Khadlrotus Syaikh K. H. M. Hasyim Asy’ari
|
(Dai, Mujahid, Syaikhu
Ulama Indonesia)
Disusun Oleh : Dzul Kifli Hadi Imawan, Lc
1. MUQODDIMAH
Sosok Hadlrotu Syaikh Kh. Muhammad Hasyim Asy’ari sudah tidak asing
lagi bagi masyarakat Indonesia pada umumnya kaum nahdliyin pada khususnya.
Dialah pendiri dan pemimpin pertama oraganisasi Islam yang bernama nahdlatul
ulama (NU). Dia adalah sosok yang agung dan salah satu tokoh yang berjasa pada
bidang keilmuan atau pendidikan dan kemerdekaan Indonesia. Keilmuannya tidak
hanya diakui oleh ulama-ulama Indonesia saja, tetapi banyak ulama dunia
khususnya timur tengah mengakui keilmuannya yang luas dan sifatnya yang lembut.
Sebagimana ditulis pada kitab a’lamul makkiyin (ulama-ulama Makkah abad 9-14 H)
beliau termasuk di dalam jajaran ulama Makkah.
Hadlrotu syaikh juga berjasa dalam mengusir sekutu Belanda dan NICA
yang ingin kembali menjajah Indonesia serta membangkitkan semangat jihad fi
sabilillah dan nasionalisme mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan
fatwanya dan resolusi jihad Nahdlotul Ulama yang kemudian diikuti resolusi
jihad Umat Islam Indonesia dibawah Masyumi.
Mengangkat tokoh besar untuk ditulis di dalam makalah tidaklah
mudah karena harus banyak menggali sumber dan karya-karyanya yang ada. Karena
itulah dalam menulis makalah mengenai kHadlrotu syaikh kh. Muhammad Hasyim
Asy’ari saya berusaha menulis dari menelaah karya-karyanya yang sudah terkumpul
di dalam kitab Irsyadus Sari Fi Jam’i Mushonnafat Hasyim Asy’ari,
di dalamnya terdapat sembilan belas kitab karya Hadlrotu syaikh Hasyim Asy’ari.
Dan juga mengambil dari beberapa sumber yang lain.
Keadaan Sosial - Politik
Zaman Hadlrotu Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari
Hadlrotu syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari lahir pada masa Indonesia
masih dibawah jajahan Belanda atau 68 tahun sebelum hari proklamasi Indonesia,
1945. Karena itulah keadaan sosial – politik saat itu tidak aman. Rakyat
terjajah dan dipaksa untuk melayani penjajah. Rakyat banyak yang tidak belajar,
pendidikan hanya diperuntukkan bagi mereka yang mampu (pribumi yang kaya).
Mereka tertindas dan jauh dari pendidikan. Meski demikian, hal tersebut tidak
menghalangi orang tua Hadlrotu syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari untuk mendidik
anaknya dengan sebaik-baik pendidikan sehingga menjadikannya sebagai ulama dan
pembangkit jihad melawan penjajah.
Pada masa pendudukan jepang, syaikh Hasyim ditawari untuk memimpin
shumubu (kantor urusan agama) dengan tujuan menarik simpati masyarakat Islam
bahwa jepang datang ke Indonesia untuk membantu mengusir sekutu. Begitu juga
jepang mendidik rakyat Indonesia untuk dijadikan sebagai bagian dari tentaranya
dalam menghadapi sekutu (PETA). Tetapi itu semua bukanlah tujuan utama jepang
yang sebenarnya melainkan hanya mengalihkan isu supaya jepang berhasil menjajah
Indonesia dan menjadikan jepang sebagai penguasa asia raya. Dalam menghadapi
jepang para ulama tidak tinggal diam, bahkan merekalah yang mempelopori gerakan
perlawanan menentang penjajah, diantara mereka adalah Hadlrotu syaikh Hasyim Asy’ari.
Setelah proklamasi, rakyat Indonesia bukan berarti sudah tidak lagi
mempunyai musuh. Tetapi mereka dihadapkan kepada musuh yang berasal dari dalam,
diantaranya pki. Pki banyak melakukan kudeta kepada pemerintahan yang telah
syah begitu banyak melakukan banyak pembunuhan dengan cara yang kejam. Rakyat Indonesia
dalam kondisi ketakutan. Tetapi para ulama, sekali lagi membuktikan
keprihatinannya kepada rakyat Indonesia. Mereka memfikirkan agar Indonesia
aman, damai dan terbebas dari ketakutan. Karena itulah syaikh Muhammad Hasyim
Asy’ari memberikan fatwa supaya rakyat melawan, bahkan disebutkan bahwa bung
tomo dan jendral sudirman senantiasa meminta nasihat kepada Hadlrotu syaikh
hasim Asy’ari sebelunm melakukan perlawanan.
BAB 1 : RIWAYAT HIDUP HADLROTU
SYAIKH HASYIM ASY’ARI
A. Nama & Nasabnya
Al-‘Alamah Muhammad Hasyim
Asy’ari Assyafi’i[1] Ibn Asy’ari Ibn Abdul Wahid Ibn Abdul Halim
yang digelari Pangeran Benawa Ibn Abdurrahman yang dikenal dengan Jaka Tingkir
Sulthan Hadi Wijaya Ibn Abdullah Ibn Abdul Aziz Ibn Abdul Fattah Ibn Maulana
Ishaq (Ayah Raden Maulana Yaqin yang dikenal dengan sebutan Sunan Giri). [2]
B. Kelahiran Dan Perjalanan Menuntut Ilmu
Lahir di Gedang, sebuah desa di sebelah utara kota Jombang jawa
timur, Indonesia pada hari selasa 24 dzul qo’dah 1287 H , bertepatan dengan
tanggal 14 Februari l871 M. [3]
Ia tumbuh dididik oleh ayahnya KH. Asy’ari dengan pendidikan yang
terbaik, dan menghafal darinya Alqur’an dan kitab-kitab agama sampai ia baligh.
Pada usia 15 tahun, beliau meninggalkan kedua orang tuanya untuk berkelana
memperdalam ilmu pengetahuan. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonorejo
Jombang, lalu pesantren Wonokoyo Probolinggo, kemudian Pesantren Langitan
Tuban, dan Pesantren Trenggilis Surabaya, kemudian pergi ke pesantren bangkalan
di madura. Disana beliau belajar dari kyai Kholil (waliyullah)[4].
Setelah belajar di madura selama lima tahun, beliau pergi ke sidoarjo ke
pesantren sona dan pesantren siwalan di bawah bimbingan Kiai Ya’qub.
Tidak puas dengan ilmu yang telah diperoleh dari para kyai
pesantren-pesantren jawa, Pada tahun 1309 H/1893 M[5] beliau
berangkat ke Makkah dan menetap disana beberapa tahun. Disebutkan didalam a’lamul makkiyin bahwa
beliau menetap disana selama enam tahun, untuk mencari ilmu dan ibadah.[6]
Disana beliau belajar dari para ulama besar seperti syaikh Muhammad
Nawawi Bantani[7],
syaikh Khotib Minangkabau[8],
syaikh Syuaib ibn Abdurrahman, Sayyid Abbas Almaliki Alhasani (belajar
kepadanya kitab-kitab hadis Nabawi),
syaikh Muhammad Mahfud ibn Abdullah attarmasi[9]
(belajar darinya berbagai bidang ilmu agama (syariah), ilmu alat&adab
(nahwu, shorof dan sastra) dan masalah-masalah baru sehingga ia memahami banyak
ilmu naqli dan aqli. Kemudian beliau kembali ke negaranya untuk berdakwah,
mengajar, menulis dan mendirikan organisasi persatuan umat Islam.
Hal ini juga disebutkan didalam kitab A’lamul Makkiyin sebagai
berikut: “Beliau belajar kepada syaikh Muhammad Mahfud Attarmasi dan
meriwayatkan banyak ilmu darinya dimana saat itu Syaikh Mahfud adalah umdah
(sandaran/ guru besar) para ulama Makkah.[10]
Begitu juga Hadlrotuy Muhammad Hasyim Asy’ari belajar dari sayyid alawi ibn
ahmad saqqof, sayyid husain ibn Muhammad alhabsy, sayyid ahmad ibn atthos,
sayyid abu bakar atho, syaikh sholih bafadhol, syaikh rahmatullah ibn kholil
india, syaikh Muhammad abid ibn husain almaliki dan ulama lainnya, kemudian
beliau kembali ke negaranya pada tahun 1314 H.[11]
Setelah kembalinya dari tanah suci, biladil haram, beliau
membangun pesantren Islam tebu ireng Jombang, yaitu pada tanggal 26 robiul awal
1317, kemudian beliau menyebutnya madrasah salafiyah syafi’iyah.[12]
Disitu beliau mengajar, banyak orang dari berbagai wilayah nusantara yang
datang kepadanya untuk menimba ilmu. Kemudian mereka mendirikan pondok-pondok
dan sekolahan Islam di daerah mereka.[13]
Murid-Murid Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari
Setelah ilmunya dinilai mumpuni, Kiai Hasyim dipercaya untuk
mengajar di Masjidil Haram bersama ulama Indonesia lainnya, seperti Syekh
Nawawi al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib al-Minakabawi, dll. Di sana beliau
mempunyai banyak murid dari berbagai negara. Diantaranya ialah Syekh Sa’dullah
al-Maimani (mufti di Bombay, India), Syekh Umar Hamdan (ahli hadis di Mekkah),
Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria), KH. Abdul Wahhab Hasbullah (Tambakberas,
Jombang), K.H.R. Asnawi (Kudus), KH. Dahlan (Kudus), KH. Bisri Syansuri
(Denanyar, Jombang), dan KH. Shaleh (Tayu).[14]
C. Hadlrotu
Syaikh Rois Akbar K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari Wafat
Tanggal 3 Ramadhan 1366 H., bertepatan dengan tanggal 21 Juli 1947
M. jam 9 malam, Kiai Hasyim baru saja selesai mengimami salat Tarawih. Seperti
biasa, beliau duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada ibu-ibu
muslimat. Tak lama kemudian, datang seorang tamu utusan Jenderal Sudirman dan
Bung Tomo. Kiai Hasyim menemui utusan tersebut didampingi Kiai Ghufron
(pimpinan Laskar Sabilillah Surabaya). Tamu tersebut menyampaikan surat dari
Jenderal Sudirman.
Kiai Hasyim meminta waktu satu malam untuk berfikir dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya. Isi pesan tersebut adalah:
1. Di wilayah Jawa Timur Belanda melakukan serangan militer besar-besaran untuk merebut kota-kota di wilayah Karesidenan Malang, Basuki, Surabaya, Madura, Bojonegoro, Kediri, dan Madiun.
2. Hadiratus Syeikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari diminta mengungsi ke Sarangan, Magetan, agar tidak tertangkap oleh Belanda. Sebab jika tertangkap, beliau akan dipaksa membuat statemen mendukung Belanda. Jika hal itu terjadi, maka moral para pejuang akan runtuh.
3. Jajaran TNI di sekitar Jombang diperintahkan membantu pengungsian Kiai Hasyim.
Keesokan harinya, Kiai Hasyim memberi jawaban tidak berkenan menerima tawarantersebut.
Empat hari kemudian, tepatnya pada tanggal 7 Ramadhan 1366 M., jam 9 malam, datang lagi utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang utusan membawa surat untuk disampaikan kepada Hadratusy Syeikh. Bung Tomo memohon Kiai Hasyim mengeluarkan komando jihad fi sabilillah bagi umat Islam Indonesia, karena saat itu Belanda telah menguasai wilayah Karesidenan Malang dan banyak anggota laskar Hizbullah dan Sabilillah yang menjadi korban. Hadratusy Syeikh kembali meminta waktu satu malam untuk memberi jawaban.
Tak lama berselang, Hadratusy Syeikh mendapat laporan dari Kiai Ghufron (pemimpin Sabilillah Surabaya) bersama dua orang utusan Bung Tomo, bahwa kota Singosari Malang (sebagai basis pertahanan Hizbullah dan Sabilillah) telah jatuh ke tangan Belanda. Kondisi para pejuang semakin tersudut, dan korban rakyat sipil kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berujar, ”Masya Allah, Masya Allah…” sambil memegang kepalanya. Lalu Kiai Hasyim tidak sadarkandiri.
Pada saat itu, putra-putri beliau tidak berada di Tebuireng. Tapi tak lama kemudian mereka mulai berdatangan setelah mendengar ayahandanya tidak sadarkan diri. Menurut hasil pemeriksaan dokter, Kiai Hasyim mengalami pendarahan otak (asemblonding) yang sangat serius.
Pada pukul 03.00 dini hari, bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947 atau 7 Ramadhan 1366 H, Hadratuys Syeikh KH.M. Hasyim Asy'ri dipanggil yang Maha Kuasa. Inna liLlahi wa Inna Ilayhi Raji’un.[15]
Kiai Hasyim meminta waktu satu malam untuk berfikir dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya. Isi pesan tersebut adalah:
1. Di wilayah Jawa Timur Belanda melakukan serangan militer besar-besaran untuk merebut kota-kota di wilayah Karesidenan Malang, Basuki, Surabaya, Madura, Bojonegoro, Kediri, dan Madiun.
2. Hadiratus Syeikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari diminta mengungsi ke Sarangan, Magetan, agar tidak tertangkap oleh Belanda. Sebab jika tertangkap, beliau akan dipaksa membuat statemen mendukung Belanda. Jika hal itu terjadi, maka moral para pejuang akan runtuh.
3. Jajaran TNI di sekitar Jombang diperintahkan membantu pengungsian Kiai Hasyim.
Keesokan harinya, Kiai Hasyim memberi jawaban tidak berkenan menerima tawarantersebut.
Empat hari kemudian, tepatnya pada tanggal 7 Ramadhan 1366 M., jam 9 malam, datang lagi utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang utusan membawa surat untuk disampaikan kepada Hadratusy Syeikh. Bung Tomo memohon Kiai Hasyim mengeluarkan komando jihad fi sabilillah bagi umat Islam Indonesia, karena saat itu Belanda telah menguasai wilayah Karesidenan Malang dan banyak anggota laskar Hizbullah dan Sabilillah yang menjadi korban. Hadratusy Syeikh kembali meminta waktu satu malam untuk memberi jawaban.
Tak lama berselang, Hadratusy Syeikh mendapat laporan dari Kiai Ghufron (pemimpin Sabilillah Surabaya) bersama dua orang utusan Bung Tomo, bahwa kota Singosari Malang (sebagai basis pertahanan Hizbullah dan Sabilillah) telah jatuh ke tangan Belanda. Kondisi para pejuang semakin tersudut, dan korban rakyat sipil kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berujar, ”Masya Allah, Masya Allah…” sambil memegang kepalanya. Lalu Kiai Hasyim tidak sadarkandiri.
Pada saat itu, putra-putri beliau tidak berada di Tebuireng. Tapi tak lama kemudian mereka mulai berdatangan setelah mendengar ayahandanya tidak sadarkan diri. Menurut hasil pemeriksaan dokter, Kiai Hasyim mengalami pendarahan otak (asemblonding) yang sangat serius.
Pada pukul 03.00 dini hari, bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947 atau 7 Ramadhan 1366 H, Hadratuys Syeikh KH.M. Hasyim Asy'ri dipanggil yang Maha Kuasa. Inna liLlahi wa Inna Ilayhi Raji’un.[15]
D. Penghargaan Atas Jasa Hadlrotu Syaikh Hasyim Asy’ari
Atas jasanya selama perang kemerdekaan melawan Belanda dan NICA
(1945-1947), terutama yang berkaitan dengan 3 fatwanya yang sangat penting: Pertama,
perang melawan Belanda adalah jihad yang wajib dilaksanakan oleh semua umat Islam
Indonesia. Kedua, kaum Muslimin diharamkan melakukan perjalanan haji
dengan kapal Belanda. Ketiga, Kaum Muslimin diharamkan memakai dasi dan
atribut-atribut lain yang menjadi ciri khas penjajah. Maka Presiden Soekarno
lewat Keputusan Presiden (Kepres) No. 249/1964 menetapkan bahwa KH. Muhammad
Muhammad Hasyim Asy’ari sebagai Pahlawan Nasional.[16]
Di dalam kitab A’lamul Makkiyin (ulama-ulama Makkah dari abad 9
sampai abad 14 H) yang ditulis oleh abdullah alma’allami memasukkan nama syaikh
Muhammad Hasyim Asy’ari di dalam kitabnya.[17]
Ini menunjukkan bahwa beliau adalah ulama yang mempunyai banyak ilmu dan diakui
keilmuaanya oleh para ulama (ulama jawa dan Timur Tengah), karena tidak mungkin
seseorang menjadi ulama biladil haram kecuali dapat ijazah / restu rekomendasi
dari ulama-ulama yang menjadi gurunya. Di dalam buku tersebut juga ditulis Muhammad
Muhammad Hasyim Asy’ari assyafi’i adalah seorang dai yang menyeru kepada Allah,
seorang mujahid dan syaikh ulama Indonesia (gurunya para ulama Indonesia). Ini
adalah pujian (tsana’ ) penulis kepada Hadlrotu syaikh Hasyim Asy’ari).
Berikut saya sertakan penghargaan dan pujian para ulama kepada Hadlrotu
syikh Muhammad Hasyim Asy’ari :
1. Khodimul ilmi di Masjidil Haram salah seorang imam madzhab Hanafi
Abdul Hamid Sunbul Hadidi berkata: “(Penulis kitab Adabul Alim
Walmutaallim Hadlrotu syaikh Hasyim Asy’ari) adalah seorang alim,
al’alamah (yang banyak ilmmunya), annahrir (penulis), alfahhamah (yang cepat
faham) yang dikenal dengan sifat wara’ dan taqwanya. Dengan membaca kitabnya
saya mengetahui keilmuan syaikh yang agung dan mulia, alim yang sangat fasih
bahasa arabnya(meskipun bukan orang arab) yang diagunggkan oleh para ulama pada
zamannya, ia menjadi tempat bersandar para ulama lain karena banyak ilmunya dan
kelembutan akhlaqnya, mereka rela berdesakan untuk menghadiri hidangan ilmunya
(nasihat)”.[18]
2. Khuwaidim thollabatul ilmi di masjidil haram Hasan Ibn Said
Yamani berkata: “Beliau adalah al’alamah (yang banyak ilmunya), al’amil (yang
berbuat dengan ilmunya), seorang yang sangat mulia dan cerdas (Nabil), mursyid
(pembimbing) orang-orang menuju ke jalan Allah, pendidik (murobbi)
santri-santri dengan wahyu, teladan bagi
orang lain, yang menghidupkan kembali ilmu agama, syaikh yang agung Muhammad Muhammad
Hasyim Asy’ari ibn Muhammad Asy’ari Jombang”. [19]
3. Muhammad Ali Ibn Said Yamani: “Beliau seorang penulis besar
(jalil), al’alamah, almudaqqiq (orang yang teliti), albahhasah (banyak
menelaah), almuhaqqiq (peneliti) maulana Muhammad Hasyim Asy’ari”. [20]
Dan masih banyak para ulama yang satu masa dengan beliau memuji Hadlrotu
syaikh kh. Muhammad Hasyim Asy’ari baik dari timur tangah ataupun dari
nusantara. Diantara ulama nusantara yang memuji keilmuaan dan karya-karya
beliau adalah kyai abu mansur sembung Jombang, Muhammad anwar ibn Muhammad
alawi, Muhammad alawi, kyai Muhammad faqihuddin ibn abdul karim nganjuk, kyai
abdul hamid ibn hasbullah, kyai abdul wahhab ibn habullah.[21]
E. ILMU DAN KARYA HADLROTU SYAIKH HASYIM ASY’ARI
Tidak diragukan bahwa beliau menguasai dan memahami banyak ilmu
sehingga hal itu menjadikanya sebagai panutan bagi para ulama waktu itu dan sesudahnya
sampai sekarang. Sebagai bukti luas keilmuannya dan dalamnya pemahamannya ada
banyak banyak karya yang beliau tulis sebagaimana berikut[22]:
1. Al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa
al-Aqarib wa al-Ikhwan. Berisi tentang tata cara menjalin
silaturrahim, bahaya dan pentingnya interaksisosial.
2. Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jam’iyyah Nahdhatul Ulama. Pembukaan undang-undang dasar (landasan pokok) organisasi Nahdhatul Ulama’. Tebal 10 halaman. Berisikan ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan Nahdhatul Ulama’ dan dasar-dasar pembentukannya disertai beberapa hadis dan fatwa-fatwa Kiai Hasyim tentang berbagai persoalan.
3. Risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-A’immah al-Arba’ah. Risalah untuk memperkuat pegangan atas madzhab empat. berisi tentang perlunya berpegang kepada salah satu diantara empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali). Di dalamnya juga terdapat uraian tentang metodologi penggalian hukum (istinbat al-ahkam), metode ijtihad, serta respon atas pendapat Ibn Hazm tentangtaqlid.
4. Mawaidz. Beberapa Nasihat. Berisi fatwa dan peringatan tentang merajalelanya kekufuran, mengajak merujuk kembali kepada al-Quran dan hadis, danlainsebagainya.
5. Arba’in Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jam’lyah Nahdhatul Ulama’. 40 hadits Nabi yang terkait dengan dasar-dasar pembentukan Nahdhatul Ulama’.
6. Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin. Cahaya yang jelas menerangkan cinta kepada pemimpin para rasul. Berisi dasar kewajiban seorang muslim untuk beriman, mentaati, meneladani, dan mencintai Nabi Muhammad SAW.
7. At-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat. Peringatan-peringatan wajib bagi penyelenggara kegiatan maulid yang dicampuri dengan kemungkaran.
2. Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jam’iyyah Nahdhatul Ulama. Pembukaan undang-undang dasar (landasan pokok) organisasi Nahdhatul Ulama’. Tebal 10 halaman. Berisikan ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan Nahdhatul Ulama’ dan dasar-dasar pembentukannya disertai beberapa hadis dan fatwa-fatwa Kiai Hasyim tentang berbagai persoalan.
3. Risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-A’immah al-Arba’ah. Risalah untuk memperkuat pegangan atas madzhab empat. berisi tentang perlunya berpegang kepada salah satu diantara empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali). Di dalamnya juga terdapat uraian tentang metodologi penggalian hukum (istinbat al-ahkam), metode ijtihad, serta respon atas pendapat Ibn Hazm tentangtaqlid.
4. Mawaidz. Beberapa Nasihat. Berisi fatwa dan peringatan tentang merajalelanya kekufuran, mengajak merujuk kembali kepada al-Quran dan hadis, danlainsebagainya.
5. Arba’in Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jam’lyah Nahdhatul Ulama’. 40 hadits Nabi yang terkait dengan dasar-dasar pembentukan Nahdhatul Ulama’.
6. Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin. Cahaya yang jelas menerangkan cinta kepada pemimpin para rasul. Berisi dasar kewajiban seorang muslim untuk beriman, mentaati, meneladani, dan mencintai Nabi Muhammad SAW.
7. At-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat. Peringatan-peringatan wajib bagi penyelenggara kegiatan maulid yang dicampuri dengan kemungkaran.
8. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah fi Hadits
al-Mauta wa Syarat as-Sa’ah wa Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah.
Risalah Ahl Sunnah Wal Jama’ah tentang hadis-hadis yang menjelaskan kematian,
tanda-tanda hari kiamat, serta menjelaskan sunnah dan bid’ah.
9. Ziyadat Ta’liqat a’la Mandzumah as-Syekh ‘Abdullah bin Yasin al-Fasuruani. Catatan seputar nadzam Syeikh Abdullah bin Yasin Pasuruan. Berisi polemik antara Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin Yasir. Di dalamnya juga terdapat banyak pasal berbahasa Jawa dan merupakan fatwa Kiai Hasyim yang pernah dimuat di Majalah Nahdhatoel Oelama’.
9. Ziyadat Ta’liqat a’la Mandzumah as-Syekh ‘Abdullah bin Yasin al-Fasuruani. Catatan seputar nadzam Syeikh Abdullah bin Yasin Pasuruan. Berisi polemik antara Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin Yasir. Di dalamnya juga terdapat banyak pasal berbahasa Jawa dan merupakan fatwa Kiai Hasyim yang pernah dimuat di Majalah Nahdhatoel Oelama’.
10. Dhau’ul Misbah fi Bayan Ahkam al-Nikah.
Cahayanya lampu yang benderang menerangkan hukum-hukum nikah. Berisi tata cara
nikah secara syar’i; hukum-hukum, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan.
Kitab ini biasanya dicetak bersama kitab Miftah al-Falah karya almarhum Kiai
Ishamuddin Hadziq,
11. Ad-Durrah al Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘Asyarah. Mutiara yang memancar dalam menerangkan 19 masalah. Berisi kajian tentang wali dan thariqah dalam bentuk tanya-jawab sebanyak 19 masalah.
12. Al-Risalah fi al-’Aqaid. Berbahasa Jawa, berisi kajian tauhid.
13. Al-Risalah fi at-Tasawwuf. Menerangkan tentang tashawuf; penjelasan tentang ma’rifat, syariat, thariqah, dan haqiqat. Ditulis dengan bahasa Jawa.
14. Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaju ilaih al-Muta’allim fi Ahwal Ta’limih wama Yatawaqqaf ‘alaih al-Muallim fi Maqat Ta’limih. Tatakrama pengajar dan pelajar. Berisi tentang etika bagi para pelajar dan pendidik,
11. Ad-Durrah al Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘Asyarah. Mutiara yang memancar dalam menerangkan 19 masalah. Berisi kajian tentang wali dan thariqah dalam bentuk tanya-jawab sebanyak 19 masalah.
12. Al-Risalah fi al-’Aqaid. Berbahasa Jawa, berisi kajian tauhid.
13. Al-Risalah fi at-Tasawwuf. Menerangkan tentang tashawuf; penjelasan tentang ma’rifat, syariat, thariqah, dan haqiqat. Ditulis dengan bahasa Jawa.
14. Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaju ilaih al-Muta’allim fi Ahwal Ta’limih wama Yatawaqqaf ‘alaih al-Muallim fi Maqat Ta’limih. Tatakrama pengajar dan pelajar. Berisi tentang etika bagi para pelajar dan pendidik,
15. Al-Jasus Fi Bayani Ahkami Naqus, berisi tentang penjelasan hukum seputar penggunaan bedug sebagai
tanda masuk waktu sholat.
16. Manasik Sughro Li Qosidi Ummi Quro
17. Jamiatul Maqosid Fi Bayani Tauhid Wa Fiqh Wa TaSAWwuf
18. Irsyadul Mukminin
BAB 2 : PEMIKIRAN HADLROTUS SYAIKH HASYIM ASY’ARI
A. Hadlrotu Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari Dan Aqidah
Dalam bidang aqidah Hadlrotu syikh K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari beraqidah
ahlus sunnah wal jama’ah atau yang dikenal dengan madzhab abul hasan Asy’ari.[23]
Sebagimana yang beliau jelaskan di dalam kitabnya Risalah Ahli Sunnah Wal
Jama’ah. Yaitu faham aqidah yang bersandar kepada Alqur’an dan assunnah
sesuai manhaj Rosulullah dan sahabatnya dan faham inilah yang dipegang oleh
mayoritas ulama salaf. Begitu juga di dalam kitab a’lamul makkiyin, beliau
dinisbahkan kepada abul hasan Asy’ari dalam masalah aqidah. [24]
Pemikiran beliau dalam masalah aqidah diantaranya beliau menyatakan
bahwa menziarahi makam Nabi termasuk ibadah yang agung dan sarana untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Ia adalah sunnah (jalan) yang dilakukan oleh
umat Islam (salafussolih) dan telah disepakati oleh para ulama sebagaimana
banyaknya hadis yang menerangkan hal tersebut[25].
Dan barangsiapa yang menyakini selain ini berarti ia telah menyelisihi Allah
dan rosulnya serta para ulama. Hal ini beliau jelaskan di dalam kitabnya Annurul
Mubin Fi Mahabbati Sayyidil Mursalin dengan jelas dan disertai dalil dan
penjelasan para ulama. [26]
Hadlrotu syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari membolehkan tawassul,
istighosah, dan meminta syafaat dengan perantara Nabi Muhammad SAW, para wali
dan orang sholih. Beliau menjelaskan
firman Allah :
يا أيها الذين
أمنوا اتقوا الله وابتغوا إليه الوسيلة
“wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kalian kepada Allah dan
carilah wasilah (perantara) kepadaNya.”
Arti wasilah adalah setiap perkara yang Allah jadikan sebagai sebab
untuk mendekatkan diri kepadaNya dan memintaNya untuk memenuhi kebutuhannya.
Lafadz wasilah di dalam ayat ini bersifat umum yang mencangkup wasilah dengan
orang-orang yang mempunyai keistimewaan seperti para Nabi, para wali, orang sholih
baik di waktu hidup maupun sesudah mati atau dengan melaksanakan amal sholih
seperti yang diperintahkan. [27]
di dalam kitab annurul mubin, beliau menjelaskan tawassul dengan jelas disertai
dengan dalil dan penjelasan para ulama dan menjelaskan kelompok yang melarang
tawassul. [28]
Hadlrotu syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari menolak segala bid’ah yang
bertentangan dengan syariat sebagaimana sabda Rosulullah SAW : كل بدعة ضلالة
Adapun pandangan beliau tentang bid’ad dijelaskan di dalam kitabnya
Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah sebagai berikut:
“Bid’ah menurut syaikh zaruq adalah membuat sesuatu yang baru dalam
masalah agama, seakan menyerupai agama padahal tidak baik berupa
shuroh(gambaran) atau haqiqah (kenyataan). Sebagaimana sabda rosulullah saw :
من أحدث في
أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
“barang
siapa yang mengadakan hal baru dalam urusan kami ini (agama), padahal tidak
bagian darinya maka tertolak (mardud).
"وكل محدثة بدعة "
“Dan
setiap yang baru adalah bid’ah”
Para ulama telah menjelaskan yang dimaksud dalam kedua hadis
tersebut kembali kepada perubahan hukum dengan keyakinan apa yang bukan ibadah
diyakini sebagai ibadah (pendekatan diri kepada Allah SWT ), jadi maksud ihdas bukanlah perkara baru secara
mutlak.
Syaikh Zaruq menjelaskan : “Timbangan bid’ah ada tiga:
Timbangan pertama,
dengan melihat perkara yang baru, yaitu apabila ada dasar dalilnya di dalam
syariat maka hal tersebut bukan bid’ah. Tetapi kalau tidak dasar dalilnya
bahkan menyelisihi dalil maka yang demikian itu sesat dan batil. Dan jika
dillihat ternyata ada dasar dalilnya tetapi juga mengandung syubhat, dan tidak mudah dibedakan, maka
dilihat alasan – alasannya, kemudian memilih alasan yang kuat.
Timbangan Kedua, melihat
kaidah-kaidah para aimmah dan ulama salaf yang berjalan di atas sunnah, maka
jika perkara tersebut menyelisihi semua kaidah tersebut, maka perkara tersebut
tidak dianggap, dan jika sesuai dengan dasar kaidah para ulama maka perkara
tersebut dibenarkan. Dan jika para ulama berselisih dalam masalah asal / dasar
atau furu’, maka yang diikuti yang ada dalilnya. Diantara kaidah-kaidah
tersebut adalah sesungguhnya apa yang telah dilakukan oleh para ulama salaf dan
pengikutnya khalaf tidak boleh dikatakan sebaagai perkara bid’ah atau
perbuatan tercela (madzmum). Dan apa yang telah mereka tinggalkan dengan alasan
yang jelas tidak juga disebut sebagai perkara sunnah ataupun hal yang terpuji
(mahmud). Adapun perkara yang ada dalilnya (para ulama telah menetapkan
dalilnya) tetapi tidak ada riwayat bahwa mereka melakukannya, (dalam hal ini
ulama berbeda pendapat): imam malik berpendapat: yang demikian adalah bid’ah,
karena para ulama tidaklah meninggalkan perkara tersebut kecuali ada dalilnya.
Adapun imam assyafi’I berpendapat: yang demikian bukanlah bid’ah, meskipun
ulama salaf tidak melakukannya, karena terkadang mereka meninggalkan amalan
tersebut karena suatu alasan pada waktu itu atau karena ada hal yang lebih
utama dari itu, sedangkan dasar hukum diambil dari syariat (bukan ulama), dan
telah ada. Begitu juga mereka berselisih dalam suatu perkara yang tidak ada
dalil sunnah yang melarangnya, imam malik berkata : perkara tersebut bid’ah.
Adapun imam syafii berkata: perkara tersebut bukan bid’ah. Ia bersandar dengan
hadis rosulullah saw : ما تركت لكم فهو عفو “apa yang aku tinggalkan untuk kalian
adalah dimaafkan (afwun)”
Dari sini mereka berselisih dalam hal membangun perkantoran
(idarah), dzikir dan doa dengan jahr (bersuara) atau dzikir berjama’ah.
Karena hal tersebut ada dalilnya tetapi tidak ada riwayat ulama salaf melakukan
hal tersebut. Karena itu setiap orang yang berpendapat dalam masalah tersebut
tidak disebut sebagai ahli bid’ah karena berbeda dengan pendapat lainnya. Dan
tidak boleh mengatakan bahwa yang berpendapat demikian itu batil dan sesat
karena perkara tersebut mengandung syubhat. Kalau hal itu dibolehkan maka
mengarah kepada menjadikan umat sebagai ahli bid’ah semua (tabdi’ul ummah).
Setiap mujtahid mendapatkan pahala, jika salah mendapatkan satu dan jiika benar
mendapatkan dua sebagaimana disebutkan didalam hadis rosulullah saw.
Timbangan ketiga, membedakan perkara yang baru dengan syawahid
ahkam (hukum-hukum islam) yaitu hukum syariah yang enam, wujub, nadb / sunnah,
tahrim, karohah, khilafull aula, dan ibahah. Maka setiap perkara yang sesuai
dengan dalil yang benar dan jelas, perkara tersebut disamakan dengan perkara
yang sudah ada dalilnya, tetapi jika perkara tersebut tidak sesuai dengan
dalil, yang demikian itu bid’ah.
Adapun Macam-macam Bid’ah ada tiga;
Pertama, Bid’ah
Shorihah, yaitu perkara yang tidak ada dasar dalilnya dan menyelisihi hukum
syariat baik yang wajib, sunnah, mandub, atau lainnya, karena hal ini mampu
mematikan sunnah dan menghilangkan kebenaran, dan inilah seburuk-buruk bid’ah.
Kedua, Bid’ah Idhofiyah,
yaitu bid’ah yang ditambahkan pada suatu perkara, seandainya diterima maka
tidak diperbolehkan untuk diperselisihkan apakah itu termasuk sunnah atau
bid’ah sebagaimana khilaf yang dijelaskan sebelumnya.
Ketiga, Bid’ah
Khilafiyah, yaitu yang terbangaun dari dua dasar yang saling tarik menarik
diantara keduanya. Sebagaimana imam malik mengatakan bid’ah sedang Imam Syafi’i
mengatakan tidak bid’ah seperti dalam masalah membangun perkantoran, dzikir
jama’ah.
Karena itulah Imam Al’iz Ibn Abdissalam membagi bid’ah atau hawadis
(perkara yang baru) ke dalam hukum yang lima: bid’ah adalah perkara yang tidak
dilakukan pada masa rosulullah saw, bisa menjadi
Wajib, seperti
mempelajari ilmu nahwu, ghoribul qur’an dan sunnah yang membantu untuk memahami
syariat agama.
Muharram (haram),
seperti madzhab qodariyah, jabariyah dan mujassimah.
Mandub (sunnah), seperti
mendirikan pesantren dan sekolahan, dan setiap kebaikan yang tidak dilakukan
pada masa awal Islam.
Makruh, seperti
menghiasi masjid (zahrofatul masajid), mengihasi alqur’an.
Mubah (boleh), seperti berjabat
tangan setelah sholat.”
Demikian inilah pandangan hadrotus syaikh kh. Muhammad Hasyim
Asy’ari dalam bid’ah.”[29]
Dalam masalah maulid Nabi SAW. Beliau tidak melarang umat untuk
merayakan maulid Nabi SAW selama tidak terdapat hal-hal yang melanggar syariat
yaitu berkumpulnya orang untuk membaca Alqur’an, membacakan hadis-hadis yang
berkaitan tentang awal kelahiran Nabi atau sirah Nabi SAW. Tetapi ketika
merayakan maulid Nabi SAW disertai kemungkaran seperti saling pukul-memukul,
menabuh gendang (musik), ikhtilath (bercampuurnya laki-laki dan perempuan yang
tidak mahram, permainan yang melalaikan seperti main kartu, tarian, terlena
dengan permainan, tertawa dan teriakan serta mengencangkan suara di dalam masjid
maka hal itu tidak diperbolehkan.[30]
Dalam menguatkan pendapatnya ini, belaiu menukil pendapat Syaikhul
Islam Hafidul ‘Asri Abu Fadl Ahmad Ibnu Hajar Al-Asqolani: “sesungguhnya
merayakan maulid adalah bid’ah yang tidak ada satu pun riwayat dari ulama salaf
sholih pada tiga kurun pertama, meskipun demikian perayaan maulid mengandung
hal-hal yang baik dan yang tidak baik. Barangsiapa yang merayakan maulid hanya
dengan hal-hal yang baik dan menjauhi yang munkar, maka yang demikian itu
bid’ah hasanah, tapi jika tidak seperti itu maka tidak boleh. [31]
Setelah Ibnu Hajar kaji tentang hadis yang berkaitan dengan
perayaan maulid, beliau mendapatkan dalil yang menguatkan hal itu, yaitu hadis
yang di riwayatkan oleh Imam Bukhori dan
Imam Muslim, dari nabi shollallahu alaihi wasallam :
أن النبي صلى
الله عليه وسلم قدم المدينة فوجد اليهود يصومون يوم عاشرواء فسألهم فقالوا هو يوم
أغرق الله فيه فرعون ونجي موسى فنحن نصومه شكرا لله تعالى.
Bahwa nabi muhammad saw datang ke madinah dan mendapati orang-orang
yahudi sedang berpuasa hari asyura, kemudian beliau bertanya kepada mereka
tentang hal itu, mereka berkata:” itu adalah hari Allah swt menenggelamkan
firaun dan menyelamatkan musa, maka kami berpuasa sebagai rasa syukur kepada
allah swt.”
Dari hadis ini diambil pelajaran bahwa Bolehnya bersyukur kepada Allah
SWT atas karunai yang Allah SWT berikan pada hari tertentu karena telah memberi
nikmat atau menyelamatkan dari musibah dan merayakannya setiap tahun sebagaimana yang tersebut dalam hadis diatas.
Ungkapan rasa syukur bisa berupa dengan memperbanyak ibadah seperti sholat,
sujud, puasa, shodaqoh, membaca alqur’an. Tidak ada hari yang lebih besar dimana
nikmat Allah diberikan kepada manusia melebihi hari ketika Rosulullah Saw lahir.
Dari sini patut untuk merayakan hari tersebut diqiyaskan dengan kisah nabi Musa
As pada hari asyura.[32]
Hadlrotu syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari menolak faham Syiah
Rofidhoh dan mengelompokkan mereka sebagai ahli bid’ah karena mereka mencela dan mencaci maki abu
bakar, umar serta membenci para sahabat tetapi berlebih-lebihan (ghuluw) kepada
ali ibn abi tholib dan ahlul bait. [33]
Begitu juga Hadlrotu Syaikh K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari menganggap
kelompok Ibadiyah sebagai ahli bid’ah karena mereka mengatakan : “sesungguhnya
seorang hamba jika sudah mencapai puncak mahabbah, bersih hatinya dari lalai,
memilih iman daripada kekufuran, maka ia tidak lagi wajib melakukan perintah
dan meninggalkan larangan dan Allah tidak akan memasukkannya ke dalam neraka
meskipun melakukan dosa besar”. Sebagian lain mengatakan : “ibadah-ibadah
dhohiriyah tidak lagi wajib, yang ada hanyalah perenungan dan memperbaikai
ahwal batiniyah.”[34]
Beliau juga menukil perkataan sayyid Muhammad tentang ibadhiyah di dalam
bukunya syarh ihya’ : “Yang demikian itu adalah kekufuran, zindik dan sesat.
Tetapi mereka sudah ada sejak zaman dulu, mereka adalah orang-orang bodoh dan
sesat, tidak ada di kepala mereka ilmu syar’I sebagaimana mestinya.”[35]
Diantara mereka ada yang mengatakan
terjadinya reinkarnasi
berpindahnya arwah dari orang ke orang lain atau tubuh binatang. Begitu
juga kelompok sufi yang bodoh yang mengatakan adanya manugalling kawulo gusti
(alhulul wal ittihad) bahwa segala sesuatu adalah wujud Allah. Al’alamah al
amir Abdussalam mengatakan: “Yang demikian itu kekafiran yang nyata”.[36]
Karya – karya Hadlrotuy Syaikh K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari dalam
bidang aqidah diantaranya:
1. Risalatu Ahli Sunnah Wal Jama’ah
2. Tanbihat Wajibat Liman Yasna’u Maulid Bil Munkarat
3. Attibyan Fi Nahyi An Muqotho’atil Aqorib Wal Ikhwan
B. Hadlrotu Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari Dan Ilmu Fiqih
Dalam bidang fiqih beliau bermadzhab Syafi’i, sebagaimana yang beliau
katakan secara langsung di dalam kitab Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah.[37]
Begitu juga di dalam kitab A’lamul Makkiyin beliau dinisbahkan ke
Imam Syafi’i[38]
dalam madzhab fiqih. [39]
[40]
Pendapat Hadlrotu syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari tentang madzhab: “Pada
hakikatnya madzhab ulama tidak hanya terbatas pada empat madzhab karena diantara ulama-ulama besar juga mempunyai
pengikut (madzhab) seperti sufyan assauri dan sufyan ibn uyainah, ishaq ibn
ruhawaih, dawud dhohiri, auzai. Tetapi Hadlrotu syaikh kh. Hasyim asyari
menyakini sebagaimana yang diyakini para
ulama bahwa madzhab yang muktabar (yang diakui oleh para ulama) ada empat yaitu
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Hal itu dikarenakan tidak adanya
ketsiqohan tentang menisbatkan madzhab kepada ulama-ulama (aimmah) diatas
karena tidak adanya sanad yang tersambung dengan baik dan terjaga. Berbeda
dengan madzhab yang empat, dimana banyak para pengikut madzhab yang mengerahkan
segala kemampuan dan keilmuannya untuk meneliti berbagai pendapat dan menjelaskan
pendapat / perkataan yang tsabit atau tidak, sehingga timbul rasa aman dari
segala bentuk perubahan, dan diketahui mana yang kuat dan mana yang lemah (atau
dengan kata lain sanadnya tersambung dan terjaga dari perubahan dan pergantian).”[41]
Meskipun Hadlrotu syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari bermadzhab Syafi’i,
beliau dekat dengan para ulama yang berbeda madzhab. Bahkan banyak ulama
madzhab Hanafi yang semasa dengan beliau yang memujinya. [42]
Diantara pendapat beliau (sesuai dengan pendapat jumhur ulama)
dalam masalah fiqih adalah beliau mewajibkan bagi orang yang tidak mempunyai
kemampuan untuk berijtihad mutlak untuk taqlid kepada para mujtahid dan
menerima fatwa mereka.[43]
Sebagaimana firman Allah SWt:
فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
“maka bertanyalah kepada ahli ilmu, jika
kalian tidak mengetahui”
Hadlrotu syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari memberikan nasihat supaya
tidak menjadikan perbedaan madzhab sebagai sebab terpecahnya umat, dan
berpegang teguh kepada agama Allah, mengikuti Alqur’an dan Assunnah, dan apa
yang telah ditempuh oleh para sahabat, tabiin serta para aimmah seperti Imam
Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad. Beliau juga menasehati
supaya jangan menjadikan perbedaan madzhab sebagai sebab putusnya silaturrahmi.[44]
Hal ini sangat jelas di dalam kitabnya Attibyan Fi Nahyi An
Muqoti’atil Arham Wal Aqorib Wal Ikhwan (penjelasan tentang larangan
memutuskan hubungan silaturrahmi antara keluarga, kerabat dan teman). Lebih
jelas lagi beliau terangkan pada bab Mawaidh (nasihat-nasihat) sebagaimana
berikut: “Di hadapan kalian orang-orang kafir telah menduduki negri ini,
siapakah diantara kailan yang bangkit untuk mengintai dan mengawasi pergerakan
mereka? Wahai para ulama, untuk hal seperti inilah kalian berungguh-sungguh dan
ta’assub (fanatik) , tetapi ta’asubnya kalian di dalam urusan furu’ agama, dan
mengajak orang-orang untuk masuk dalam satu madzhab dan satu pendapat maka hal
itu tidak diterima Allah dan rosulNya dan tidak pula diridoiNya. Tidaklah yang
membawa kalian untuk melakukan hal itu melainkan murni ta’assub, rasa iri dan dengki.
Sungguh seandainya Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, Ibnu
Hajar, Romli masih hidup niscaya mereka sangat
mengingkari hal itu pada kalian dan berlepas diri atas yang kalian
perbuat. Kalian mengingkari perkara-perkara yang menurut para ulama adalah
masalah khilafiyah. Kalian melihat banyak orang-orang awam meninggalkan sholat
padahal menurut imam syafi’I, malik dan ahmad balasan bagi mereka adalah
dipotong lehernya, tetapi kalian tidak mengingkari apa yang mereka lakukan
(tidak menasehati). Bahkan ada tetangganya tidak sholat kalian hanya berdiam
diri. Jadi kenapa kalian membesarkan permasahalan furu’iyah tetapi tidak
mengingkari kemungkaran yang disepakati seperti zina, riba, khomr dan yang
lain.[45]
Hadlrotu syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari melarang penggunaan bedug
dan kentong sebagai tanda masuknya waktu sholat. Pada awalnya beliau memilih
pendapat yang membolehkan hal tersebut, tetapi setelah beliau teliti, perbuatan
tersebut seperti perbuatan yang dilakukan orang-orang nasrani ketika menandai
masuk waktu ibadah mereka. Dari sini beliau memilih pendapat yang mengharamkan
perbuatan tersebut. Dalam masalah ini beliau menulis kitab yang diberi judul Aljasus
Fi Bayani Hukmi Al-Naqus.[46]
Diantara karya beliau di
dalam bidang fiqih adalah sebagai berikut:
1. Dloul Misbah Fi Bayani Ahkam Nikah
2. Audlohul Bayan Fima Yata’llaqu Bi Wadzoifi Romadhon
3. Jami’atul Maqosid
4. Manasik Sughro Li Qoshidi Ummi Quro
5. Aljasus Fi Bayani Ahkami Naqus
C. Hadlrotu Syaikh Muhammad
Hasyim Asy’ari Dan Tasawwuf (Tazkiyatun Nafs)
Dalam ilmu tasawuf Hadlrotu syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari mengikuti
madzhab Imam Ghozali dan Imam Abu Hasan Syadzili.[47]
Karena pentingnya ilmu tasawwuf Hadlrotu syaikh hayim Asy’ari
memberikan penjelasan singkat mengenai tasawwuf, sekaligus sebagai rambu-rambu
bagi orang yang ingin mendalami ilmu tasawwuf. Hal ini beliau jelaskan di dalam
risalahnya yang berjudul Jami’atul Maqosid sebagaimana berikut:
DASAR-DASAR TASAWWUF
Dasar-dasar tasawwuf ada lima, pertama takut (taqwa) kepada Allah
baik di waktu sepi atau di waktu ramai, kedua, mengikuti sunnah dalam perkataan
dan perbuatan, ketiga, berpaling dari mahluk (hanya bergantung kepada Allah),
keempat, ridho atas pemberian Allah baik sedikit atau banyak, kelima,
kembali kepada Allah di waktu senang dan susah.
Ketaqwaan diperoleh dengan sifat wara’ dan istiqomah. Mengikuti
sunnah dengan berhati-hati dan kemulian akhlaq. Berpaling dari mahluk dengan
sabar dan tawakkal. Ridho kepada Allah dengan qona’ah dan pasrah. Kembali
kepada Allah dengan bersyukur kepadaNya di waktu senang dan berlindung
kepadaNya di waktu susah.
Dasar dari itu semua ada lima, pertama, uluwul himmah
(kemauan yang tinggi), menjaga diri dari hal yang dilarang, ibadah dengan baik,
melaksanakan azimah (tekad), dan mengagungkan nikmat Allah. Barangsiapa yang
tinggi kemauannya, terangkat derajatnya. Dan siapa yang menjaga diri dari
larangan Allah, maka Allah akan menjaga harga dirinya, barang siapa yang
beribadah dengan baik (melayani Allah dengan beribadah) Allah akan
memuliakannya, dan siapa yang melaksanakan tekadnya, Allah akan senantiasa memberinya
hidayah, dan siapa yang mengagungkan nikmat Allah pasti bersyukur atas nikmat,
dan orang yang mensyukuri nikmat Allah, Allah akan memberinya tambahan nikmat.
Ciri-ciri itu semua ada lima, pertama, mencari ilmu untuk
melaksanakan perintah Allah, kedua, dekat kepada para ulama dan teman
untuk menambah ilmu, ketiga, meninggalkan rukhsoh dan ta’wil karena
hati-hati, keempat, disiplin waktu untuk berdzikir (wirid), kelima,
mencela nafsu dalam segala hal agar
mampu keluar dari hawa nafsu dan selamat kehancuran.
Kendala mencari ilmu adalah berteman dengan orang yang sedikit
ilmunya (akalnya), umurnya, dan pengetahuan agamanya karena tidak tahu dasar (dalil) dan
kaidah. bahaya teman adalah bujukan dan
banyak bicara. akibat meninggalkan rukhsoh dan takwil agar timbul kelembutan
jiwa, akibat mencela nafsu adalah menjaga keistiqomahan. Sebagaimana firman Allah
SWt :
وإن تعدل كل عدل لا يؤخذ منها
Obat untuk penyakit hati ada lima, yaitu mengosongkan perut dengan
sedikit makan dan minum, berlindung kepada Allah SWt dari menghadapi sesuatu,
menjauhkan diri dari tempat-tempat yang dikhawatirkan jatuh didalamnya,
senantiasa beristighfar dan bersholawat di waktu malam dan siang, dan berkawan
dengan orang yang mengajak kamu mengenal Allah.
Sebagai penutup penjelasan menuju Allah SWt yaitu dengan tobat dari
segala yang diharamkan dan dimakruhkan, mencari ilmu sesuai yang dibutuhkan,
senantiasa dalam keadaan thoharoh (suci), melaksanakan sholat fardlu di awal
waktu dan berjamaah, rowatib, rajin sholat dhuha 8 rokaat, 6 rokaat antara
sholat maghrib dan isya, sholat malam, witir, puasa senin-kamis, ayamul bid,
dan puasa hari-hari yang mempungyai keutamaan, membaca Alqur’an dengan
tadabbur, memperbanyak istighfar, sholawat dan senantiasa berdzikir pagi dan
petang.[48]
BAB 3: PENGARUH DAKWAH HADLROTU SYAIKH K.H. HASYIM ASY’ARI
A. Dalam Bidang Keilmuan
Keilmuan yang dikuasai syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari yang
bersumber dari para ulama besar baik dari tanah jawa maupun tanah suci biladil
haram Makkah dan Timur Tengah tidak perlu disangsikan. Bahkan beliau
menjadi salah seorang guru di masjidil haram saat itu. Begitu juga beliau
banyak menulis kitab yang menjadi rujukan bagi umat Islam terutama orang Indonesia.
Seperti yang telah dikumpulkan oleh cucu beliau Ishomudin Hadziq dan diberi
judul Irsyadus Sari Fi Jam’i Mushonnafat Muhammad Hasyim Asy’ari (kumpulan
karya syaikh Hasyim Asy’ari). Ini menunjukkan kapasitas beliau sebagai ulama
besar. bahkan disebutkan di dalam kitab a’lamul makkiyin beliau adalah gurunya
ulama Indonesia.
Kecintaannya terhadap ilmu, beliau tuangkan dalam tulisannya yang
berjudul Adabul Alim Wal Muta’allim, sebagai rambu-rambu tentang
adab seorang guru dan murid dalam bertholabul ilmi sehingga ilmu yang mereka
pelajari menjadi ilmu yang bermanfaat dan membawa barokah. Dalam mengokohkan
eksistensi pendidikan, Hadlrotu syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari mendirikan
sekolah atau pondok di tebu ireng. Banyak santri yang datang kepadanya untuk
menuntut ilmu dan kemudian mendirikan pesantren dengan visi dan misi yang sama[49].
Yaitu berpegang teguh kepada Alqur’an dan assunnah sesuai manhaj para ulama
salafus sholih serta meninggalkan segala macam bid’ah yang menyelisihi ajaran Islam.
B. Dalam Bidang Sosial Masyarakat
Hadlrotu syaikh ahsyim Asy’ari adalah seorang ulama yang
memperhatikan kondisi umat Islam disekitarnya. Diantara bukti konkret dalam hal
ini adalah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU).
Latar Belakang Mendirikan Organisasi Nahdlatul Ulama (NU)
Penjajahan panjang yang mengungkung bangsa Indonesia, menggugah
kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan
pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang kini
disebut Gerakan Kebangkitan Nasional. Semangat Kebangkitan Nasional terus
menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai organisai pendidikan,
sosial, dan keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air)
tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri
atau Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar
(Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki
perekonomian rakyat.
Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar adalah, KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid hadratus syeikh. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik.
Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab Wahabi sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin, karena dianggap bid’ah. tetapi, kalangan pesantren yang menghormati keberagaman, menolak pembatasan madzhab dan penghancuran warisan peradaban itu. Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah, yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka Kiai Hasyim bersama para pengasuh pesantren lainnya, membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai KH. Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya. Pada saat yang hampir bersamaan, datang pula tantangan dari berbagai penjuru dunia atas rencana Ibnu Saud, sehingga rencana tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.[50]
Pada tanggal 16 rajab 1344 H, Hadlrotu syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari bersama rekan-rekannya diantaranya kyai abdul wahhab hasbullah, kyai bashri syansuri, dan kyai-kyai besar jawa lainnya mendirikan organisasi nahdlotul ulama (NU).[51] Organisasi ini adalah organisasi keagamaan yang menyerukan kepada umat Islam supaya berpegang teguh kepada Alqur’an dan assunnah serta menjauhi kesesatan dan bid’ah[52], dan menggerakkan mereka untuk berpartisipasi dalam jihad menegakkan kalimatullah[53]. [54]
Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar adalah, KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid hadratus syeikh. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik.
Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab Wahabi sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin, karena dianggap bid’ah. tetapi, kalangan pesantren yang menghormati keberagaman, menolak pembatasan madzhab dan penghancuran warisan peradaban itu. Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah, yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka Kiai Hasyim bersama para pengasuh pesantren lainnya, membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai KH. Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya. Pada saat yang hampir bersamaan, datang pula tantangan dari berbagai penjuru dunia atas rencana Ibnu Saud, sehingga rencana tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.[50]
Pada tanggal 16 rajab 1344 H, Hadlrotu syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari bersama rekan-rekannya diantaranya kyai abdul wahhab hasbullah, kyai bashri syansuri, dan kyai-kyai besar jawa lainnya mendirikan organisasi nahdlotul ulama (NU).[51] Organisasi ini adalah organisasi keagamaan yang menyerukan kepada umat Islam supaya berpegang teguh kepada Alqur’an dan assunnah serta menjauhi kesesatan dan bid’ah[52], dan menggerakkan mereka untuk berpartisipasi dalam jihad menegakkan kalimatullah[53]. [54]
Pondok pesantren tebu ireng Jombang dan organisasi Islam Nahdlotul
Ulama (NU) adalah bukti nyata peninggalan Hadlrotu syaikh Hasyim Asy’ari.
C. Dalam Menghadapi Penjajahan Dan Resolusi Jihad Fii Sabilillah
1. Membangkitkan Jihad Melawan Penjajah
Sosok Hadlrotu syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari dan
organisasinya NU mempunyai pengaruh dalam membangkitkan gerakan protes sosial
dan jihad fi sabilillah melawan penjajah. Menukil dari Api Sejarah 2: “Sebagaimana
yang terjadi di sukamanah pada 18 februari 1944, jum’at kliwon, 22 safar 1363. salah seorang ulama dari nahdlatul ulama kh.
Zainal mustofa bersama dengan kiai emas, kiai damon, kiai aip abdoel hakim, dan
kiai najmuddin melakukan gerakan protes kepada jepang bukan karena menuntut
padi yang telah dirampas oleh balatentara jepang, melainkan lebih cenderung
sebagai perlawanan politik. Beliau juga memotivasi bahwa gugur dalam melawan
penjajahan adalah gugur sebagai syuhada.[55]
Disusul dengan gerakan protes sosial di pesantren lohbener indramayu, cirebon
yang dipimpin oleh ulama nahdlotul ulama hadji madrijas, hadji kartiwa, kiai
srengseng, kiai kusen pada 30 juli 1944, ahad pon, 9 syawwal 1363. Tidak
memperjuangkan masalah padi yang dirampas melainkan sebagai resolusi politik
dalam bentuk jihad fi sabilillah yang dipimpin ulama dan menuntut Indonesia
merdeka berdasarkan Islam. Dari kenyataan tuntutan politik ini, terpaksa
dijawab secara politik oleh perdana mentri koiso dengan janji kemerdekaan di
kelak kemudian hari, pada 7/8 september 1944 M, 18/19 ramadhan 1363. “[56]
Di dalam Api Sejarah disebutkan “Menurut
kolonel A.H. Nasution, dalam Tentara Nasional Indonesia, djilid 1, “bala
tentara jepang dan polisi tidak mudah memadamkan gerakan protes sosial yang
dipimpin oleh para ulama. Memakan waktu berbulan-bulan melakukan penyerangan,
baru berhasil menangkap para ulama indramayu dari nahdlotul ulama.”[57]
2. Pembentukan Organisasi Semi Militer, Laskar
Hizbullah
Dari rahim Nahdlotul Ulama yang diketuai Hadlrotu
syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari lahir organisasi semi militer, lasjkar
hizboellah. Dalam waktu relatif singkat, terdaftar 400.000 pemuda ansor dan
keluarga nahdliyin, dan yang telah mendapatkan kesempatan dilatih sejumlah
50.000 orang. Dari jumlah yang terlatih ini, berarti nahdlotul ulama (NU)
memiliki 50 batalyon lasjkar hizboellah. Tempat latihanya di cibarusa bogor,
jawa barat, walaupun massa terbesar nahdlotul ulama (NU) terkonsentrasi di jawa
timur.[58]
3. Resolusi Jihad
Pagi hari tanggal 9 November 1945 tiga pesawat bomber
melayang-layang di atas langit Surabaya sambil menyebarkan pamflet berisi
ultimatum yang ditandatangani Mayor Jenderal E.C.Mansergh. ultimatum dan
instruksi E.C.Mansergh yang sangat merendahkan martabat Bangsa Indonesia
menjadikan rakyat surabaya marah. KH Muhammad Hasyim Asy’ari yang saat itu
berada di Surabaya, menyambut hinaan Mayor Jendera E.C.Mansergh itu dengan
mengubah isi Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 menjadi lebih operasional, yaitu
dari pernyataan resolusi berbunyi:
“Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja…” menjadi “Bagi tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak (bersenjata ataoe tidak) yang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari Soerabaja, Fardloe ‘Ain hukumnya untuk berperang melawan moesoeh oentoek membela Soerabaja..”
Seruan jihad yang disampaikan KH Muhammad Hasyim Asy’ari pada 9 November 1945 itu dengan cepat menyebar ke berbagai daerah yang berjarak sekitar 94 km dari Surabaya seperti Mojokerto, Lamongan, Tuban, Pasuruan, Jombang, Malang, dan bahkan ke daerah-daerah yang lebih jauh seperti Probolinggo, Jember, Lumajang, Situbondo, Banyuwangi, Rembang, bahkan Cirebon. Para kyai, santri, satuan-satuan dari barisan Hizbullah dan Sabilillah berbondong-bondong ke Surabaya, bergabung dengan pasukan TKR Kota Surabaya, PRI, BPRI, TKR Laut, TKR Pelajar, Polisi Istimewa, Barisan Buruh, dan warga Kota Surabaya untuk menyambut serangan umum pasukan Inggris di bawah Mayor Jenderal E.C.Mansergh pada 10 November 1945. [59]
pernyataan ini Senada dengan yang ditulis oleh Prof. Dr. A.Mansur Suryanegara didalam bukunya Api Sejarah: “Dalam menghadapi ancaman sekutu dan NICA, Hadlrotu syaikh memberikan fatwa Jihad Fi Sabillillah untuk melawan penjajah. Resolusi jihad ini dikuatkan dengan resolusi jihad Masyumi.
“Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja…” menjadi “Bagi tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak (bersenjata ataoe tidak) yang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari Soerabaja, Fardloe ‘Ain hukumnya untuk berperang melawan moesoeh oentoek membela Soerabaja..”
Seruan jihad yang disampaikan KH Muhammad Hasyim Asy’ari pada 9 November 1945 itu dengan cepat menyebar ke berbagai daerah yang berjarak sekitar 94 km dari Surabaya seperti Mojokerto, Lamongan, Tuban, Pasuruan, Jombang, Malang, dan bahkan ke daerah-daerah yang lebih jauh seperti Probolinggo, Jember, Lumajang, Situbondo, Banyuwangi, Rembang, bahkan Cirebon. Para kyai, santri, satuan-satuan dari barisan Hizbullah dan Sabilillah berbondong-bondong ke Surabaya, bergabung dengan pasukan TKR Kota Surabaya, PRI, BPRI, TKR Laut, TKR Pelajar, Polisi Istimewa, Barisan Buruh, dan warga Kota Surabaya untuk menyambut serangan umum pasukan Inggris di bawah Mayor Jenderal E.C.Mansergh pada 10 November 1945. [59]
pernyataan ini Senada dengan yang ditulis oleh Prof. Dr. A.Mansur Suryanegara didalam bukunya Api Sejarah: “Dalam menghadapi ancaman sekutu dan NICA, Hadlrotu syaikh memberikan fatwa Jihad Fi Sabillillah untuk melawan penjajah. Resolusi jihad ini dikuatkan dengan resolusi jihad Masyumi.
Resoloesi djihad, 60 miljoen kaoem moeslimin Indonesia
siap berjihad fi sabilillah. Perang di djalan Allah oentoek menentang tiap-tiap
pendjadjahan pada 1 dzulhijjah 1364 H, rabo pon, 7 November 1945.
Resoloesi djihad tersebut sebagai kelanjutan
resoloesi djihhad nahdlotul ulama, 22 oktober 1945, senin pahing, 15 dzulqaidah
1364 H yang dirumuskan di kantor pengoeroes besar ansor nahdlotul ulama – PB
ANO, jalan bubutan VI/2 surabaya.[60]
Untuk merealisasikan resolusi jihad tersebut,
kyai soebhi dari parakan magelang, mengubah bambu runcing yang pejal tidak
berongga, khas parakan penuh doa, sebagai senjata pembangkit keberanian para
laskar hizbullah yang ikut serta dalam perang kemerdekaan. [61]
Dengan adanya resoloesi djihad nahdlatul
oelama, 22 oktober 1945, senin pahing, 15 dzulhijjah 1364, dan panggilan takbir
dari bung tomo, hadirlah para ulama antara lain: Hadlrotu syaikh rois akbar kh.Muhammad
Hasyim Asy’ari dari pesantren tebu ireng Jombang jawatimur, kh. Asjhari dan
kiai toenggoel woeloeng dari djogjakarta, kh. Abbas[62]
dari pesantren buntet cirebon, dan kh. Moestofa kamil dari partai sjarikat Islam
garut jawa barat, ikut serta memimpin palagan surabaya.
Kehadirannya membangkitkan para ulama untuk
berpartisipasi dalam barisan sabilillah, bersama pemuda dan santri yang
tergabung dalam gerakan pemuda Islam Indonesia, 2 oktober 1945, dan lasjkar
hizboellah, bertujuan menghadang pendaratan tentara sekutu dan NICA yang akan
menegakkan kembali penjajahan di Indonesia.[63]
Oleh karena perang melawan kekuatan pasukan
sekutu pada 10 November 1945 sabtu legi, 4 dzulhijjah 1364 H dilandasi semangat
Jihad Fii Sabilillah, maka teriakan “Allahu Akbar!” sebagai penanda
jihad dikumandangkan sejak peluru pertama meletus sampai tarikan nafas terakhir
seorang pejuang kehilangan nyawa menjadi syuhada. Dan Inggris yang menduga
Rakyat Surabaya akan tunduk menyerah dalam tempo tiga hari – setelah kota
dibombardir dari darat, laut dan udara – terbukti harus bersimbah darah dan
airmata karena sampai tiga bulan bertempur, kekuatan rakyat Indonesia yang
dikobari semanbgat Jihad fii Sabilillah tidak kunjung menyerah. Dan Inggris pun
menandai momentum bersejarah yang paling keras itu dengan sebaris kalimat: Once
and Forever![64]
Surabaya berubah menjadi lautan api dan darah.
Pertempuran ini menunjukkan jiwa patriotik penuh keberanian dari para ulama dan
santri, diperingati sebagai hari pahlawan.[65]
PENUTUP
Dari uraian
makalah diatas jelas bahwa hadrotus syaikh K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari layak
untuk dicatat sebagai salah satu rijal al-dakwah wa al-fikr. Ia adalah pahlawan, mujahid sekalis ulama
ummah. Tidak hanya dikenal sebatas luas nusantara tetapi kebesarannya
menjadikannya ia dikenal seluruh dunia baik kawan maupun lawan. Banyak ulama
yang menyanjung keilmuan yang beliau miliki, baik dari jawa maupun dari timur
tengah. Begitu juga ia sangat ditakuti oleh para musuh, karena ia mampu
membangkitkan perlawanan meski harus mengorbankan harta dan nyawa sekalipun.
Kebesaran dan
keluasan ilmu yang diperoleh bukanlah suatu hal yang muncul tiba-tiba, tetapi
butuh proses waktu yang tidak singkat. Pendidikan yang ditanamkan oleh
keluarganya sedari kecil, menumbuhkan di dalam hati dan pikirannya untuk
mencintai ilmu dan ulama, dan itu dibuktikan dengan petualangannya dalam
mencari ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain, dari tanah jawa hingga
tanah suci biladil haram. Disana ia belajar kepada para ulama besar, yang
banyak mempengaruhi pola pikir dan kepribadiannya, dan tanpa disadari kebesaran
para ulama menular kepada dirinya.
Setelah
menguasai berbagai bidang disiplin ilmu, hadrotus syaikh Muhammad Hasyim
Asy’ari menjadikannnya sebagai bekal untuk berdakwah. Lewat keteladanan dan
keilmuannya banyak santri dan ulama yang datang kepadanya untuk mencari ilmu.
Tidak berhenti dalam pendidikan semata, ia mendirikan jam’iyah nahdlatul ulama
sebagai sarana untuk berdakwah dalam lingkup yang lebih luas meliputi pendidikan,
sosial bahkan lahir dari rahimnya semi militer hizbullah. Ia adalah sosok yang
keimanannya terpantul pada kepribadiannya.
Hadlrotu syaikh K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari sebagai pembangkit
resolusi jihad nahdlatul ulama 22 oktober 1945 dalam menghadapi pndaratan
tentara sekutu inggris dan NICA. Berperan aktif memimpin perlawanan ulama dan
santri terhadap tentara sekutu inggris dan NICA di surabaya, pada 31 oktober
1945 yang berdampak matinya brigadir jendral Mallaby. Demikian pula dalam
pertempuran surabaya 10 november 1945, bersaama kiai abbas dari pesantren
buntet cirebon, serta kiai subkhi dari parakan wonosobo yang terkenal dengan
bambu runcing parakan.
Dengan terbentuknya partai Islam Indonesia masyumi maka resolusi
jihad nahdlatul ulama, pada 7 november 1945, 1 dzulhijjah 1364, menjadi
resolusi jihad umat Islam Indonesia. Oleh karena itu, ketika Hadrotus Syaikh
Kh. M. Hasyim Asy’ari meninggal, umat Islam Indonesia dan partai Islam
Indonesia masyumi kehilangan ulama besar dalam menghadapi agresi militer
Belanda pertama yang baru dilancarkan pada 21 juli 1947. Terutama keluarga
besar Nahdlatul Ulama, terlanda duka sedalam-dalamnya.[66]
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bantani, Nawawi, Nashoihul Ibad (Jakarta: Darul
Kutub Islamiyah. Cet. 1: thn. 2010).
Al-Ma’allami, Abdullah. A’lamul makkiyin, (Makkah:
Dar Furqon Turost Islami, cet.1, thn. 2000)
Al-Sinan, Ahmad Dan Al-Anjari, Fauzi. Ahlu Sunnah Al’asyairoh
syahadatu ulama al-ummah wa adillatuhum (Dar Al-Dliya’)
Asy’ari Hasyim, Muqoddimah Qonun Asasi Li Nahdlatull Ulama.
(Jombang: maktabah turost Islami cet.1, tahun. 1415H)
Asy’ari, Hasyim, Al-Nur Al-Mubin Fi Mahabbati Sayyidil Mursalin.
(Jombang: maktabah turost Islami cet.1, tahun. 1415H)
Asy’ari, Hasyim, Attibyan, (Jombang: maktabah turost
Islami cet.1, tahun. 1415H)
Asy’ari, Hasyim, Risalah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah,
(Jombang: maktab turots Islami cet.1, tahun. 1415H).
Asy’ari, Hasyim. Adabul Alim Wal Muta’alim (Jombang:
maktabah turost Islami cet.1, tahun. 1415H)
Asy’ari, Hasyim. Al-jasus fi bayani ahkami al-naqus.
(Jombang: maktabah turost Islami cet.1, tahun. 1415H)
Asy’ari, Hasyim. Al-Tanbihat Al-Wajibat Li Man Yasna’u Al-Maulid
Bi Al-Munkarat. (Jombang: maktabah turost Islami cet.1, tahun. 1415H)
Asy’ari, Hasyim. Jami’atul maqosid fi bayani tauhid wa fiqh wa
taSAWwuf. (Jombang: maktabah turost Islami cet.1, tahun. 1415H)
At-Tarmasi, Muhammad Mahfud, Hasyiyah At-tarmasi
(Libanon: Darul Minhaj, cet.1 : 2011).
Hadziq, ‘Ishomuddin (penyusun). Irsyadus sari fi jam’I
mushonnafat syaikh Hasyim Asy’ari, (Jombang: Maktabah Turots Islami
cet.1, tahun. 1415H)
Suryanegara, ahmad mansur, Api sejarah (bandung: salam
madani, cet. IV. Tahun. 2012)
[1] Abdullah
alma’allami, A’lamul makkiyin, (makkah: dar furqon turost islami, cet.1,
thn. 2000) hal. 1/350-351
[2]‘ishomuddin
hadziq (pnyusun), Irsyadus sari fi
jam’I mushonnafat syaikh hasyim Asy’ari, , hal.3, adabul alim wal
muta’alim, hasyim Asy’ari, (jombang: maktabah turost islami cet.1 1415H)
hal.3,
(kitab irsyadus sari adalah kitab
karya hadrotus syaikh KH. Hasyim Asy’ari, yang di dalamnya terdapat sembilan
belas kitab yang menerangkan berbagai macam disiplin keilmuan yang sangat
mendasar yang lazim digunakan oleh kaum nahdliyin, baik stuktural maupun
kultural, baik kyai, ustadz ataupun santri.)
[3] Ibid,, hal.3
[4] KH. Muhammad Khalil bin KH. Abdul
Lathif bin Kiai Hamim bin Kiai Abdul Karim bin Kiai Muharram bin Kiyai Asrar
Karamah bin Kiai Abdullah bin Sayid Sulaiman. Nama terakhir dalam silsilahnya,
Sayid Sulaiman, adalah cucu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, satu
dari sembilan Wali Songo.
lahir pada 11 Jamadilakhir 1235
Hijrah atau 27 Januari 1820 Bangkalan, Madura, Jawa Timur. Dia berasal dari
keluarga ulama. Beliau belajar dari para
ulama jawa. Pada 1276 Hijrah 1859, Kiai Muhammad Khalil melanjutkan
pelajarannya ke Makkah.
Sepulang dari Makkah, ia terkenal
sebagai ahli nahwu, fikih, dan tarikat di tanah Jawa. Dan mendirikan pondok
pesantren di Desa Cengkebuan. Kiai Muhammad Khalil al-Maduri wafat dalam usia
yang lanjut, 106 tahun, pada 29 Ramadan 1341 Hijrah, bertepatan dengan tanggal 14
Mei 1923 Masehi.[4]
[5]
http://www.tebuireng.org/14/11/2012
[6] Abdullah
alma’allami, A’lamul makkiyin,Ibid. hal. 1/350-351
[7] Abdu al-Mu'ti Muhammad Nawawi ibn Umar al-
Tanara al-Jawi al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi
al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun
1815 M/1230 H. beliau pergi ke makkah dan belajar banyak ilmu dari para ulama
besar saat itu. Diantara mereka adalah Syeikh Ahmad Khatib (Indonesia), Sayid
Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan , Muhammad Khatib al-Hanbali, SyekhYusuf
Sumbulawini dan SyekhAhmad Nahrawi (mesir). Diantara karyanya adalah tafsir
munir (marohul labid), nashoihul ibad, uqudul lijain, Fath ai-Majid, Tijan
al-Durari, Nur al Dzulam, al-Futuhat al-Madaniyah, al-Tsumar al-Yaniah, Bahjat
al-Wasail, Kasyifat as-Suja dan Mirqat al-Su'ud, Syarh Safinat a/-Naja, Syarh
Sullam a/-Taufiq, Nihayat a/-Zain fi Irsyad a/-Mubtadi'in dan Tasyrih a/a
Fathul Qarib.
Syaikh
Nawawi termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H/19 M.
Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A 'yan 'Ulama' al-Qarn aI-Ra M' 'Asyar
Li al-Hijrah,. AI-Imam al-Mul1aqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid
'Ulama al-Hijaz. Pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M. Nawawi menghembuskan
nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Ia dimakamkan di Ma'la dekat makam
Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi Muhammad SAW. (Syaikh nawawi
bantani, Nashoihul Ibad (jakarta: darul kutub islamiyah. Cet. 1: thn.
2010). Hal.3, www.al-hasani.com, /www.kitabklasik.net/)
[8] Ahmad
Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi, lahir di Koto
Gadang, IV Koto, Agam, Sumatera
Barat,
pada hari Senin 6 Dzulhijjah 1276 H (1860 Masehi) dan wafat di Mekkah hari Senin 8 Jumadil Awal 1334 H (1916
M). Awal berada di Mekkah, ia berguru
dengan beberapa ulama terkemuka di sana seperti Sayyid Bakri Syatha, Sayyid
Ahmad bin Zaini Dahlan, dan Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makkiy.
Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah adalah tiang tengah dari mazhab Syafi'i
dalam dunia Islam pada permulaan abad ke XX. Ia juga dikenal sebagai ulama yang
sangat peduli terhadap pencerdasan umat. imam Masjidil Haram ini adalah ilmuan yang menguasai ilmu
fiqih, sejarah, aljabar, ilmu
falak, ilmu hitung, dan ilmu ukur (geometri).
[9] Muhammad
mahfud ibn abdullah ibn abdul manan assyafi’I, lahir di termes pacitan, jawa timur
12 jumadil ula 1285 H. sejak kecil sudah hafal alqur’an serta mempelajari
dasar-dasar keilmuan dari para kiai di tanah jawa. Tidak puas dengan ilmu yang
sudah ia pelajari, beliau pergi ke makkah untuk memperdalam ilmu dari para
ulama besar disana sehingga Beliau menjadi
seorang ulama yang mengusai banyak disiplin bidang keilmuan seperti
fiqih, usul, hadis, ilmu qiroat, tasawwuf dan lain-lain. Bahkan beliau menjadi
umdah ulama syafi’I pada masanya di makkah. Banyak karya yang sudah beliau
tulis, diantaranya: hasyiyah tarmasi 7 jilid dalam bidang fiqih[9],
bughyatul adzkiya’, kifayatul mustafid, minhah khoriyah, khil’ah fikriyah,
manhaju dzawin nadhor, is’aful matholi’, insyirohul fuad fi qiroah imam hamzah
wa riwayatay kholaf wa kholad, tsulatsiyat bukhori, siqoyah mardliyah, inayatul
muftaqir dll.[9]
Meninggal di makkah sebelum terbenamnya matahari hari ahad tahun 1338 H.
dimakamkan di ma’la, makkah al-mukarramah. Lihat kitab (Syaikh mahfud tarmasi,
Hasyiyah Attarmasi (libanon: darul minhaj, cet.1 : 2011). Hal. 11-21,
kifayatul mustafid tentang sanad dan biografinya. )
[10] Di dalam kitab
irsyadus sari disebutkan tiga sanad hadis yaitu shohih bukhori, shohih muslim
dan muwattho’ imam malik yang beliau riwayatkan dari syaikh muhaddis mahfud
tarmasi.
[11] Abdullah
alma’allami, A’lamul makkiyin,op.cit. hal. 1/350-351
[12] Salafiyah
yaitu bermanhaj sesuai dengan manhaj salafus sholih (generasi terbaik umat
islam yaitu generasi sahabat, tabiin dan tabiut tabiin), syafi’iyah
yaitu mengikuti imam syafi’I dalam memahami ajaran islam terutama dalam
memahami hukum-hukum islam yang berkaitan dengan amalan (fiqh).
[13] Abdullah
alma’allami, A’lamul makkiyin,ibid. hal. 1/350-351
[14]
http://www.tebuireng.org/14/11/2012
[15]
http://www.tebuireng.org/
[17] Abdullah
alma’allami, A’lamul makkiyin,op.cit. hal. 1/350-351
[18] Adabul alim
wal muta’allim, hasyim Asy’ari, (jombang: maktabah turots islami cet. 1 thn
1415H) hal. 105
[19] Ibid, hal 106
[20] Ibid, hal 107
[21] Arrisalah fi
bayani hukmi naqus, hasyim Asy’ari (jombang: maktab turost islami) hal. 16-20
[22] Lihat kitab
irsyadus sari fi jam’I mushonnafat hasyim Asy’ari. (jombang: maktabah turost
islami)
[23] Lihat kitab Ahlu
Sunnah Al’asyairoh Syahadatu Ulama Al-Ummahh Wa Adillatuhum, hamad
sinan wa fauzi anjari( dar aldliya’).
direkomendasikan oleh para ulama muasir diantaranya Syaikh Said Romadhan Buthi,
Syaikh Wahbah Zuhaili, Syaikh Alli Jum’ah, Syaikh Muhammad Hasan Hito, Syaikh
Muhammad Fauzi Faidullah, Syaikh ‘Ajil Jasim Annasyami, Syaikh Muhammad Abdul
Goffar Assyarif, Syaikh Abdul Fattah Albizm, Syaikh Husain Abdullah Ali, Syaikh
Ali Zainul Abidin Aljifri.)
[24] A’lamul Makkiyin,op.cit.
hal. 1/350-351
[25]عن
ابن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : من زار قبري وجبت له شفاعتي (رواه
الدارقطني)
“barang siapa yang menziarahi
kuburku, maka wajib baginya mendapatkan syafaatku”
Ibnu mulqon mengatakan tentang hadis
ini di dalam kitabnya tuhfatul muhtaj : hadis shohih , hasan.
وروى عن حاطب أن
رسول الله صلى الله عليه وسلم قال من زارني بعد موتي فكأنما زارني في حياتي، ومن
مات بأحد الحرمين بعث من الأمنين.
“barangsiapa yang menziarahi aku
setelah kematianku, maka ia seperti menziarahi aku ketika aku masih hidup. Dan
barang siapa mati di salah satu tempat suci (makkah dan madinah) maka ia
dibangkitkan dengan rasa aman.”
[26] Hasyim Asy’ari,
annur almubin fi mahabbati sayyidil mursalin(jombang: makabah turost islami).
Hal. 66
[27] Hasyim Asy’ari,
Annur Almubin Fi Mahabbati Sayyidil Mursalin, op.cit. 69
[28] Kelompok yang
dimaksud adalah ibnu taimiyah. Ia melarang tawassul dengan jah nabi, dan jah
orang sholih yang sudah meninggal. Imam taqiyuddin assubuki mengatakan: tidak
ada seorang ulama yang melarang hal itu sebelumnya sehingga datang ibnu
taimiyah. (Hasyim Asy’ari, annur almubin fi mahabbati sayyidil mursalin,
op.cit. 70)
[29] Hasyim
asy’ari, risalah ahli sunnah wal jama’ah,op.cit. hal.6-8
[30] Hasyim Asy’ari,
Al-Tanbihat Al-Wajibah Liman Yasna’ Al-Maulid Bil Munkarot, (jombang:
maktabah turost islami). Hal. 9-11. (kitab ini diberi ppengantar oleh para
ulama: yusuf al-dajawi anggota jama’ah
kibar ulama al-azhar al-syaarif, mustofa abu saif alhijami ulama dan khotib
masjidil haram, ahmad sa’ad ali ulama al-azhar)
[31] Ibid, hal.
25-26
[32] Ibid, hal
25-26
[33] Hasyim Asy’ari,
Risalah ahlu sunnah wal jama’ah, (jombang: maktab turots islami). Hal
9-11
[34] Hasyim
Asy’ari, Risalah ahlu sunnah wal jama’ah,op.cit. hal.11
[35] Ibid, hal.12
[36] Ibid, hal.12
[37]Hasyim Asy’ari,
Risalah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, Op.cit. hal. 9
[38] Imam syafi’I
sebagai imam madzhab bernama asli Muhammad bin
Idris bin Al-‘Abbas bin ‘Uthman bin Syafi’, (150H – 204 H). Mazhab imam syafi’i
telah berkembang dan menjalar pengaruhnya di banyak tempat, di kota dan di
desa, di seluruh negara Islam. Pengikut-pengikutnya terdapat di Iraq dan
kawasan-kawasan sekitarnya, di Naisabur, Khurasan, Muru, Syria, Mesir, Yaman,
Hijaz, Iran dan di negara-negara timur lainnya hingga ke India, China,
indonesia, srilangka, filipina, malaysia, tailand dan lain-lain.
[39] Abdullah
Ma’allami, A’lamul makkiyin,op.cit. hal. 1/350-351
[40] Pandangannya
tentang madzhab, beliau bermadzhab syafii dan menjadikannya sebagai madzhab
organisasi yang ia dirikan yaitu NU (nahdlotul ulama). Yang demikian karena
dengan bermadzhab akan memudahkan seorang muslim (terutama yang masih awam/
baru belajar) dalam memahami agama dan lebih tsiqoh terhadap kebenaran karena
sanad ulama yang tidak terputus sehingga mampu terbebas dari syubhat, atau
menafsirkan ayaat dan hadis sesuai dengan akal atau kemauan sendiri tanpa
melihat pendapat para ulama yang memahaminya dari para ulama diatas mereka
(gurunya). Hal ini bukan berati beliau tidak memperbolehkan untuk belajar
madzhab yang lain, tetapi beliau inggin supaya orang yang baru belajar agama
fokus ke salah satu madzhab yang muktabar supaya mampu memahami agama dengan
baik, karena tidak mungkin seorang yang baru belajar agama belajar berbagai
madzhab dalam waktu yang bersamaan. Kecuali kelak kalau mereka sudah mendalami
dan memahami dengan baik, dia boleh berijtihad. Hal seperti inilah yang terjadi
pada para ulama salaf.
[41] Hasyim
Asy’ari, Attibyan, op.cit. hal. 30-31
[42] Lihat hasyim Asy’ari,
Adabul Alim Wal Muta’allim, hal. 100-105
[43] Hasyim Asy’ari,
Risalah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Opcit, , hal. 16
[44] Ibid. hal. 15
[45] Hasyim Asy’ari,
Attibyan Bab Maawaid. Hal 33
[46] Hasyim Asy’ari,
Aljasus Fi Bayani Hukmi Al-Naqus (jombang: maktabah turost islami). Hal.
2
Adapun sebab kenapa hadrotus syaikh
hasyim asy’ari memilih pendapat yang mengharamkan bedug adalah karena hal tersebut
menyerupai syiar yahudi dan nasrani. Dan mencapurkan syiar islam adzan dengan
syiar yahudi dan nasrani tidak diperbolehkan.
[47] Hasyim
asy’ari, Risalah Ahli Sunnah wal Jama’ah, op.cit hal. 9
[48] Hasyim Asy’ari,
Jamiatul Maqosid(jombang: maktabah turost islami) hal. 34-36)
[49] Banyak dari
santrinya yang menjadi ulama di indonesia bahkan timur tengah seperti yang saya
tuliskan pada halaman sebelumnya, murid-murid hadrotus syaikh hasyim Asy’ari.
[51] Hadrotus
syaikh hasyim Asy’ari dalam mendirikan nahdlatul ulama menyusun 40 hadis
sebagai dasar-dasar organisasi tersebut (Arbaina Hadisan Tata’allaqu Bi
Mabadi’i Jam’iyah Nahdlatul Ulama). Lihat hasyim Asy’ari, attibyan,
(jombang: maktabah turst islami). Hal. 36-40.
[52] Bid’ad
adalah perkara baru yang dibuat dalam masalah agama. Di dalam kitab risalah
ahlus sunnah wal jamaah, hadrotus syaikh hasyim Asy’ari menjelaskan tentang
bid’ah dan dosa orang yang menyeru kepada kesesatan dengan
penjelasaan yang jelas berdasarkan dari
penjelasan para ulama besar yang bersumber dari alqur’an dan assunnah.
[53] NU (Nahdlatul
Ulama) yang diketuai hadrotus syaikh hasym Asy’ari terbukti turut andil dalam jihad
fi sabilillah melawan penjajah era kemerdekaan bahkan beliaulah orang yang
menyerukan resolusi jihad. bung tomo senantiasa meminta fatwa dan arahan dari
beliau sebelum menyerang atau menghadapi musuh. beliau juga memanggil para
ulama dari berbagai wilayah jawa untuk datang ke surabaya dalam rangka jihad
fi sabilillah melawan tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration)
dan inggris atau yang dikenal dengan pertempuran 10 November 1945. (lihat api
sejah)
[54] Hasyim Asy’ari
,Adabul alim wal muta’alim, (jombang: maktabah turost islami cet.1
1415H) hal.3
[55] Api sejarah,
op.cit, hal 89-90 , 99
[56] ibid, hal. 105
[57] ibid. hal. 95
[58] ibid. hal. 103
[59]
http://nu.or.id/9nov 2012
[60] Api sejarah,
op.cit. hal. 143
[61] ibid. hal. 206
[62] Dalam berita kedaulatan rakyat yang bersumber
dari berita pihak tentara sekutu inggris bahwa sejak terjadinya pertempuran
surabaya sampai dengan 17-12-1945, tentara sekutu inggris menderita kerugian
tujuh buah pesawat thunderbolt tertembak jatuh oleh serangan penagkis udara
dari pihak indonesia. Dijelaskan lebih lanjut bahwa pihak indonesia memiliki
kecakapan menembak pesawat sama dengan tentara jerman. Apakah pesawat yang
terjatuh ini, akibat doa kiai abbas? (lihat Api
sejarah , hal. 217)
[63] Api sejarah,
opcit, hal. 208
[64]
http://nu.or.id/9nov 2012
[65] Api sejarah,
ibid. hal. 210
[66] Api sejarah.
Hal . 240