Menikmati Ujian
Manusia dikatakan sebagai mahluk karena ia adalah ciptaan, yang
berarti ia memiliki pencipta. Karena tidak ada ciptaan tanpa adanya pencipta. Dan
pencipta seluruh mahluk adalah Allah swt.
Dan tidaklah Allah menciptakan mahluk tanpa ada tujuan. Penciptaan mahluk;
jin dan manusia mempunyai tujuan yaitu agar mereka beribadah kepada Allah swt. Beribadah
dalam arti tunduk dan pasrah atas segala peraturan yang telah ditetapkan-Nya baik
berupa perintah ataupun larangan. Sebagaimana firman Allah SWT:
وما خلقت الجن والإنس
إلا ليعبدون
“Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu”.
(QS. Al-Dzariyat)
Di samping itu, sebagai bentuk rahmat Allah kepada hambaNya, Allah
menjanjikan syurga kepada hambaNya yang mau beribadah kepadaNya. Tetapi untuk mendapatkan
syurga dengan ibadah tidaklah mudah, karena Allah akan memberikan ujian kepada
setiap hambaNya; untuk membedakan antara yang shalih (baik) dengan yang thalih (jahat),
antara yang beriman dengan yang kafir. Sebagaimana firman Allah :
ليبلوكم
أيكم أحسن عملا
“Untuk menguji kalian, manakah diantara kalian
yang memiliki amalan terbaik”.
Secara umum ujian yang diberikan Allah terbagi menjadi dua:
Pertama, ujian
kenikmatan. Kenikmatan yang dimaksud disini adalah kenikmatan dunia; seperti
harta kekayaan, emas permata, mutiara, kendaraan mewah, rumah, anak-anak, istri,
jabatan yang tinggi, ladang yang luas, bisnis, waktu lapang, kesehatan dan
lainnya. Pada hakikatnya, itu semua merupakan bentuk ujian dari Allah. Karenannya
dalam menghadapi ujian ini terdapat dua model manusia yaitu
Golongan pertama, manusia yang terlena dengan kenikmatan dunia
sehingga itu lupa akan hakikat tujuan utama ia berada di dunia. Ia menganggap
kekayaan dan kenikmatan yang ia dapatkan merupakan hasil jerih usahanya sendiri
tanpa ada peran Allah SWT yang memberi itu semua. Karenanya ia menganggap
materi adalah tujuan dan menjadi ‘Tuhannya’ dalam mengbdikan seluruh hidup dan
waktunya. Ia terlena, hingga melupakan ibadah kepada Allah, tidak lagi shalat,
puasa, zakat dan melakukan ibadah lainnya, ia lupa bahwa Allah lah yang
memberinya segala kenikmatan, ia lupa bahwa semua kenikmatan itu hanyalah
ujian. Sehingga ia pun lebih memilih kenikmatan yang semu, kenikmatan yang
sementara daripada kenikmatan di syurga yang kekal dan abadi. Oleh karena itu, Allah
mengingatkan orang yang beriman supaya tidak terlena dengan kenikmatan,
sebagaimana firmanNya.
ياأيها الذين أمنوا
لا تلهكم أموالكم ولا أولادكم عن ذكر الله ومن يفعل ذلك فأولئك هم الخاسرون
“Wahai orang-orang beriman, janganlah harta
dan anak-anak kalian melenakanmu dari mengingat Allah. Dan barangsiapa
melakukan itu (terlena dari mengingat Allah), maka mereka itulah orang-orang
yang rugi” (QS. Al-Taghabun )
Seperti kisah qarun, ketika ia masih miskin, ia rajin beribadah dan
menuntut ilmu kepada nabi Musa AS. Tetapi ujian kenikmatan yang diberikan
kepadanya, menjadikannya sebagai orang yang sombong bahkan tidak lagi mengingat
Allah. Karenanya Allah pun menenggelamkan dirinya dan harta-hartanya ke dalam
perut bumi. Na’udzu billah min dzalik.
Golongan kedua, mereka adalah
orang yang bersyukur atas segala kenikmatan. Ia meyakini bahwa apa yang diberikan,
merupakan karunia rizki dan rahmat Allah, oleh karena itu ia bersyukur dengan menjadikan
segala kenikmatana dunia sebagai sarana untuk beribadah, mentaati dan mendekatkan
diri kepada Allah. Dunia hanya di genggaman tangan sedang hatinya disibukkan dengan
urusan ukhrawi mengingat Allah. Ia meyakini bahwa harta hanyalah barang titipan
yang harus ia tunaikan haknya dengan infak, zakat, dan shadaqah. Bahkan semakin
banyak yang ia peroleh, semakin banyak
ia bersyukur, karena ia yakin dengan tambahan nikmat yang akan ia peroleh jika
terus bersyukur. Sebagaimana firman Allah
لئن شكرتم
لأزيدنكم ولئن كفرتم إن عذابي لشديد
“Dan jika kalian bersyukur, pasti aku akan
menambahkan ‘nikmat’ kepada kalian, dan jika kalian mengingkari ‘nikmatKu’,
sesungguhnya adzabKu sangatlah pedih”.
Kedua, ujian
kesusahan. Ujian kesusahan bisa berupa kekurangan harta benda, kemiskinan,
meninggalnya keluarga, tertimpa musibah, kelaparan, kekeringan, kebanjiran,
peperangan, kerugian usaha dan lain sebagainya. Hal ini sudah dijelaskan Allah
dalam firmanNya:
ولنبلونكم بشيء من
الخوف والجوع نقص من الأموال والأنفس والثمرات وبشر الصابرين ، الذين إذا أصابتهم
مصيبة قالوا إنا لله وإنا إليه راجعون
“dan parti kami akan menguji kalian dengan
sesuatu; baik berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta benda, kematian,
dan kekurangan buah-buahan. Dan berilah kabar gembira bagi orang orang yang
sabar; yaitu orang-orang yang ketika ditimpa musibah, mereka mengatakan
sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kami kepadaNya akan kembali”. (QS.
Al-Baqarah )
Ayat tersebut menjelaskan bahwa ujian kesusahan adalah sesuatu yang
pasti. Setiap orang akan merasakannya. Dan solusi dari itu semua adalah
bersabar dan ridha atas segala ketentuan yang telah ditetapkan Allah SWT, dengan
berkeyakinan bahwa apa yang ditentukan Allah kepada hambaNya adalah yang
terbaik untuknya.
Intinya, ujian itu ada dua; kenikmatan dan kesusahan. Dan bagi
seorang mukmin, keduanya merupakan sesuatu yang baik, bahkan merupakan sumber
pahala. Jika diuji dengan kenikamatan dan dilapangkan dunia untuknya ia
bersyukur dengan menambah ketaatan dan ibadah kepada Allah. Sebaliknya, jika
diuji dengan kesusahan, ia bersabar atas itu semua dan ridha akan ketetapan
Allah sehingga hal tersebut tidak membuatnya berputus asa dari rahmat-Nya dan
tidak mengingkari nikmat-Nya. Karenanya, syukur dan sabar adalah cara untuk
menikmati ujian Allah SWT. Sebagaimana disabdakan Rasulullah saw:
عن عبد الرحمن
بن أبي ليلى، عن صهيب، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «عجبا لأمر المؤمن،
إن أمره كله خير، وليس ذاك لأحد إلا للمؤمن، إن أصابته سراء شكر، فكان خيرا له،
وإن أصابته ضراء، صبر فكان خيرا له»
Dari abdurrahman bin abi laila, dari shuhaib berkata, Rasulullah saw
bersabda: “Aku heran pada perkara seorang mukmin, dan tidak ada seperti itu
kecuali hanya bagi orang mukmin; jika diberi kenikmatan (kesenangan) ia
bersyukur, dan itu menjadi kebaikan baginay. Dan jika ditimpa musibah, ia
bersabar, dan itupun menjadi kebaikan baginya.”. (HR. Muslim)[1]
Semoga Allah SWT berkenan menjadikan kita semua sebagai hamba-Nya
yang senantiasa bersyukur dan bersabar. Sehingga dengan rahmatNya, Allah
berkenan memasukkan kita semua ke dalam syurgaNya yang kekal dan abadi. wallahu
al-muwaffiq ila aqwami al-thariq, wa shallallahu ‘ala sayyidina muhammad alfa
alfi shalatin wa salamin walhamdulillahi rabbi al-‘alamin.
Semoga Bermanfaat
Penulis: Al-faqir ila ridha rabbihi wa aqallu al-wara fi ardli
al-jawa wa la syai’a lahu fi al-haqiqah dzulkifli amnan al-syarafani al-qudsyi
al-jawi
Setelah adzan zhuhur, Bekasi, Ahad 20 April 2014.
[1] Muslim
bin al-Hajjaj abu al-hasan al-qusyairi al-Naisaburi (w. 261H), Shahih
Muslim, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi. ) hal. 4/2295. No. 2999.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar