Zakat
dan Solusi Kesejahteraan Umat
Oleh:
Dzul Kifli Hadi Imawan, Lc. M. Kom. I
A.
Pendahuluan
Diantara
masalah bangsa yang memerlukan penanganan yang serius adalah masalah yang
berhubungan dengan ekonomi. Karena masalah tersebut merupakan salah satu sebab
kokohnya suatu bangsa ataupun sebaliknya, masalah yang mampu menyalakan gejolak
revolusi ataupun memadamkannya. Bahkan sekarang telah menjadi salah satu
penyebab perang ideologi antar bangsa-bangsa di dunia tidak lain karena masalah
ekonomi.[1]
Islam
bukanlah agama yang tidak mampu mengatasi masalah ekonomi, tetapi agama Islam
memberi solusi positif dalam masalah tersebut dengan adanya perintah zakat.
Bahkan zakat sendiri menjadi tiang utama rukun Islam ketiga yang harus
dilaksanakan bagi tiap-tiap individu muslim yang telah memenuhi persyaratan
wajib zakat; nisab dan haul.
Sejarah
telah merekam bagaimana zakat mampu meningkatkan ekonomi dan mensejahterakan
umat sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw dan para
penerus-penerusnya di zaman keemasan Islam.
Bahkan sampai pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz, sangking
jayanya masa pemerintahannya, ia pernah memerintahkan seseorang untuk menyeru
tiap harinya, : “Dimana orang-orang miskin?,Dimana orang-orang terlilit
hutang?, dan dimana orang yang ingin nikah?.”[2] Agar mereka mendapatkan hak zakat.
Bercermin dari sejarah tentang zakat
yang mampu menjadi solusi ekonomi dan salah satu jalan mensejahterakan umat,
maka sekarang diperlukan langkah untuk mengoptimalkan fungsi zakat
sehingga mampu menjadi solusi bagi ekonomi
dan kesejahteraan umat. Seperti yang disebutkan oleh Dompet Dhuafa, umat Islam
(Indonesia) sebenarnya memiliki potensi dana yang sangat besar.Hipotesa awal, Indonesia
berpenduduk 204,8 juta jiwa, diperkirakan 83% umat Islam atau lebih kurang 166
juta jiwa. Dengan asumsi penduduk yang telah berkewajiban menunaikan zakat
adalah mereka yang memiliki pengeluaran di atas Rp. 200.000 per kapita per
bulan, maka jumlahnya mencapai 18,7 % (SUSENAS 1999). Apabila dikurangi dengan
berbagai kriteria, maka rata-rata harta yang wajib dizakati dari harta (mâl)
adalah 20 dinar emas murni (1 dinar = 4,25 gram) atau setara dengan 85 gram
emas. Jika harga emas Rp 102.200 per gram, maka zakat dapat dihimpun dari
sektor ini setiap tahun adalah 2,5% x 85 x 102.200 x 30.000.000 = Rp
6.515.250.000.000,-.
Jika ditambah dengan zakat
perniagaan, pertanian, peternakan serta zakat emas dan perak, juga infak,
sedekah, kafarat, fidyah, wakaf dan lain-lainnya, maka umat Islam memiliki
potensi dana yang sangat besar, dan dapat digunakan untuk membantu umat Islam
yang kurang mampu secara optimal. Sehingga kebutuhan dasar umat Islam dapat
terpenuhi secara layak dan baik.[3]
Dari
latar belakang tersebut, uraian tentang zakat sebagai solusi ekonomi dan
kesejahteraan umat perlu diangkat kembali dengan tujuan agar mampu mengingatkan
kembali kesadaran individu dan masyarakat muslim dalam menunaikan perintah
Allah yang berupa zakat demi terwujudnya ekonomi umat yang lebih baik dan
sejahtera.
B.
Definisi Zakat
Menurut pakar fikih Islam Syaikh
Muhammad Mahfuzh al-Tarmasi al-Makki, secara bahasa zakat bermakna al-tathir,
al-ishlah, al-nama’, al-madhu membersihkan, memperbaiki, tumbuh dan pujian.[4] Adapun
menurut syara’, zakat adalah nama suatu harta yang dikeluarkan secara khusus
dan diberikan kepada kelompok khusus.[5] Dan
di dalam kitab al-Hâwî, al-Mawardi mendefinisikan zakat dengan nama
pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat tertentu,
dan untuk diberikan kepada golongan tertentu.[6]
Landasan perintah mengeluarkan zakat
adalah al-Qur’an dan al-Sunnah, sebagaimana firman Allah swt:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ
Dan firman Allah swt, “Dan pada
harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang
tidak mendapat bagian” (QS. adz-Dzâriyât[51]: 19); “Dan nafkahkanlah
sebagian dari hartamu yang Allah menjadikan telah kamu menguasainya” (QS.
al-Hadîd[57]: 7); “Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah (zakat) sebagian
dari hasil usahamu yang baik-baik” (QS. al- Baqarah[2]: 267).
Di dalam al-Qur’an,
zakat memiliki beberapa kata yaitu Zakat (QS. al-Baqarah[2]: 43), Sedekah (QS.
at-Taubah[9]: 104), Hak (QS. al-An’âm[6]: 141),
Nafkah (QS. at-Taubah[9]: 34) dan Al-‘Afwu (maaf) (QS.
al-A’râf[7]: 199). Zakat merupakan salah
satu rukun Islam yang ketiga. Sebagimana pendapat yang masyhur dari kalangan
ahli hadis, bahwa zakat mal diwajibkan pada bulan syawal tahun kedua hijrah,
sedang zakat fitri dua hari sebelum idul fitri setelah kewajiban puasa
ramadhan.[7]
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم : "بني الإسلام على خمس : شهادة أن لا إله إلا
الله وأن محمدا عبده ورسوله، وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة وحج البيت وصوم
رمضان". أخرجه البخاري ومسلم
"Islam dibangun diatas lima (landasan); persaksian tidak ada ilah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji dan puasa Ramadlan".[8]
Banyak sekali nash al-Qur’an dan hadis yang menyebut kata zakat. Di dalam al-Qur’an, zakat disebut sebanyak 32 kali. Dan kalau dihitung kata shadaqah, infak, memberi makan fakir miskin maka mencapai 115 kali. [9]
Hal ini menunjukkan bahwa, diantara hikmah disyariatkannya zakat
adalah sebagai salah satu cara untuk
mengatasi masalah kemiskinan. Lebih spesifik, Allah berfirman:
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ (
الذاريات: 19)
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin
yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”(QS. Al-Dzariayat: 19)[10]
إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا (19) إِذَا مَسَّهُ
الشَّرُّ جَزُوعًا (20) وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا (21) إِلَّا
الْمُصَلِّينَ (22) الَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَ (23) وَالَّذِينَ
فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ (24) لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ (25)
“Sesungguhnya
manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. apabila ia ditimpa
kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia Amat kikir,.
kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat. yang mereka itu tetap mengerjakan
shalatnya, dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi
orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak
mau meminta).(QS.
Alhaqqah: 19-25)
Pada
hakikatnya mengeluarkan zakat selain sebagai kewajiban agama juga agar harta
yang ada menjadi bersih dan terjaga dari berbagai musibah.[11]
Memang secara dhahir harta yang dikeluarkan zakatnya berkurang, tetapi Allah
akan menggantikannya dengan yang lebih baik dan banyak. Demikian karena, para
malaikat turut serta dalam mendoakan orang yang mengeluarkan zakat hartanya
kepada Allah agar memberi ganti yang lebih baik dan mendoakan bagi orang yang
tidak mau dengan kehancuran. Karenanya berkata sebagian ulama, orang yang tidak
bersyukur kepada Allah dengan mengeluarkan zakat hartanya, maka ia termasuk
orang yang paling bodoh. Sebab tidaklah Allah memerintahkan zakat kecuali Dia menginginkan untuk menambah
karuniaNya kepada hambanya, maka sepatutnya ia bangga dan senang bukan sedih
atau gelisah.[12]
C.
Praktik Zakat dari Masa ke Masa
Sebagimana
pendapat yang masyhur dari kalangan ahli hadis, bahwa zakat mal diwajibkan pada
bulan syawal tahun kedua hijrah. Di dalam kitab Bulugh al-Maram, al-Imam
Ibnu Hajar al-Asqlani menyebutkan riwayat hadis, bahwa Rasulullah saw pernah
mengutus Mu’adz ke Yaman, dan berkata kepadanya,:
“sesunguhnya kamu mendatangi kaum ahli kitab, maka ajaklah
mereka agar bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan sesungguhnya aku
adalah utusan Allah, maka jika mereka mentaati itu, maka beritahukan kepada
mereka bahwa sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah (zakat)
di dalam harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya dan diberikan kepada
orang-orang fakir. Jika mereka mentaati itu, maka wajib bagimu menjaga harta
mereka, dan takutlah terhadap doa orang yang teraniaya, karena tidak ada
penghalang antara doanya dengan Allah swt. (HR. Bukhari & Muslim)[13]
Hal
ini dilanjutkan oleh para khalifah sesudah meninggalnya Rasulullah saw. Bahkan
ketika masa Abu bakar al-Shiddiq, banyak orang yang tidak mau membayar
zakatnya, hingga ia memerintahkan para sahabat untuk memerangi mereka dan
mengatakan dengan perkataannya yang masyhur,
"والله،
لأجاهدنهم ما استمكن السيف في يدي وإن منعوني عقالا أو عناقا كانوا يؤدونها إلى
رسول الله صلى الله عليه وسلم[14]
“Demi Allah, pasti aku perangi mereka selama pedang masih di
tangan, jika mereka tidak mau membayarkan zakat (inaq/kambing) yang pernah
mereka bayarkan kepada Rasulullah saw”.
Dan
ketika Umar bin Khattab menggantikan Abu Bakar sebagai Khalifaul Muslimin, ia
pernah didatangi seorang wanita yang belum kebagian zakat, maka ia pun memberinya harta zakat berupa onta
berserta tunggangannya yang berisi gandum dan minyak, bahkan ia menambahi dua
onta lagi kepada wanita tersebut.[15]
Begitu juga, pernah datang seorang laki-laki kepada Umar bin Khattab seraya mengadu
akan kesusahan dirinya, lalu Umar pun memeberinya tiga ekor onta. Dari sini,
umar berkata dan menjadi perkataan yang sangat masyhur dalam masalah zakat
yaitu:
إذا أعطيتم فأغنوا
“jika
kalian memberi, maka cukupkanlah (orang yang diberi)”
Menurut
Umar ibn Khattab, zakat diberikan kepada orang fakir agar ia merasa kecukupan
dan kondisinya menjadi lebih baik, bukan hanya sekedar memberinya sesuap
makanan atau sedikit uang untuk menutupi rasa lapar atau kebutuhannya.[16]
Praktik
zakat seperti inilah yang dilanjutkan oleh para pemerintah setelah Umar, hingga
pada masa pemerintahan cicitnya, Umar bin Abdul Aziz. Sangking jayanya masa
pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, ia pernah memerintahkan seseorang untuk
menyeru tiap harinya, : “dimana ada orang-orang miskin?,dimana ada orang-orang
yang terlilit hutang?, dan dimana ada orang yang ingin menikah?.”[17]
Lebih
lanjut, Imam Ibnu Syihab al-Zuhri pernah menuliskan tentang tataletak zakat
(pembagian zakat) sesuai sunnah Rasulullah saw untuk khalifah Umar bin Abdul
Aziz agar dijalankan pada masa pemerintahannya, diantara yang ia sebutkan
sebagai berikut:
“Di dalam harta zakat terdapat bagian bagi orang-orang tua dan sakit
menahun, bagian bagi setiap orang miskin yang miskinnya karena tidak mampu
bekerja atau karena cedera ketika bekerja atau juga seorang mujahid yang cedera
ketika perang, juga bagian bagi orang-orang miskin yang meminta-minta makanan
sampai mereka mengambil harta yang dapat mencukupi mereka hingga mereka tidak
lagi meminta-minta, dan bagian bagi orang-orang Islam yang terpenjara yang
tidak lagi memiliki saudara satu pun, dan bagian bagi orang-orang miskin yang
selalu mendatangi masjid yang tidak ada pemberian dan jatah bagi mereka tapi
mereka tidak meminta-minta, dan bagian bagi orang yang tertimpa kefakiran dan
terlilit hutang yang bukan untuk bermaksiat kepada Allah dan tidak pula tercela
agamanya, dan bagian bagi musafir yang tidak memiliki tempat tinggal dan
keluarga, maka ia perlu diberikan tempat tinggal dan makanan sampai ia
mendapatkan rumah untuk kebutuhan hidupnya”.[18]
Demikian
besarnya perhatian para khalifah terhadap masalah zakat di masa keemasan
pemerintahan Islam sehingga mampu menciptakan ekonomi yang sehat dan mampu
menciptakan keadilan sosial bagi seluruh umat serta mampu mensejahterakan hidup
mereka, sehingga apa yang dilakukan mereka merupakan acuan dan pijakan dalam
sistem zakat untuk generasi berikutnya. Terlebih untuk zaman sekarang, sejarah
mereka merupakan cermin untuk melihat realita sekarang dan ke depan, karena
tidaklah suatu kaum menjadi baik kecuali mengikuti kebaikan para pendahulunya,
ma shaluha bihi qaum illa bima shaluha bihi awwaluhu.
D.
Zakat Sebagai Solusi Kesejahteraan Umat Islam Indonesia
Peningkatan
kesejahteran umat Islam Indonesia melalui zakat merupakan hal yang bisa
terwujud, terlebih sistem dan peraturan zakat di Indonesia semakin berbenah dan
bertambah baik tiap masanya. Terutama pasca dikeluarkannya UU No. 38 Tahun 1999
tentang pengelolaan zakat, lembaga-lembaga zakat pun banyak bermunculan.
Manajemen dan jaringan lembaga-lembaga itu diperbaiki dan semakin baik sehingga
dapat menjadi suatu gerakan tersendiri bagi pemberdayaan ekonomi umat.
Sebagai contoh di Indonesia terdapat Badan Amil Zakat Nasional (disingkat BAZNAS) adalah lembaga yang melakukan
pengelolaan zakat secara nasional. BAZNAS merupakan lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada presiden melalui menteri
agama. BAZNAS memiliki visi “Menjadi Badan Zakat Nasional yang Amanah, Transparan dan
Profesional.” Dalam mewujudkan visinya
tersebut, BAZNAS telah tersebar di semua provinsi negara Indonesia, tersebar di
setiap kota dalam provinsi tersebut. Untuk memudahkan kinerja, BAZNAS sendiri
membentuk Unit Pengumpul Zakat (disingkat UPZ) adalah
satuan organisasi yang dibentuk oleh BAZNAS untuk membantu pengumpulan zakat.
Hasil pengumpulan zakat oleh UPZ wajib disetorkan ke BAZNAS, BAZNAS provinsi
atau BAZNAS kabupaten/kota. UPZ ini bekerjasama dengan lembaga-lembaga pemerintah,
swasta, lembaga dakwah, masjid-masjid dan majlis
taklim serta perusahaan-perusahaan di Indonesia.[19]
Selain BAZNAS yang telah diakui
negara atau ditjen pajak, ada lagi 15 lembaga amil zakat (LAZ), dan 3 Lembaga
amil zakat, infaq, dan shadaqah (LAZIS) yang sudah diakui. Sebagai rinciannya
sebagai berikut: LAZ Dompet Dhuafa, LAZ Yayasan Amanah Takaful, LAZ PKPU, LAZ
Baitulmaal Muamalat, LAZ Yayasan Dana Sosial Al Falah, LAZ Baitul Maal
Hidayatullah, LAZ Persatuan Islam, LAZ Yayasan Baitul Mal Umat Islam PT BNI,
LAZ Yayasan Bangun Sejahtera Mitra Umat, LAZ Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia,
LAZ Yayasan Baitul Mal BRI, LAZ Yayasan Baitul Mal Wat Tamwil, LAZ Baituzzakah
Pertamina, LAZ Dompet Peduli Umat Darut Tauhid (DUDT), LAZ Yayasan Rumah Zakat Indonesia,
LAZIS Muhammadiyah, LAZIS NU, LAZIS IPHI (Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia).
Seperti yang disampaikan Hatta
Rajasa Menko
Perekonomian RI,
Dalam konteks Indonesia,
potensi zakat sangat luar biasa. Berdasarkan riset Badan Amil Zakat Nasional
(Baznas) dan Institut Pertanian Bogor (IPB), potensi zakat di Indonesia pada
tahun 2011 mencapai Rp217 triliun, yakni Rp117 triliun dari rumah tangga dan
Rp100 triliun dari perusahaan milik muslim. Jumlah itu akan mencapai empat kali
lipat atau Rp868 triliun bila infak, sedekah, dan wakaf juga tergarap dengan
baik. Melihat angka tersebut, tentu
potensi zakat bisa menjadi modal penggerak ekonomi umat. Karena, selain
didistribusikan secara langsung kepada kaum muslimin, dana zakat juga bisa
dikelola sebagai bahan investasi.
Sebagai perbandingan, potensi dana zakat yang
ada di Indonesia ini, hampir setara dengan rencana APBN-P 2011 untuk sektor
subsidi. Secara umum, pemerintah mengajukan APBN-P untuk berbagai macam subsidi
sebesar 237 triliun (14%). Sementara angka potensi zakat kita sebesar Rp217
triliun. Seandainya potensi zakat ini bisa dikelola dengan benar, bayangkan
dampak ekonominya bagi permbangunan umat.[20]
Dengan
adanya lembaga-lembaga zakat tersebut, pemberdayaan zakat untuk kesejahteraan
umat Indonesia bisa terwujud selama ada kerjasama yang baik antar
lembaga-lembaga tersebut. Terlebih, ketika mereka lebih aktif dalam melakukan
kerjasama dengan lembaga-lembaga dan organisasi Islam serta masjid-masjid dan
majlis taklim. Demikian karena, yang mendorong orang untuk mengeluarkan zakat
adalah keimanan, dan tempat-tempat penempa keimanan itu di masjid-masjid dan
majlis taklim. Dalam arti, dengan diterangkannya masalah zakat; antara al-targhib
wa al-tarhib, di masjid dan majlis taklim, diharapkan tumbuh
keimanan seseorang sehingga ia terdorong mnegeluarkan zakat karena iman bukan
paksaan. Dengan begitu, penyuluhan-penyuluhan yang aktif dari lembaga-lembaga
zakat dengan kerjasama dengan masjid, majlis taklim serta organisasi Islam akan
mampu mengoptimalkan zakat masyarakat. Intinya, amil zakat harus lebih aktif
dan kreatif dalam penyuluhan dan menjemput zakat.
Sebenarnya,
syariat zakat di dalam Islam mengisyaratkan kepada setiap muslim agar menjadi
orang-orang kaya dan menjauhkan diri dari kemiskinan. Bagaimana tidak, karena
nisab harta sendiri dalam setahun harus mencapai 20 dinar atau sekira 40-50
juta,ini berarti bahwa setiap muslim diharapkan mampu berpenghasilan atau
memiliki tabungan dalam setahunnya minimal 50 juta supaya ia mampu membantu
orang lain. Kalau setiap muslim telah mempunyai kesadaran seperti ini; lewat
penyuluhan dan penjelasan dari lembaga zakat dan masjid-masjid, maka bukan
tidak mungkin jumlah muzakki di Indonesia akan bertambah, dan zakat akan mampu menjadi salah saatu
solusi dalam meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan umat Islam Indonesia.
Adapun
menurut Yusuf al-Qardlawi, terdapat beberapa syarat agar lembaga-lembaga zakat
dapat berhasil dalam mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan umat,
diantaranya:
1.
Memahami
Secara Luas Tentang Kaidah Kewajiban Zakat (توسيع قاعدة إيجاب الزكاة)
أن كل مال نام يكون وعاء أو مصدرا للزكاة، ولو لم ينص النبي صلى الله
عليه وسلم على وجوب الأخذ منه بذاته، فيكفينا أنه يدخل في العمومات القرأنية
والنبوية.
Bahwa setiap harta yang berkembang merupakan wadah atau sumber daya
zakat, meskipun dalam hal tersebut tidak terdapat nash nabi tentang kewajiban membayar
zakat pada harta tersebut, tetapi hal tersebut tidak menafikan itu, karena
nash-nash al-Qur’an bersifat umum. Hal ini sebagaimana firman Allah:
والذين في أموالهم حق معلوم (المعارج : 24)
“Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia
bagian tertentu”(QS. Al-Ma’arij:24)
خذ من أموالهم صدقة (التوبة : 103)
“ambillah shadaqah (zakat) dari sebagian harta mereka”. (QS. Attaubah: 103)
وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : "أعلمهم أن الله افترض
عليهم في أموالهم صدقة ، تؤخذ من أغنيائهم فترد على فقرائهم". وقوله :
"أدوا زكاة أموالكم".
Rasulullah saw bersabda,: “Beritahukan kepada mereka bahwa Allah
mewajibkan atas mereka shadaqah dalam harta mereka, yang diambil dari orang-orang
kaya dan diberikan kepada orang-orang fakir diantara mereka”. Dan
sabdanya,: “Tunaikanlah zakat harta kalian”.
Dari kaidah tersebut, ia berijtihad di dalam Fiqih al-Zakah,
bahwa harta atau pemasukan yang mencapai nisab sebagaimana nisab emas dan
perak, atau juga seperti nisab zakat pertanian, maka bisa dikategorikan harta
wajib zakat. Dengan pandangan seperti ini, ia memasukkan harta wajib zakat baru
(kontemporer) sesuai perkembangan zaman seperti zakat madu, hewan ungas, hasil
laut, hasil tambang, hasil properti, perusahaan, pabrik, profesi, saham dan
obligasi.[21]
2.
Pengumpulan
Harta Zakat Secara Menyeluruh تحصيل
زكاة الأموال ظاهرة وباطنة
Jumhur ulama bersepakat bahwa pengambilan dan pembagian zakat
kepada para mustahik hendaknya ditangani oleh Ulil Amri (pemerintah atau
lembaga zakat) tidak bersifat individu. Hal ini sebagaimana riwayat bahwa Nabi saw
mengutus utusan dan para amil untuk mengumpulkan zakat. Karenanya, ketika masa
Abu Bakar al-Shiddiq, ada kabilah Arab yang tidak mau membayar zakat
sebagaimana yang pernah mereka bayarkan pada masa Rasulullah saw, ia berkata: “Demi
Allah, seandainya mereka menolak membayar ‘iqal yang mereka bayarkan kepada Rasulullah
saw, pastinya aku akan memerangi mereka karenanya”. [22]
Berkata Imam al-Razi mengenai surat al-Taubah 60, ayat ini
menunjukkan bahwa yang mengumpulkan dan membagikan zakat adalah pemimpin
(pemerintah atau lebaga zakat). Demikian karena, dalam ayat tersebut Allah
memberi bagian zakat kepada ‘amil, hal ini menunjukkan bahwa dalam melaksanakan
zakat dibutuhkan seorang ‘amil yaitu orang yang ditugaskan untuk mengambil
zakat. [23]
Meskipun demikian ada pendapat ulama yang menyatakan bahwa bolehnya
bagi seorang muzakki menyerahkan
zakatnya lewat pemerintah atau ia bagi sendiri dengan syarat ia harus bertakwa,
dan menyerahkan kepada yang berhak menerimanya.[24]
3.
Manajemen
yang Baik حسن الإدارة
Supaya zakat dapat tersalurkan dengan baik maka perlu adanya
manajemen pengelolaan zakat yang baik serta tepat dalam penyalurannya. Dalam
arti, penyaluran zakat mampu mengatasi masalah ekonomi dan mampu menciptakan
kesejahteraan umat Islam. Oleh karena itu perlu langkah-langkah terstruktur
rapi supaya zakat tersebut optimal dalam penyalurannya yang tepat. Menurut Yusuf
al-Qardlawi, manajemen yang baik meliputi dua hal yaitu, pertama, memilih amil
zakat yang baik; muslim, mampu, berilmu, dan amanah dan kedua, memperhatikan kemudahan
dan kehati-hatian dalam pengelolaan harta [25]
4.
Penyaluran
Zakat yang Baik
Pembagian atau penyaluran yang baik maksudnya supaya pembagian
zakat tepat sasaran; diberikan kepada yang berhak menerimanya bukan kepada orang
yang sudah mampu ekonomi (kaya).[26]
Al-Qur’an
telah menjelaskan siapa saja yang berhak menerima zakat sebagaimana di dalam
surat Attaubah ayat 60, Allah berfirman:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ
وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ
وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللهِ
وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk
orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf
yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang,
untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”(QS. Attaubah: 60)
Dari
8 golongan yang berhak menerima zakat tersebut (mustahik), maka bisa
dikatakan bahwa zakat disyariatkan untuk memenuhi kebutuhan fakir miskin, ibnu
sabil, dan orang-orang yang terlilit hutang, untuk menciptakan kemaslahatan
bagi umat Islam keseluruhan seperti pembiayaan jihad, melembutkan hati bagi
orang yang baru masuk Islam, dan untuk menjaga hubungan sosial yang baik di
antara orang Islam.[27]
Sebab
tujuan utama zakat sebenarnya bukan hanya memberi bahan makanan atau uang,
tetapi lebih dari itu, zakat bertujuan untuk memberi kehidupan yang lebih layak
dan lebih baik dari sebelumnya.[28] Seperti
kata Umar bin Khattab “idza a’thaitum fa aghnuhum”. Dengan begitu zakat
diharapkan akan mampu menciptakan keadilan sosial bagi umat Islam Indonesia, dan
hal ini selaras degnan sila kelima dalam pancasila; keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Disamping
itu, sebagian ulama berijtihad bahwa zakat boleh juga diberikan kepada para
pencari ilmu, orang fakir yang inggin menikah tetapi terkendala dana, atau juga
orang yang tertimpa bencana sebagaimana yang telah disebutkan pada halaman
sebelumnya (praktik zakat dari masa ke masa). Sependapat dengan ini, Yusuf al-Qardlawi
mengatakan, harta zakat bisa disalurkan kepada orang yang hendak menikah tapi
miskin dan juga sebagai biaya bagi orang yang menuntut ilmu baik ilmu agama
ataupun dunia. [29]
Selain
faktor diatas, menurut al-Qardlawi dalam mensukseskan zakat sebagai solusi
kesejahteraan umat Islam, hal lain yang tidak kalah pentinganya dalam mendukung
keberhasilan zakat adalah terwujudnya masyarakat yang melaksanakan
perintah-perintah Allah, dan menjauhi larangan-laranganNya. Sebab, zakat tidak
akan mampu menjadi solusi apa-apa bagi masyarakat yang tidak melaksanakan
perintah Allah dan bahkan menerjang larangan Allah. Adapun yang menjadi dalil
dalam pernyataan ini adalah bahwa Allah ketika menyuruh kita membayar zakat
selalu diiringi dengan perintah melaksanakan shalat, atau kewajiban yang lain. Bahkan
di dalam al-Qur’an, Allah menggabungkan antara perintah shalat dan zakat
sebanyak 28 kali.[30] Karenanya,
hal tersebut mengisyaratkan bahwa zakat tidak akan berhasil menjadi solusi
kesejahteraan umat, kalau umat tersebut meninggalkan shalat dan mengikuti
syahawat. Sebagaimana firman Allah:
وأقيموا الصلاة وأتوا الزكاة (البقرة : 43)
“Dan dirikanlah
shalat dan tunaikanlah zakat”.
(QS. Al-baqarah: 43)
Begitu
pula, zakat tidak akan berhasil menjadi solusi kesejahteraan masyarakat apabila
masyarakatnya berdiam diri dari perbuatan keji dan munkar, tidak beramar ma’ruf
dan nahi munkar. Hal ini sebagaimana firman Allah :
والمؤمنون والمؤمنات بعضهم أولياء بعض يأمرون بالمعروف وينهون عن
المنكر ويقيمون الصلاة ويؤتون الزكاة ويطيعون الله ورسوله
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan
perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang
lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. (QS. Attaubah: 71)
Demikian
karena, kewajiban di dalam Islam saling terkait dan melengkapi, tidak berdiri
masing-masing, tetapi setiap kewajiban tersebut mempunyai pengaruh dalam
kehidupan pribadi, dan masyarakat.[31]
E.
KESIMPULAN
Dari
penjelasan tentang zakat dan perannya dalam mensejahterakan umat Islam di atas,
dapat disimpulkan dalam beberapa point sebagai berikut:
1.
Zakat
adalah kewajiban agama yang bersandar pada Al-Qur’an dan hadist Rasulullah saw,
dan menjadi salah satu rukun Islam yang harus diamalkan oleh setiap muslim.
2.
Pada
hakikatnya, orang yang mengeluarkan zakat berarti ia telah bersyukur atas
nikmat harta yang Allah berikan kepadanya, dan juga dengan zakat itu ia terjaga
dari bencana atau musibah baik di dunia maupun di akhirat. Demikian karena,
selain terdapat nash yang memerintahkan zakat juga diiringi dengan adanya nash targhib
wa tarhib dalam zakat.
3.
Zakat
telah dipraktikan pada masa Rasulullah saw dengan mengirim para amil untuk
mengambil zakat orang-orang kaya untuk kemudian disalurkan kepada orang-orang
fakir dan miskin. Dan hal ini berlanjut pada masa sesudahnya, seperti masa Abu
Bakar, Umar, Ustman dan Ali. Dan terjadi perkembangan dengan pesat ketika masa
khalifah Umar bin Abdul Aziz. Bahkan dalam pemerintahannya telah diatur
perundang-undangan mengenai masalah zakat dengan sangat baik.
4.
Zakat
akan mampu menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan ekonomi dan
kesejahteraan umat apabila ada kerjasama dan perbaduan visi dan misi diantara lembaga
zakat di Indonesia yang bekerja secara profesional dan transparan. Dengan
begitu zakat akan mampu menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5.
Diantara
syarat kesuksesan zakat dalam mengatasi masalah kesejahteraan adalah memahami secara luas tentang kaidah kewajiban
zakat, Pengumpulan harta zakat secara menyeluruh, manajemen dan penyaluran
zakat yang baik. Disamping itu, hal lain yang lebih penting adalah perpaduan
antara moral dan spiritual ibadah suatu masyarakat dan muzakki. Dalam arti,
ketika masyarakat rajin beribadah kepada Allah dan beramar makruf nahi munkar
maka zakat akan mampu menjadi solusi ampuh untuk kesejahteraan umat, tetapi
jika tidak , maka hal tersebut akan sia-sia. Karena kewajiban di dalam agama Islam
saling berkaitan antara satu sama lainnya, tidak bisa terpisahkan. Wallahu
a’lam bisshawab.
SEMOGA BERMANFAAT
F.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
al-Karim dan Terjemah
Al-Asqalani,
Ahmad Ibnu Hajar, Bulughu al-Maram min Adillati al-Ahkam,(Riaydl: Dar
al-Falaq, cet. 7. 1424).
Al-Mawardi, Abu Hasan Ali bin Muhamma, al-Hawi fi Fiqh
al-Syafi’i, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Cet.1,19994 M)
Al-Qardlawi, Yusuf, Dr., Daur al-zakah fi ‘ilaj al-Musykilat
al-Iqtishadiyah,(Beirut: Dar Al-Syuruq).
....................,Yusuf, Dr., Fiqh al-Zakah, Beirut:
Muassasah al-Risalah, 1973.
Al-Razi,
Fakhruddin Muhammad bin Umar, Mafatih al-Ghaib, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,
Cet. 1, 2000.
Al-Tarmasi,
Muhammad Mahfuzh, Hasyiah al-Tarmasi,(Riyadl: Dar al-Minhaj. Cet. 1.
2011).
Azzah
al-Muttaqi al-Hindi, Kanzu al-‘Ummal.
Mas’udi, Masdar Farid Ali, Manhaj al-Aslamah Limizaniyati
al-Daulah bi Wasilati al-Tajdid fi Mafhumi al-Zakah, (Jakarta: Ma’had
Cililitan)
Panduan Zakat Dompet Dhuafa,.h.8
[1] Dr. Yusuf
qardlawi, Daur al-zakah fi ‘ilaj al-Musykilat al-Iqtishadiyah,(Beirut:
Dar Al-Syuruq). h.7
[2]Ibid.,h. 27
[3] Panduan
Zakat Dompet Dhuafa,.h.8
[4] Syaikh
Muhammad Mahfuzh al-Tarmasi, Hasyiah al-Tarmasi,(Riyadl: Dar al-Minhaj.
Cet. 1. 2011). H.5/6
[5] Ibid.,h.5/6
[6] Abu Hasan Ali
bin Muhammad al-Mawardi, al-Hawi fi Fiqh al-Syafi’i, (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyah. Cet.1,19994 M).,h. 3/71
[7] Syaikh Muhammad
Mahfuzh al-Tarmasi, Hasyiah al-Tarmasi, Op.cit.,,H.5/7
[8] Shohih bukhori
[9] Masdar Farid
Ali Mas’udi, Manhaj al-Aslamah Limizaniyati al-Daulah bi Wasilati al-Tajdid
fi Mafhumi al-Zakah, (Jakarta: Ma’had Cililitan). H. 31
[10]Orang miskin yang tidak mendapat bagian Maksudnya ialah orang
miskin yang tidak meminta-minta.
[11] Dijelaskan
di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah tentang ancaman bagi orang-orang yang tidak
mengeluarkan zakat hartanya jika sudah mencapai syarat wajib zakat. Sebagaimana
firman Allah, “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa
mereka akan mendapat) siksa yang pedih,pada hari dipanaskan emas perak itu
dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung
mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu
simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang
kamu simpan itu."(QS. Attaubah: 34-35)
Juga ditegaskan oleh sabda Rasulullah saw, dari Abu Hurairah
bahwa Rasulullah Shallallahu wa'alaihi wa sallam bersabda: "Tidaklah
pemilik barang simpanan yang tidak menunaikan haknya kecuali Allah
menjadikannya pada Hari Kiamat dipanaskan barang simpanan tersebut dalam neraka
jahannam, lalu dibakar dengannya dahinya, lambung dan punggungnya, hingga Allah
memberikan keputusan diantara para hambaNya pada hari yang kadarnya adalah lima
puluh ribu tahun menurut perhitungan kalian, kemudian ia akan melihat jalannya,
ke Surga atau ke Neraka. Dan tidaklah pemilik kambing yang tidak menunaikan
haknya melainkan kambing tersebut akan datang pada Hari Kiamat lebih banyak
daripada dahulunya dan pemiliknya di dudukkan di hadapannya pada tanah terbuka
yang datar, kambing tersebut menanduknya dengan tanduknya dan menginjaknya
dengan sepatu-sepatunya, tidak ada padanya kambing yang bertanduk bengkok serta
yang tidak bertanduk. Setiap kali kambing yang terakhir selesai maka kambing
yang pertama dikembalikan lagi, hingga Allah memberikan keputusan diantara para
hambaNya pada hari yang kadarnya adalah lima puluh ribu tahun menurut
perhitungan kalian. Kemudian ia akan melihat jalannya, ke Surga atau ke Neraka.
Dan tidaklah pemilik unta yang tidak menunaikan haknya melainkan unta tersebut
akan datang pada Hari Kiamat lebih banyak daripada dahulunya dan orang tersebut
didudukkan di hadapannya pada tanah terbuka yang datar, unta tersebut
menginjaknya dengan sepatunya. Setiap kali unta yang terakhir selesai maka unta
yang pertama dikembalikan kepadanya hingga Allah ta'ala memberikan keputusan
diantara para hambaNya pada hari kadarnya adalah lima puluh ribu tahun menurut
perhitungan kalian. Kemudian ia akan melihat jalannya, ke Surga atau ke
Neraka." Sunan Abu Dawud. No. 1414
[12] Ibid.,h.
5/6-7
[13] Ahmad Ibnu
Hajar al-‘Asqalani, Bulughu al-Maram min Adillati al-Ahkam,(Riaydl: Dar
al-Falaq, cet. 7. 1424). H. 1/169
[14] Azzah
al-Muttaqi al-Hindi, Kanzu al-‘Ummal,no. 16838, Syaikh Muhammad Mahfuzh
al-Tarmasi, Hasyiah al-Tarmasi, Op.cit.,h.5/8
[15] Yusuf
al-Qardlawi, Daur al-zakah, Op.cit.,h. 36
[16] Ibid.,h. 31
[17]Ibid.,h. 27
[18] Al-amwal, h.
578-580
[19] http://pusat.baznas.go.id/
[21] Yusuf al-Qardlawi,
Fiqh al-Zakah, Beirut: Muassasah al-Risalah, cet. 2, 1973. H. 1/122
[22] Ibid.
H. 67
[23] Fakhruddin
Muhammad bin Umar al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,
Cet. 1, 2000. H. 16/80
[24] Yusuf
al-Qardlawi, daur al-zakat, Op.cit.,,h.70
[25] Ibid.,h.
75
[27] Ibid.,,
h. 61
[28] Ibid.,h.30
[29] Ibid.,h.28
[30] Ibid.,h.93
[31] Ibid.,h.
94
Tidak ada komentar:
Posting Komentar