Makalah : Nikah Beda Agama
Ditulis Oleh : Dzul Kifli Hadi Imawan, Lc. M. Kom. I
Dekan : Dr. A. Ilyas Ismail, MA
Disampaikan dalam forum diskusi dosen FAI - UIA
A.
Pendahuluan
Menikah merupakan sunnah rasulullah saw. Salah satu jalan untuk
melangsungkan kelestarian hidup manusia dengan cara yang benar. Menyatukan
laki-laki dan wanita dalam cinta, kasih sayang dan keharmonisan. Lebih dari itu
menikah adalah perjanjian yang berat yang harus dipertanggung-jawabkan dengan
baik. Karenanya, dalam Islam masalah pernikahan sangat diperhatikan mulai dari
urusan-urusan sebelum ataupun sesudah menikah.
Dan diantara urusan tersebut, yang tidak luput mendapat perhatian
dalam Islam adalah masalah nikah beda agama. Sebab, pernikahan bukan hanya
sekadar menyatukan fisik dua insan manusia semata, tetapi lebih dari itu,
pernikahan juga memperhatikan spiritual keimanan pasangan, demikian karena keimanan
mempunyai dampak pada kebahagiaaan hidup keluarga baik di dunia ataupun di
akhirat. Terlebih, akhir-akhir ini marak isu tentang pernikahan beda agama yang
menjadi sorotan media. Karenanya, masalah ini perlu dibahas dan dijelaskan
dengan rinci sehingga mampu memberikan kesadaran bagi umat islam dalam memillih
pasangan. Karena sayyidina Umar bin Khattab sempat mengatakan tentang nikah
beda agama, “Karena aku takut kalian mempraktekkan pelacuran dengan mereka”.
Lebih lanjut, pembahasan ini akan mengangkat pendapat para ahli
tafsir dan fatwa ulama indonesia tentang masalah nikah beda agama disertai
dengan hujjah masing-masing sehingga menjadi jelas. Begitu juga dijelaskan apa
saja mafsadah yang akan diterima kalau nikah beda agama tetap dilangsungkan. Wallahu
musta’an wa ‘alaihit tuklan.
B.
Definisi
dan Dalil Nikah
Secara bahasa nikah berarti al-jam’u al-dlam, berkumpul,
berhimpun. Sedang menurut syara’ yaitu akad suci yang mencangkup rukun dan
syarat tertentu.[1]
Firman Allah:
{فانكحوا ما طاب لكم من النساء}
“Maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi”
(QS. An-Nisa’: 3)
وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : يا معشر الشباب من استطاع منكم
الباءة فليتزوج، فأنه أغض للبصر وأحصن للفرج، ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له
وجاء
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah
pernah menyeru kepada para pemuda, : “Wahai para pemuda, barangsiapa
diantara kalian yang sudah mampu al-ba’ah (memberi nafkah) hendaklah menikah;
demikian karena lebih menjaga pandangan, dan menjaga kemaluan. Tetapi orang
yang belum mampu menikah, hendaknya ia berpuasa, karena mampu menahan (syahwat)
al-wija’. [2](HR.
Bukhari Muslim)
C.
Hikmah
Menikah
Hidup berpasangan merupakan sunnatullah yang berlaku untuk seluruh
mahluk hidup; manusia, hewan, tumbuhan dan jin. Seperti ayat cinta suci, kalam
ilahi yang mengatakan: “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan
supaya kalian teringat”.
Dan dari ayat dan hadis diatas, diantara hikmah menikah adalah agar
dapat menjaga pandangan dan kemaluan dengan jalan yang benar. Begitu juga,
dalam Islam, nikah merupakan sunnah para nabi dan rasul, kenikmatan yang agung
dan tanda atas kekuasaan Allah swt.[3] Dan
juga, nikah merupakan ibadah bagi
seorang muslim atau muslimah; sarana untuk menyempurnakan separuh agama dan
melahirkan keturunan dengan cara yang suci, “Barangsiapa yang diberi Allah
rizqi berupa istri shalihah, maka sungguh Dia telah menolongnya dalam hal
separuh agamanya, maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah di separuh sisanya”.
(HR. Imam Thabrani).
Karenanya Rasulullah saw menganjurkan agar memilih pasangan yang
bisa memberikan keturunan dan penuh cinta. Sabda Rasulullah saw:
فقال « تزوجوا الودود الولود فإنى مكاثر بكم الأمم ».
“Nikahilah wanita yang penuh cinta dan subur, karena aku bangga
dengan banyaknya kalian”.(HR. Abu Dawud)[4]
D.
Nikah
Beda Agama
Menikah adalah salah satu cara untuk melestarikan kelangsungan
hidup manusia. Al-qur’an dan hadis menganjurkan agar orang yang mampu untuk
segera menikah. Tetapi yang menjadi masalah adalah ketika pernikahan itu
terjadi diantara dua orang yang berbeda keyakinan, atau yang disebut dengan
nikah beda agama. Dalam hal ini, ada beberapa pendapat ulama yang akan
dikemukakan dalam masalah ini disertai dengan hujjah masing-masing. Adapun ayat
yang menjadi landasan dalam masalah nikah beda agama adalah surat al-baqarah
221.
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ
مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا
الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ
وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى
الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ
لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS.
Al-Baqarah : 221)
Ayat tersebut menjelaskan dua hukum masalah, yaitu:
1.
Hukum
Menikahi Wanita Ahli Kitab.
Dalam hal ini, ada dua pendapat ulama yaitu, pendapat pertama,
pendapat jumhur ulama menyatakan bahwa diperbolehkan menikahi wanita ahli kitab.
Mereka berhujjah bahwa ayat al-baqarah 221 menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan larangan menikahi al-musyrikat adalah larangan menikahi wanita
majusi, dan penyembah berhala, paganisme. Adapun menikahi wanita ahli kitab
diperbolehkan karena surat al-maidah ayat 5 mengkhususkan nash al-baqarah ayat
221, yaitu firman Allah
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ
الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ
قَبْلِكُمْ
“Dan dihalalkan mangawini wanita yang menjaga kehormatan diantara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu.” (QS. Al-Maidah:5)
Lebih lanjut, diantara hujjah jumhur ulama adalah bahwa kata al-muyrikat
tidak mencakup kata ahli kitab. Sebagai firman Allah
مَّا يَوَدُّ الذين كَفَرُواْ مِنْ أَهْلِ الكتاب وَلاَ المشركين
“Orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang
musyrik” (QS. Al-Baqarah: 105)
{ لَمْ يَكُنِ الذين كَفَرُواْ مِنْ
أَهْلِ الكتاب والمشركين } [ البينة : 1 ]
“Orang-orang kafir Yakni ahli kitab
dan orang-orang musyrik”.
(QS. Al-Bayyinah: 1)
Begitu juga, riwayat para ulama salaf yang membolehkan menikahi
wanita ahli kitab. Seperti yang dikatakan Imam Qatadah, yang dimaksud dengan al-musyrikat
yaitu wanita yang tidak memiliki kitab. Begitu juga ketika Ibrahim bin Adham ditanya
Hamad tentang hukum menikahi wanita yahudi dan nasrani, ia membolehkannya. Alasannya,
yang dimaksud dengan al-musyrikat itu adalah wanita majusi dan penyembah
berhala.[5]
Tambahnya, ayat al-Baqarah tidak menghapus (nasikh) ayat al-Maidah,
karena al-Baqarah merupakan surat pertama yang diturunkan di Madinah, sedang
al-maidah merupakan surat yang terakhir turun, dan kaidah umum dikatakan, ayat
terakhir menghapus yang terdahulu bukan sebaliknya. [6]
Meskipun jumhur
ulama membolehkan menikahi wanita ahli kitab, tetapi hukumnya adalah makruh.
Sebagaimana yang diriwayatkan dari Umar bin Khattab, bahwa ketika Thalhah bin Ubaidillah
menikahi wanita yahudi, juga Hudzaifah bin al-Yaman menikahi wanita nasrani,
Umar bin al-khattab yang mengetahui hal tersebut menjadi sangat marah, bahkan
ingin memukul mereka berdua. Hingga keduanya berkata,: “Janganlah marah
wahai Amirul Mukminin, kami akan menceraikan mereka.” Umar menjawab, : “Jikalau
dihalalkan thalaqnya, pastinya dihalalkan pula nikahnya, tapi aku ingin
meminimalisir bahaya (shagrah qam’ah)”. Hadis gharib jiddan, dalam
riwayat lain, “Karena aku takut kalian mempraktekkan pelacuran dengan
mereka”. Isnad shahih (al-Thabari : 4/366)[7]
Dijelaskan oleh Abu
Ja’far Ibnu Jarir Al-Thabari seperti yang dikutip Ibnu Katsir, Umar membenci
hal tersebut agar orang-orang muslim tidak menyepelekan wanita muslimah.
Meskipun demikian terdapat riwayat lain yang menyebutkan bahwa Umar bin Khattab
juga pernah mengatakan,: “Laki-laki muslim menikahi wanita nasrani, tetapi
laki-laki nasrani tidak menikahi wanita muslimah”. [8]
Riwayat diatas
menerangkan bahwa Umar bin khattab tidak menyukai menikah beda agama. Hal ini
dikuatkan oleh riwayat Imam Bukhari bahwa Ibnu Umar mengatakan, : “aku tidak
melihat syirik yang lebih besar dari seorang wanita yang mengatakan tuhanku
adalah isa”.[9]
Riwayat ini juga menjadi hujjah bagi pendapat yang mengharamkan nikah beda
agama.
Menurut Wahbah Zuhaily, perbedaan antara wanita ahli kitab dengan
wanita musyrikah sangat jelas, yaitu wanita musyrikah tidak beriman dengan
agama sama sekali, adapun wanita ahli kitab ada kesamaannya dengan seorang
muslim yaitu mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, halal dan haram,
melakukan kebaikan dan kemuliaan, serta menjauhi hal yang buruk dan hina.[10]
Tambahnya, adapun Islam membolehkan seorang muslim menikahi wanita
ahli kitab tetapi tidak membolehkan wanita muslimah menikahi orang kafir ahli
kitab juga jelas, karena hal tersebut tidak membahayakan keimanan seorang suami
yang muslim. Sebaliknya, seorang
laki-laki biasanya mempunyai kekuasaan di atas wanita, karenanya kalau seorang
laki-laki ahli kitab menikahi wanita muslimah dan bisa mempengaruhinya dalam
keyakinan, hingga ia meninggalkan agama islam maka ini bisa membahayakan aqidah
wanita muslimah. Dan inilah pendapat jumhur, yaitu makruh hukumnya seorang
muslim menikahi wanita ahli kitab.[11]
Disamping itu, diharamkan menikahi wanita kafir harbi. Dan juga
telah sepakat para ulama dari empat madzhab dan lainnya bahwa haram menikahi
wanita majusi. Dan juga para ulama berijma’ bahwa haram bagi seorang wanita
muslimah menikahi laki-laki kafir, karena bisa merendahkan agama Islam.[12]
Pendapat kedua,
haram menikahi wanita ahli kitab. Hal ini sebagaimana pendapat Ibnu Abbas, dalam
memahami kedua ayat tersebut (al-baqarah 221 dan al-maidah 5), Ibnu Abbas mengatakan,:
“Rasulullah saw telah melarang menikahi seluruh wanita kecuali yang beriman dan
berhijrah, dan mengharamkan wanita dari agama manapun kecuali Islam,
sebagaimana firman Allah,: “Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak
menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya”. (Qs. Al-Maidah: 5)
Lebih jelas lagi,
alasan tidak bolehnya bagi seorang muslim menikahi wanita ahli kitab dijelaskan
oleh Imam Fakhruddin al-razi dalam tafsirnya Mafatih al-Ghaib al-Tafsir al-Kabir,
yang menganggap bahwa ahli kitab termasuk orang musyrik. Menurutnya, sebab kebanyakan
ulama berpendapat bahwa lafazh musyrik dalam ayat tersebut mencakup juga orang
kafir dari golongan ahli kitab. Ada banyak dalil yang menunjukkan hal tersebut,
a.
Dalam
surat al-taubah ayat 30-31 menjelaskan bahwa orang yang mengatakan Uzair anak
Allah dan Isa al-Masih anak Allah berarti ia musyrik.
b.
Surat
annisa ayat 48 menjelaskan Allah mnegampuni segala dosa kecuali syirik,
seandainya dosa orang yahudi dan nasrani bukan merupakan dosa syirik pastinya
Allah akan mengampuni, tetapi seperti diketahui bahwa dosa mereka merupakan
dosa syirik yang tidak diampuni. [13]
c.
Surat
al-maidah ayat 73 menjelaskan bahwa Trinitas merupakan kesyirikan dan kufur
akbar.
d.
Bahwa
Rasulullah saw ketika mengutus utusan untuk berdakwah kepada orang-orang
musyrik menyuruh agar mereka masuk ke dalam agama Islam, atau membayar fidyah.
Dan orang yang membayar fidyah dan tidak masuk Islam maka ia disebut musyrik.
e.
Sebagaimana
pendapat Abu Bakar al-Ashammu, setiap orang yang menolak risalah rasulullah saw
maka ia adalah orang musyrik.[14]
2.
Hukum Menikahi Laki-Laki Musyrik (Non Muslim)
Para ulama sepakat
bahwa ayat al-Baqarah 221, “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.” Menjelaskan bahwa haramnya wanita muslimah
menikah dengan laki-laki non muslim (musyrik), yaitu setiap orang kafir yang
tidak beragama dengan agama islam baik penyembah berhala, majusi, yahudi, dan
kristen (nasrani) serta orang murtad. Demikian karena agama Islam itu tinggi
dan mulia, al-islam ya’lu wa la yu’la ‘alaih. Juga, karena mereka
mengajak kepada kekafiran yang menjadi sebab masuknya seseorang ke dalam
neraka. Dan seorang laki-laki memiliki wilayah dan kekuasaan atas wanita,
barangkali ia akan memaksaanya untuk meninggalkan agamanya berganti dengan
agama suami, juga anak-anak biasanya mengikuti bapak mereka, jika bapaknya
yahudi atau nasrani, maka mereka akan dididik dengan pendidikan keyahudian atau
kenasranian, hingga mereka pun menjadi ahli neraka. [15]
E.
Fatwa
Ulama Indonesia Tentang Nikah Beda Agama
Majelis
Ulama Indonesia (MUI) telah jauh-jauh hari mengeluarkan fatwa. Berdasarkan
Musyawarah Nasional (Munas) II pada 11-17 Rajab 1400 H, bertepatan dengan 26
Mei-1 Juni 1980 M, MUI mengeluarkan fatwa bahwa pernikahan beda agama atau
kawin campur, hukumnya haram.
Hal ini,
jelas MUI, berdasarkan pada firman Allah SWT sebagai berikut: “Dan
janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya
mereka mengambil pelajaran.”(QS Al-Baqarah: 221).
Dan
firman Allah: “…(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara wanita yangberiman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara wanita yang diberi Al-Kitab (Ahlu Kitab) sebelum kamu,
bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak
dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang
siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka
hapuslah amal-amalnya dan ia di akhira termasuk orang-orang merugi.”
(QS Al-Maidah: 5).
Dan
firman Allah: “…Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka
(benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami
mereka) orang-orang kafir. Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang
kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka…” (QS
Al-Mumtahanah:10).
Dan
firman-Nya: “Hai orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka…” (QS At-Tahrim: 6).
Selain
berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an di atas, MUI juga mendasarkan fatwanya pada
hadits-hadits Rasulullah sebagai berikut: “Barangsiapa telah kawin, ia telah
memelihara setengah bagian dari imannya, karena itu, hendaklah ia takwa kepada
Allah dalam bahagian yang lain” (HR Tabrani)
Kemudian
sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Aswad bin Sura’i: “Tiap-tiap
anak dilahirkan dalam keadaan suci sehingga ia menyatakan oleh lidahnya
sendiri. Maka, ibu bapaknyalah yang menjadikannya (beragama) Yahudi, Nasrani,
atau Majusi.”
Oleh
sebab itu, menurut MUI, perkawinan wanita Muslimah dengan laki-laki non-Muslim
adalah haram hukumnya. "Dan seorang laki-laki Muslim diharamkan mengawini
wanita bukan Muslim."
MUI
menambahkan, tentang perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita Ahli
Kitab terdapat perbedaan pendapat. "Setelah mempertimbangkan bahwa
mafsadah-nya lebih besar daripada maslahat-nya, MUI memfatwakan perkawinan
tersebut hukumnya haram!"
Demikian fatwa MUI yang ditandatangi oleh Ketua Umum Prof Dr Hamka dan Sekretaris Drs H Kafrawi pada 1 Juni 1980 silam. Dan hingga kini fatwa tersebut masih berlaku dan belum dicabut oleh MUI.[16]
Demikian fatwa MUI yang ditandatangi oleh Ketua Umum Prof Dr Hamka dan Sekretaris Drs H Kafrawi pada 1 Juni 1980 silam. Dan hingga kini fatwa tersebut masih berlaku dan belum dicabut oleh MUI.[16]
Adapun
Ulama Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait nikah beda
agama. Fatwa itu ditetapkan dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada akhir
November 1989. Ulama NU dalam fatwanya menegaskan bahwa nikah antara dua orang
yang berlainan agama di Indonesia hukumnya tidak sah (haram).
Demikian
juga, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah juga telah menetapkan fatwa
tentang penikahan beda agama. Secara tegas, ulama Muhammadiyah menyatakan bahwa
seorang wanita Muslim dilarang menikah dengan pria non-Muslim. Hal itu sesuai
dengan surat al-Baqarah ayat 221, seperti yang telah disebutkan di atas.
"Berdasarkan ayat tersebut, laki-laki Mukmin juga dilarang nikah dengan
wanita non-Muslim dan wanita Muslim dilarang walinya untuk menikahkan dengan
laki-laki non-Muslim,".
Ulama
Muhammadiyah pun menyatakan kawin beda agama juga dilarang dalam agama Nasrani.
Dalam perjanjian lama, kitab ulangan 7:3, umat Nasrani juga dilarang untuk
menikah dengan yang berbeda agama. “Janganlah juga engkau kawin mengawin
dengan mereka; anakmu perempuan janganlah kau berikan kepada anak laki-laki
mereka, ataupun anak perempuan mereka jangan kau ambil bagi anakmu laki-laki”.
Dan juga disebutkan dalam UU No 1 tahun 1974
pasal 2 ayat 1 bahwa: "Pernikahan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.[17]
F.
Mafsadah
Nikah Beda Agama
Nikah beda agama memiliki mafsadah atau mudharat yang lebih besar
daripada manfaatnya, terlebih hal ini berkaitan dengan akidah dan syariah
seorang muslim. Adapun penjelasannya sebagaiman berikut:
1.
Akidah
a)
Orang Kafir Mengajak Kepada Kekafiran
Menurut Wahbah al-Zuhaily dalam Tafsir al-Munir, sebab
diharamkannya pernikahan antara muslim dengan musyrik ataupun muslimah dengan
kafir baik termasuk golongan ahli kitab atau tidak, karena mereka orang-orang
musyrik baik laki-laki ataupun perempuan mengajak kepada kekafiran, dan
melakukan amalan yang dapat membawa ke neraka. Demikian karena, mereka tidak
memiliki agama yang benar yang dapat membimbing mereka, juga tidak memiliki
pedoman kitab langit yang menunjukkan mereka ke jalan yang benar, disamping
perbedaan tabiat antara hati muslim yang penuh cahaya dan iman dan hati kafir
yang gelap dan sesat. [18]
Lanjutnya, karena dengan berkumpul dan berbesan dengan mereka
menghendaki adanya saling memberi masukan, nasihat, cinta, kasih sayang, dan
pertukaran pemikiran-pemikiran yang sesat, serta kebiasaan dalam hal perilaku
dan adat mereka yang tidak syar’i. Terlebih dalam mendidik anak dan keturunan
nantinya sesuai dengan nafsu dan kesesatan mereka. Intinya, ‘illah sebab
diharamkannya menikahi wanita musyrikah karena bisa mengajak ke neraka. [19]
b)
Menghindari
nikah beda agama supaya bisa menjaga keimanan yang dapat menyelamatkan dari api
neraka.
Demikian karena Allah memerintahkan agar menjaga diri dan keluarga
dari api neraka, sebab kalau salah satu pasangan dalam keluarga tidak beriman,
maka akan ada anak keturunannya yang akan mengikuti orang utannya yang tidak
beriman, dan ini sama saja menjerumuskan mereka ke dalam neraka. Padahal sudah
sangat jelas Allah memerintahkan agar menjaga keimannan diri dan keluarga dalam
surat al-tahrim : 6. Begitu juga, menjaga keimanan merupakan wasiat nabi ibrahim
kepada anak keturunannanya sebagaimana diabadikan di dalam surat al-baqarah.
Ibnu katsir menjelaskan
tentang larangan menikah beda agama, “mereka mengajak ke dalam neraka”,
bahwa hidup dan berkumpul dengan mereka memotivasi untuk mencintai dunia dan
mementingkannya atas negeri akhirat.[20]
c)
Hilangnya Sumber Kebahagiaan
Menurut Ibnu
katsir, agama itu sangat penting, karena memiliki istri yang beragama itu lebih
mahal. Sebab, dalam Islam, wanita shalihah adalah sebaik baik perhiasan dunia. Karenanya,
memiliki istri yang beragama merupakan sumber kebahagiaan dan keberkahan hidup.
Sebagai sabda Rasulullah saw:
عن أبي هريرة، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال:
"تنكح المرأة لأربع: لمالها، ولحسبها ولجمالها، ولدينها؛ فاظفر بذات الدين
تربت يداك.
“Wanita dinikahi karena
empat hal: harta, keturunan, cantik dan agamanya. Maka pilihlah yang beragama,
maka kamu akan beruntung”. (HR. Bukahri
Muslim)
عن ابن عمر: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:
"الدنيا متاع، وخير متاع الدنيا المرأة الصالحة.
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah
wanita shalihah”. (HR.
Bukahri Muslim)
Hal tersebut
menunjukkan bahwa orang yang tidak memiliki pasangan yang tidak beragama Islam
berarti ia telah kehilangan sumber kebahagiaan hidup. Karena sumber kebahagiaan
sejati adalah pada keimanan pasangan.
2.
Syariah
Dilihat dari syariah, nikah beda agama memiliki banyak mudlarat,
diantaranya:
a). Nikah
Beda Agama Sama dengan Zina
Dari fatwa MUI, NU, dan Muhammadiyah yang beristinbath dari
nash-nash al-qur’an menyatakan haramnya nikah beda agama. Ini berarti ketika
terjadi pernikahan antara dua mempelai yang berbeda agama, maka akadnya tidak
sah. Kalau akadnya tidak sah, ini berarti hubungan antara kedua mempelai adalah
hubungan yang haram, dan apabila terjadi persetubuhan maka itu adalah zina
bukan ibadah.
b). Hilangnya
Banyak Pahala Ibadah
Banyak ayat ataupun hadis yang mengajarkan agar rumah tangga diisi
dengan ketaatan dan saling mengingatkan antara pasangan untuk beribadah dan bertaqwa
kepada Allah. Karenanya, ketika salah satu pasangan tidak beriman, itu berarti
banyak pahala yang akan hilang dan tidak teraih karena tidak bisa melakukan ibadah
secara bersamaan. Terutama melaksanakan rukun islam, bahkan lebih spesifik
tentang shalat allah berfirman :
وأمر
أهلك بالصلاة واصطبر عليها
c). Hukum
Anak
Anak yang
lahir dari pernikahan beda agama mengikuti agama orang tua yang paling benar,
yaitu Islam. Terlebih dijelaskan dalam hadis bahwa anak yang baru lahir
terlahir dalam fitrah yaitu Islam. Sabda Rasulullah saw, “Tiap-tiap anak
dilahirkan dalam keadaan suci sehingga ia menyatakan oleh lidahnya sendiri.
Maka, ibu bapaknyalah yang menjadikannya (beragama) Yahudi, Nasrani, atau
Majusi.”
d). Hukum
Waris
Suami istri yang berbeda agama, maka apabila salah satu dari
keduanya meninggal maka tidak bisa saling mewarisi. Karena beda agama termasuk
salah satu penghalang yang menghalangi seseorang untuk mendapat harta waris.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: {لا يرث المسلم الكافر ولا الكافر
المسلم}
“Seorang muslim tidak mewarisi kafir dan tidak pula sebaliknya”. HR. Imam Muslim
Dalam Kifayah Al-Akhyar dijelaskan bahwa hadis tersebut
tidak membedakan baik nasab, orang yang membebaskan budak ataupun suami istri. [21]
G.
Kesimpulan
Menikah adalah sunnatullah yang berlaku untuk seluruh mahluk hidup
demi menjaga kelestarian hidup. Al-qur’an dan hadits banyak menjelaskan masalah
nikah. Dan diantara yang dijelaskannya adalah nikah beda agama.
Berangkat dari surat al-baqarah 221, terdapat dua pendapat ulama
dalam masalah nikah beda agama, pertama, pendapat jumhur ulama yang membolehkan
laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab; yahudi dan nasrani. Meskipun
demikian hukumnya makruh. Kedua, tidak boleh menikahi wanita musyrikah baik
wanita ahli kitab ataupun bukan ahli kitab seperti majusi, pagan. Karena di
dalam al-qur’an kata musyrik juga ditujukan untuk hali kitab. Tetapi, para
ulama sepakat, bahwa haram hukumnya wanita muslimah menikah dengan laki-laki
kafir baik ahli kitab ataupun bukan, karena al-Islam ya’lu wa la yu’la
‘alaih, dan juga laki-laki memiliki kekuasaaan atas wanita sehingga mampu
memaksaanya untuk mengikuti agamanya.
Adapun fatwa para ulama indonesia baik dari MUI, NU, dan
Muhammadiyah sepakat bahwa nikah beda agama haram hukumnya dan akad yang
terjadi tidak sah. Demikian karena mereka melihat bahwa mafsadah yang
ditimbulkan lebih besar daripada manfaatnya. Dan diantara mafsadahnhya adalah
pasangan beda keyakinan atau agama menjerumuskan pasangannya untuk mengikuti
keyakinannya. Ini berarti mereka mengajak kepada kekafiran yang berujung ke
neraka. Terlebih kalau sudah memiliki anak, maka anak tersebut akan mengikuti
orang tuanya dalam kekafiran.
Dan jika dilihat dari segi syariahnya, maka nikah beda agama
merupakan sebab terputusnya pahala beribadah dalam keluarga. Dan juga, menjadi
salah satu penghalang seseorang dalam mendapat harta waris apabila salah satu
pasangan meninggal.
Dengan melihat mafsadah yang lebih besar dari pada manfaatnya, maka
umat Islam disarankan agar memilih pasangan yang sama keyakinan, sama sama
Islam. Sehingga diharapkan mampu membina keluarga dengan sakinah, cinta dan
kasih sayang di dunia hingga berlanjut ke syurga kelak. Amin. Wallahu a’lam
bis shawab
SEMOGA BERMANFAAT
Daftar Pustaka
Al-Qur’an al-Karim
Al-‘Asqalani, Abu
Al-Fadl Ahmad Bin Ali Bin Muhammad Bin Ahmad Bin Hajar W. 852H, Bulugh Al-Maram
Min Adillah Al-Ahkam, (Riyadl: Dar Al-Falaq, 1424 H, Cet, 7). H.
1/291
Al-Damasyqi, Abu
Al-Fida’ Ismail Bin Umar Bin Katsir Al-Qursyi (700-774H), Tafsir
Al-Qur’an Al-‘Azhim, Dar Thayyibah Li Al-Nastr Wa Al-Tauzi’,Cet.
2, 1999 M. H. 1/582-583
Al-Damasyqi, Taqiyyuddin
Abu Bakar Bin Muhammad Al-Husaini Al-Syafi’i, Kifayah Al-Akhyar Fi Hilli
Ghayah Al-Ikhtishar,
Al-Razi,
al-imam al-alim fakhruddin Muhammad bin Umar al-Tamimi al-Syafi’i, Mafatih
al-Ghaib, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000)
Al-Sajistani, Abu
Dawud Sulaiman Bin Al-Asy’ats, Sunan Abi Dawud, Beirut: Dar Al-Kutub
Al-‘Arabi
Al-Shabuni, Ali, Tafsir Ayat Al-Ahkam
Al-Zuhaily, Wahbah
Bin Mushthafa, Al-Tafsir Al-Munir Fi Al-Aqidah Wa Al-Syari’ah Wa Al-Manhaj,
Damaskus: Dar Al-Fikr Al-Mu’ashir, Cet. 2. 1418.
Sabiq, Sayyid , Fiqh Al-Sunnah,
Shahih Al-Bukhari
Shahih Muslim
Maktabah Syamilah
Kamus Al-Munawir
KBBI OFFLINE
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/11/05/23/lln96s-fatwa-mui-kawin-beda-agama-haram
[1] Taqiyyuddin Abu
Bakar Bin Muhammad Al-Husaini Al-Damasyqi Al-Syafi’i, Kifayah Al-Akhyar Fi
Hilli Ghayah Al-Ikhtishar,H. 2/36
[2] Abu Al-Fadl
Ahmad Bin Ali Bin Muhammad Bin Ahmad Bin Hajar Al-‘Asqalani W. 852H, Bulugh Al-Maram
Min Adillah Al-Ahkam, (Riyadl: Dar Al-Falaq, 1424 H, Cet, 7). H. 1/291
Shahih Al-Bukhari, No. 1905, Shahih Muslim, No.1400,
[3] Sayyid Sabiq, Fiqh
Al-Sunnah, H. 2/10
[4] Abu Dawud
Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sajistani, Sunan Abi Dawud, Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Arabi, H. 2/175, No. 2052
[5] Ali al-Shabuni,
Tafsir Ayat Al-Ahkam, h. 1/124-125
[6] Ibid.,h. 125
[7] Abu Al-Fida’ Ismail
bin Umar bin Katsir al-Qursyi al-Damasyqi (700-774H), Tafsir Al-Qur’an
Al-‘Azhim, Dar Thayyibah Li Al-Nastr Wa Al-Tauzi’,Cet. 2, 1999 M. H.
1/582-583
[8] Ibid., h.
1/583
[9] Shahih
al-bukhari, no. 5285
[10] Ibid.,2/293
[11] Ibid., h.
2/294
[12] Ibid.,h. 2/295
[13] Ibid.,h.6/48
[14] Ibid.,h.6/48
[15] Ibid., h. 126
[16] http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/11/05/23/lln96s-fatwa-mui-kawin-beda-agama-haram
[17] Ibid.,
[18] Wahbah bin
Mushthafa al-Zuhaily, Al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa
al-Manhaj, Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, Cet. 2. 1418. H. 2/292
[19] Ibid., h.
2/292
[20] Ibid., h.584
[21] Taqiyyuddin
Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini al-Damasyqi al-Syafi’i, Kifayah al-Akhyar
fi Hilli Ghayah al-Ikhtishar, H. 2/20