Hijrah Cinta
Bulan Muharram merupakan bulan yang dimuliakan dalam Islam. Bulan yang
menyimpan banyak peristiwa agung dalam sejarah peradaban manusia. Terutama peristiwa
yang sangat monumental bagi umat Islam di seluruh dunia yaitu hijrah Rasulullah
saw dari Makkah ke Madinah.
Hijrah Rasulullah saw bukanlah perjalanan untuk kesenangan, atau
untuk merilexsasi diri, tetapi hijrah Rasulullah saw adalah perjalanan keiimanan,
pengorbanan dan kesabaran. Ialah titik tolak perubahan, dari kejahiliyahan
kepada cahaya Allah, dari kebodohan kepada peradaban agung yang berpondasikan
moral dan spiritual yang terbukti mampu memimpin dunia selama berabad-abad.
Ketika umat Islam di Makkah mendapat ujian dan siksaan bertubi-tubi,
bahkan hal tersebut tidak hanya menimpa para sahabat, tetapi manusia agung, Rasulullah
saw juga merasakan. Dengan sangat terencana, Rasulullah saw terus mendakwahkan Islam
tanpa kenal henti dan lelah. Hingga berkumpul di bukit Aqabah di tengah
kegelapan malam yang pekat, mereka
membaiat Rasulullah saw untuk setia, taat, melindungi dan menolongnya demi
agama Allah yang suci. Hijrah ke Madinah menjadi solusi terbaik, agar tidak ada
lagi siksaan dan cobaan terus menerpa para sahabat dan juga Rasulullah saw.
Lebih dari itu, hijrah adalah pelajaran cinta dan keikhlasan
sejati. Cinta yang telah mendarah daging dan menyumsung tulang, cinta yang
tertanam jauh di palung hati terdalam, ya.. cinta mereka akan Rasulullah saw,
cinta mereka akan agama Islam, dan cinta mereka akan Allah swt. Karena cinta
inilah mereka hijrah; meninggalkan keluarga, harta benda, emas permata, rumah dan
seisinya ke Yastrib, Madinah karena hanya berharap ridha Allah swt.
Karena cintanya kepada Rasulullah saw, sayyidina Ali bin Abi Thalib
rela menggantikan Rasulullah saw untuk menempati tempat tidurnya agar beliau bisa
hijrah, meskipun para musyrikin telah bersiap menghembuskan pedang untuk
membunuhnya. Begitu juga sayyidina Abu Bakar, yang sangat tulus cintanya untuk
menemani Rasulullah saw berhari-hari menempuh perjalanan yang jauh; dari Makkah
ke Madinah, ia bawa semua hartanya sebagai bekal untuk hijrah tanpa sedikitpun
yang ia tinggalkan untuk anaknya Asma’.
Dalam hijrah, ia terus merasa khawatir dengan keamanan Rasulullah,
maka ia terkadang berjalan di depan, di belakang, di kanan, di kiri untuk terus
melindungi Rasulullah saw. Lebih dari itu, ketika ia dan Rasulullah saw
memasuki gua, ia terus melindungi Rasulullah, ia bangun untuk menjaga Rasulullah
yang sedang tidur, bahkan ia jadikan tangannya untuk menutup lubang yang
karenanya ia tersengat racun binatang yang ada di dalam lubang tersebut, hingga
air matanya tak tertahankan lagi menetesi tubuh Rasulullah saw yang suci dan
membangunkannya. Diusaplah tangannya oleh Rasulullah saw dan sembuh kembali
seperti sedia kala. Sungguh sangat beruntung Abu Bakar, hanya ia yang dipilih
Allah untuk menemani Rasulullah saw hijrah ke Madinah. Menemani manusia agung
yang penuh berkah berhari-hari dengan cinta dan ketulusan yang tiada
bandingnya.
Di Madinah, rindu para sahabat kepada Rasulullah saw tambah hari
tambah memuncak, cinta mereka semakin subur dan berkembang, bahkan kokohnya
gunung dan tegarnya karang akan hancur oleh cintanya, ya....cinta mereka
membawa mereka untuk terus menanti kehadiran Rasulullah saw, kekhawatiran
mereka akan keselamatan Rasulullah melebihi kekhawatiran mereka akan
keselamatan keluarganya... mereka terus pergi di setiap pagi ke perbatasan guna
menyambut kehadiran Rasulullah hingga
sore hari... mereka nanti hari demi hari... hingga cinta itu akhirnya bertemu,
rindu terobati...hati yang penuh cinta dan rindu akhirnya bertemu dengan sang
kekasih, sang manusia agung, Rasulullah saw...kebahagian meluap-luap...nyanyian
cinta dan shalawat terus berkumandang, berirama menyambut sang kekasih, Rasulullah
saw.
طلع البدر علينا من ثنية الوداع
وجب الشكر علينا ما دعا لله داع
أيها المبعوث فينا قد عززنا بارتفاع
وأتانا الفخر لما جئت بالأمر المطاع
كن شفيعنا جميعا يوم حشر واجتماع
وصلاة الله دواما للنبي شمس البقاع
وكذا آل وصحب ما سعى لله ساع
Inilah hijrah, inilah cinta....hijrah dari cinta berhala kepada
Allah, hijrah dari cinta dunia kepada akhirat, hijrah dari cinta semu kepada
cinta sejati, cinta Allah SWT dan Rasulullah SAW, cinta yang akan abadi dan
bermuara di syurga. Amin Ya Rabbi..Allahumma shalli wa sallim ‘ala sayyidina
wa maulana wa habibana Muhammad shalatan wa salaman daimain........ukhibbuka ya
rasulullah saw.....ya habiballah.... ya nabiyallah...ya nurallah...ya
nurallah.....
Alfaqir DzulKifli Amnan al-Syarafani al-Qudsy
Jum’at, 24 oktober 2014 09.03
SEMOGA BERMANFAAT
HIJRAH
BalasHapusAah.. kenang lagi. Pada semilir yang menderaikan kerudungku. Atau pada langit jingga yang menyiluet di bibir langit. Senja yang terburu, waktu tergesa hingga kita lupa ada yang tertinggal di ujung jalan sana. Ramuan doa yang menghangat di gelas cinta, belum juga kita nikmati. Dan kecup yang menggantung pada kelopak matanya. Perempuan pertamamu bersandar di pintu kayu, menatapi punggungmu yang menjauh bersama gerimis, terbawa aku.
Aah.. teringat lagi. Pada gigil yang bekukan ujung jari jemari, lantas kepalan kokohmu itu mendekapkan, menghangatkan, jalarkan cinta pada desir darahku yang mengalir. Ya, kita melaju, menuju Jakarta waktu itu. Membawa sekoper cinta dan rindu menggunung yang ku lipat dalam kardus bertali.
Senja telah kita mulai, menyusuri bangau-bangau yang beranjak pergi. Melalui rimbun pohon mahoni yang beroyot di tujuh kota yang tak sama. Tak henti kau lagukan cinta, menerangi langit yang bulan, menerabas lampion taman yang temaram. Hingga lelap. Biar aku berpagi di dadamu, karna semalam aku kelanai kota di pinggir detak jantungmu. Dan napasmu yang beralun itu jadi dendang yang menenangkan.
Kita singgah sekarang, di jalanan Jakarta yang riuh. Bising yang mengusik matahari. Kita….melangkah terengah, wajah berminyak yang pias, perut berirama nyaring, menenteng perabotan dapur yang kita bawa dari kampung sana. Masih ingatkah kau? Kuku-kukumu yang kuat, mencengkeram jari jemariku yang berkeringat basah, seolah tak peduli nyaring klakson dan debu berasap di perempatan simatupang, terus berlari.
Petak petak bersekat. Tempat kita sandarkan bahu menegang, menyelonjorkan urat urat betis yang mengeras. Hidangan cinta, segelas air dan semangkok mie kita nikmati berdua. Kau tahu, bidadari mengerling marah di pojok ruang sana. Saat bergantian sendok satu menyuap di mulutku dan mulutmu. Kau lihat, bidadari menangis patah hati saat gelas kaca mencecap di bibirku, lantas kau mulai mencari-cari sisa cecap yang menempel di ujungnya, katamu.. air ini bisa berubah jadi madu.
Terimakasih teman, telah mengijinkan kami tinggal, untuk semalam.
Subuh yang gerah, mentari yang bertengger pasi. Sepagi ini kita menjelajah, mencari batang – batang bambu yang kau ikat jadi sepetak istana, dan bilahnya yang lain kita simpan untuk nyala unggun di dapur kita.
Uhibbuki fillah, katamu desah. Kau tau?? Itu adalah sarapan yang membuatku kenyang sepanjang malam. Kau tau?? Musim yang beralih gerimis, atau angin yang membelokkan kerontang, adalah cinta yang menghangat antara kau dan aku. Semoga sakinah mengantarmu sampai syurga, menjadi imam yang baik, ayah yang bijak, bersamaku.
Lasem, 27 sept 2014
Uhibbuka fillah