[2]
Ya, para syaithan terus menerus menabuh genderang perang untuk menggoda manusia
agar mengikuti langkah-langkahnya dan bermaksiat kepada Allah. Karenanya, Allah
mengingatkan manusia dengan firmanNya:
ولا
تتبعوا خطوات الشيطان إنه لكم عدو مبين
“Dan janganlah kalian mengikuti
langkah-langkah syaitan, sungguh ia bagi kalian adalah musuh yang nyata”.
Apa hubungannya dengan pacaran?! Agama Islam adalah agama Allah,
agama rahmatan lil alamin, sistem hidup dari Allah Maha Pencipta
untuk ciptaanNya; manusia, jin, dan semua alam raya agar semuanya hidup dalam
keteraturan, karena Allah Maha mengatahui tentang ciptaanNya. Islam tidak hanya
mengatur masalah ibadah kepada Allah saja (hablun min Allah) tetapi juga
mengatur hubungan antara sesama manusia (hablun min an-nas). Diantaranya
adalah hubungan antara lawan jenis; laki-laki dan perempuan, tak luput dari
aturan Allah.
Pada dasarnya rasa cinta terhadap lawan jenis adalah fitrah
manusia. Laki-laki mencintai wanita dan wanita mencintai laki-laki. Tetapi
cinta itu tidak hanya sebatas ucapan lisan, rayuan dan pujian, atau sebungkus
coklat atau es cream dan rasa perhatian. Sekali lagi, TIDAK!!!. Tetapi cinta
itu butuh bukti konkrit, sebagaimana pepatah arab, al-muhib liman yuhabbu
muthi’u, orang yang cinta kepada orang yang dicintai pasti taat. Lebih dari
itu, cinta yang berbuah syurga itu harus dilandasi karena iman bukan nafsu, cinta
karena Allah bukan cinta karena syaithan.
Seperti kisah seorang ahli ibadah yang digoda syaithan, sebagaimana
yang disebutkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya, Ali Bin Abi Thalib menceritakan, bahwa pernah
ada rahib yang rajin beribadah selama enam puluh tahun, dan syaithan ingin
mengujinya, kemudian syaithan mendatangi seorang perempuan dan menjadikannya
gila, dan wanita tersebut memiliki saudara2. Syaitan lalu berkata kepada
saudaranya, pergilah ke rahib, dia bisa mengobatinya. Datanglah mereka dengan
saudarinya kepada rahib agar diobati, maka wanita tersebut pun menginap di
tempatnya. Maka pada suatu hari, (karena godaan syaithan) ia pun menyukainya,
dan melakukan perzinaan dengannya, sampai hamil, dan (terus digoda syaithan)
sampai akhirnya ia membunuh wanita tersebut. Maka ketika saudara-saudara wanita
itu mendatangi rahib, untuk diadili, syaithan mendatangi rahib, seraya
mengatakan kepadanya, “akulah temanmu, taatilah aku, maka aku akan menyelamatkanmu
dari keadaan ini, oleh karena itu, sujudlah kepadaku. Akhirnya, ia pun bersujud
kepada syaithan, maka ketika ia bersujud, syaithan berkata, : “Sunnguh aku
berlepas dari apa yang kamu lakukan (syirik kepada Allah), karena sesungguhnya aku
takut kepada Allah”. [3]
كَمَثَلِ الشَّيْطَانِ إِذْ قَالَ لِلإنْسَانِ اكْفُرْ فَلَمَّا
كَفَرَ قَالَ إِنِّي بَرِيءٌ مِنْكَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ
“Seperti (bujukan) shaitan ketika
Dia berkata kepada manusia: "Kafirlah kamu", Maka tatkala manusia itu
telah kafir, Maka ia berkata: "Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu,
karena Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta alam". (QS. Al-Hasyr: 16)
Seperti itulah syaitan menggoda, dari nabi Adam hingga
keturunannya. Ia takkan pernah berhenti, sampai manusia menjadi temannya di
neraka kelak. Itulah secuil kisah cinta yang dilandasi karena nafsu dan
syaithan, cinta yang akan berujung kepada kehinaan, dan kemurkaan, tidak hanya
di dunia tapi juga di akhirat, na’udzu billah min dzalik. Apalah arti
pacaran kalau membawa kemurkaan Allah, bagaimana mungkin menikmati pacaran
kalau neraka dengan malaikat penjaganya telah bersiap menyiksa. Oleh karenanya,
Islam memberi solusi yang lebih baik dari itu semua yaitu boleh pacaran asal
sudah menikah, bukan pacaran sebelum menikah. Sebab, kalau sebelum menikah itu
berarti mendekati zina, dan itu dilarang di dalam Islam, sebagaimana firman
Allah
ولا
تقربوا الزنى إنه كان فاحشة وساء سبيلا
“Dan janganlah kamu mendekati zina;
Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang
buruk.”
(QS. Al-Isra’: 32)
Kalau sebelum menikah segala aktivitas yang dilakukan diantara dua
orang yang berpacaran adalah dosa. Pandangannya dosa, bicaranya dosa, sentuhannya
dosa, apalagi kalau sampai terjadi zina, na’udzu billah min dzalik, intinya
semua aktivitas itu berada dalam kubangan dosa. Sekali lagi, inilah
langkah-langkah syaithan dalam menggoda keturunan Nabi Adam, mulai dari
pandangan, berlanjut ke obrolan, terus saling berjabat tangan dan bersentuhan
hingga terjadi zina. Oleh karenanya, Allah mengingatkan dalam surat An-Nur:
قُلْ
لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ
أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُون
وَقُلْ
لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah
mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah
lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka
perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya”.
(QS. An-Nur 30-31)
Inilah perintah Allah agar setiap muslim dan muslimah menjaga
pandangannya dari lawan jenisnya. Ditegaskan lagi oleh sabda Rasulullah saw,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "إن النظر سهم من سهام إبليس
مسموم، من تركه مخافتي، أبدلته إيمانا يجد حلاوته في قلبه"قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم: "إن النظر سهم من سهام إبليس مسموم، من تركه مخافتي، أبدلته
إيمانا يجد حلاوته في قلبه"
“Sesungguhnya pandangan adalah anak panah dari anak panah2 iblis
yang beracun, maka orang yang bisa meninggalkannya (menundukkan pandangannya)
karena takut kepada-Ku (Allah), maka Aku akan menggantikannya dengan keimanan
yang akan ia rasakan kemanisannya di dalam hatinya”.[4]
(Al-Hadits)
Ingatlah, setiap pandangan manusia, Allah maha melihat, bahkan
sekecil apapun itu tidak akan pernah luput dari pengawasan Allah.
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الأعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ(الغافر: 19)
“Allah mengetahui setiap mata yang berkhianat dan mengetahui apa
yang disembunyikan oleh hati”.
(QS. Al-Ghafir: 19)
Juga Rasulullah saw bersabda, “Lebih baik dipukul dengan jarum
besi di atas kepala daripada menyentuh wanita yang bukan mahram”.
Inilah kenikmatan sesaat pacaran sebelum menikah, mungkin
diawal memandang sangat indah, tetapi
berakhir siksa Allah, atau disaat menyentuh terasa nikmat, tapi para malaikat
tidak pernah lupa mencatat dosa itu dan membalasnya dengan siksa kelak di
akhirat. Tetapi hal tersebut ternyata tidak berlaku bagi orang yang berpacaran
setelah menikah, justru setiap aktivitas cinta mereka adalah ibadah, senyumnya
di depan pasangan adalah ibadah, ciuman, sentuhan bahkan berhubungan antara
suami istri menjadi ibadah dan shadaqah. Sebagaimana sabda Rasulullah saw:
وفي
بضع أحدكم صدقة
“dan
hubungan suami istri itu shadaqah”. (al-Hadits)
عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (ما استفاد المؤمن - بعد تقوى الله
عز وجل - خيرا له من زوجة صالحة: إن أمرها أطاعته، وإن نظر إليها سرته، وإن أقسم
عليها أبرته، وإن غاب عنها نصحته في نفسها وماله).رواه ابن ماجه.
“Tidak ada yang bermanfaat bagi seorang mukmin
setelah takwa kepada Allah yang lebih baik baginya selain dari isri yang
shalihah, jika diperintah Ia taat, jika dipandang menyenangkan, jika disumpah
ia membebaskannya, dan jika ditinggal pergi ia menjaga harga diri dan
hartanya”. HR. Ibnu Majah
Adakah nikmat selain ini? Perpaduan cinta dan kasih yang berhiaskan iman dan
takwa, maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan??
Tidak hanya itu, pacaran setelah menikah itu lebih menenangkan dan
membahagiakan, karena tidak ada lagi dosa, yang ada hanyalah ibadah, ibadah dan
ibadah. Lebih tenang karena setiap pasangan telah diikat janji suci akad nikah mitsaqan
ghalidan, tanggung jawab penuh atas apa yang akan terjadi dalam kehidupan
keduanya, keduanya saling percaya karena itu merupakan amanah yang harus dijaga
dengan cinta, dan kasih sayang. Tak sekedar rayuan gombal, perhatian sesaat atau
sebungkus coklat atau es cream, demi menerkam kehormatan dan harga diri, tetapi
tanggung jawab seumur hidup, suka duka, susah senang, bersama merasakan. Karenanya,
jaminan Allah akan menumbuhkan cinta dan kasing sayang hanya teruntuk mereka
yang memadu cinta dan kasih setelah menikah bukan sebelum menikah. Sebagaimana
firman Allah:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً
لِّتَسْكُنُواْ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya Allah menciptakan bagi
kalian dari diri kalian pasangan-pasangan, agar kalian merasa tenang kepadanya,
dan Dia menjadikan diantara kalian cinta dan kasih sayang”.
Inilah taman orang yang bercinta dan memadu kasih karena iman dan
takwa, inilah kenikmatan hakiki sebuah pacaran, pacaran setelah menikah,
pacaran ibadah, dan inilah nikmatnya pacaran. Allahu a’lam bis shawab, wa
shallallahu ‘ala sayyidina muhammad
SEMOGA BERMANFAAT
Al-faqir ila ‘afwi Rabbihi Dzulkifli Amnan al-Syarafani al-Qudsyi
Ma’had UIA Jakarta, Ahad, 2 November 2014, 05:12
baik untuk kaum muda
BalasHapus