Fenomena Maraknya Pemberian,
Apakah Masuk Kategori Hadiah Atau Suap
Pemberian dalam bahasa arab disebut Hibah, adapun hibah menurut
syariat adalah akad memberikan
kepemilikan suatu barang kepada orang lain saat masih hidup tanpa ganti tertentu.[1]
Islam mengajarkan seseorang untuk saling memberi dan memberikan
penghormatan bagi orang yang suka memberi. Banyak sekalli hadis rosulullah saw
dalam hal tersebut diantaranya
وَعَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ:
«تَهَادَوْا تَحَابُّوا» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي الْأَدَبِ الْمُفْرَدِ،
وَأَبُو يَعْلَى بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ
Dari
abu hurairah dari Nabi saw bersabda : saling memberilah kalian, niscaya
kalian akan saling mencintai.’
“tangan
diatas lebih baik daripada tangan dibawah.”
Begitu
juga islam tidak memandang besar kecilnya pemberian yang diberikan seseorang
kepada orang lain dan tidak pula meremehkannya meskipun itu tidak seberapa. Karena
hal yang demikian mampu menumbuhkan rasa cinta dan sayang dan simpati kepada
sesama. Sebagaimana sabda rosulullah saw :
وَعَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: «قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ -: يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ، لَا تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا،
وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari
sini jelas bahwa tujuan utama pemberian adalah supaya tumbuh rasa saling
mencintai dan saling menyanyangi antar sesama. Adapun kalau tujuan utamanya
adalah ketamakan supaya mendapatkan sesuatu yang lebih dari pemberiannya yang diberikan kepada
orang lain maka hal ini
tercela.sebagaimana pendapat imam son’ani dalam subulus salam. [2]
Berkata imam khottobi: sebagian ulama
mengelompokan manusia dalam hal memberi pada tiga tingkatan :
1.
pemberiaan seseorang kepada bawahannya seperti pembantunya, sebagai bentuk
penghormatan dan kelembutan kepadanya. Yang demikian itu tidak meminta balasan.
2.
pemberian anak kecil kepada orang besar, meminta bantuan dan pertolongan, yang
demikian hukum membalas adalah wajib
3.
pemberian seseorang kepada orang lain, atau pemberian teman kepada temannya.
Pada umumnya yang demikian akan memunculkan rasa cinta dan kedekatan. Adapun
jika yang memberi pemberian mensyaratkan balasan maka itu lumrah (lazim). ـ[3]
PEMBERIAN,
HADIAH ATAU SUAP
وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ - رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ - عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ:
«مَنْ شَفَعَ لِأَخِيهِ شَفَاعَةً، فَأَهْدَى لَهُ هَدِيَّةً، فَقَبِلَهَا، فَقَدْ
أَتَى بَابًا عَظِيمًا مِنْ أَبْوَابِ الرِّبَا» رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُد،
“dari
abu umamah, meriwayatkan dari nabi saw bersabda: “barangsiapa yang meminta
pertolongan kepada saudaranya, lalu ia memberinya hadiah dan diterima, maka
sungguh ia telah mendatangi pintu besar dari pintu-pintu riba.”
Hadis ini menjelaskan bahwa haramnya hadiah
yang ditujukan untuk meminta bantuan (pertolongan). Baik itu dengan maksud
sengaja ataupun tidak.maka hal ini masuk dalam kategori riba karena
mengharapkan tambahan dari orang lain tanpa adanya ganti. Imam shon’ani menjelaskan syafaah (bantuan) dalam
hadis ini sebagai berikut:
“Apabila bantuan itu pada sesuatu yang wajib
seperti meminta pertolongan kepada raja untuk menyelamatkan orang yang
terdlolimi, atau meminta pertolongan pada sesuatu yang haram seperti menjadikan
orang yang dlolim sebagai pemimpin bagi rakyatnya, maka yang pertama wajib
memberikan pertolongan tetapi mengambil hadiah sebagai ganti hal tersebut
adalah haram. Adapun yang kedua memberikan pertolongan tersebut haram, begitu
juga mengambil hadiah dari hal tersebut hukumnya haram.
Adapun
jika meminta pertolongannya pada hal yang mubah (diperbolehkan) maka kemungkinan
boleh mengambil hadiah sebagai bentuk balasan amal kebaikan yang tidak wajib.
Tapi bisa saja hukumnya haram karena memberi bantuan adalah hal yang mudah yang
tidak butuh balasan.” Wallahu a’lam.[4]
Begitu juga orang yang berhutang kemudian
ketika membayar hutang ia menambahkannya hadiah, dalam masalah ini kalau ia
sudah terbiasa melakukannya dan sebagai ungkapan terima kasih karena sudah
ditolong maka hadiah tersebut boleh diambil. Tapi jika hal tersebut adalah
syarat dari orang yang menghutangi maka yang demikian haram karena itu riba.
Adapun risywah atau suap adalah haram
sebagaimana dijelaskan alqur’an dan sunnah maupun ijma’.
وَقَدْ قَالَ تَعَالَى: {وَلا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى
الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنْتُمْ
تَعْلَمُونَ} [البقرة: 188]
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: «لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي الْحُكْمِ» . رَوَاهُ أَحْمَدُ
وَالْأَرْبَعَةُ، وَحَسَّنَهُ التِّرْمِذِيُّ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ.
Sungguh indah sekali penjelasan imam shon’ani
dalam menjelaskan hadis ini di dalam subulus salam, sebagai berikut: [5]
“Sebagai
kesimpulan, bahwa harta yang diambil hakim (qodli) ada empat macam yaitu suap,
hadiah, gaji, dan rizki.
Yang
pertama Risywah (suap). Jiwa harta suap itu
digunakan supaya hakim memutuskan baginya tanpa kebenaran, maka yang demikian
haram bagi orang yang memberi dan penerima.
Dan jika harta suap digunakan supaya hakim memutuskan baginya dengan
kebenaran atas lawannya maka harta suap itu haram bagi hakim tetapi tidak bagi
yang memberi. Karena harta itu untuk
mendapatkankan kembali haqnya, hal ini seperti gaji menyewa wakil untuk
menyelesaikan sengketa. Ada yang mengatakan hal itu tetap haram, karena
menjerusmuskan hakim ke dalam dosa.
Yang
kedua, Hadiah, jika harta atau hadiah itu
diberikan kepada hakim sebelum ia menjabat sebagai hakim maka tidak haram
baginya memberikannya setelah itu. Tapi jika tidak diberikan kepada hakim
kecuali setelah ia menjabat ; jika orang yang memberinya itu tidak pernah
mempunyai kasus dengan orang lain yang pernah ia tangani, ia boleh menerima
hadiah itu tetapi makruh. Tetapi jika orang yang memberinya pernah mempunyai
kasus atau permusushan dengan orang lain yang iatangani, maka hadiah itu haram
bagi hakim dan pemberi. Dan ini termasuk risywah bathil.
Yang
ketiga, Ujrah (Upah). Jika hakim sudah
mendapatkan gaji dari kas baitul mal atau negara, maka haram baginya menerima
upah dari orang lain. Karena kerjanya dalam menangani masalah hukum sudah
disediakan gaji. Tapi jika ia tidak mendapatkan gaji dari baitul mal atau kas
negara mak tidak mengaapa ia mengambil upah sesuai usahanya tersebut. Dan jika
ia mengambilnya lebih dari yang ia kerjakan maka hukumnya haram. Wallahu a’lamu bissowab.
HADIAH
ATAU PEMBERIAN YANG TIDAK BOLEH DITOLAK[6]
Sabda
Rosulullah saw :
1
- عن ابن عمر قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ثلاث لاترد: الوسائد
والدهن واللبن
“tiga
yang tidak ditolak : bantal, minyak wangi dan susu.”
2
- وعن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " من عرض عليه ريحان
فلا يرده لانه خفيف المحمل طيب الريح " (3) .
“barang siapa yang ditawari minyak wangi janganlah ia menolaknya, karena ia ringan dibawa dan
harum aromanya.”
3
- وعن أنس أن النبي صلى الله عليه وسلم كان لايرد الطيب.
“dari anas bahwa rosulullah saw tidak menolak (pemberian) minyak wangi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar