Jumat, 31 Agustus 2012

Hibah, Hadiah atau Risywah (suap menyuap)


 Fenomena Maraknya Pemberian, Apakah Masuk Kategori Hadiah Atau Suap
Pemberian dalam bahasa arab disebut Hibah, adapun hibah menurut syariat adalah  akad memberikan kepemilikan suatu barang kepada orang lain saat masih hidup  tanpa ganti  tertentu.[1]
Islam mengajarkan seseorang untuk saling memberi dan memberikan penghormatan bagi orang yang suka memberi. Banyak sekalli hadis rosulullah saw dalam hal tersebut diantaranya
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «تَهَادَوْا تَحَابُّوا» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي الْأَدَبِ الْمُفْرَدِ، وَأَبُو يَعْلَى بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ
Dari abu hurairah dari Nabi saw bersabda : saling memberilah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.’
“tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah.”
Begitu juga islam tidak memandang besar kecilnya pemberian yang diberikan seseorang kepada orang lain dan tidak pula meremehkannya meskipun itu tidak seberapa. Karena hal yang demikian mampu menumbuhkan rasa cinta dan sayang dan simpati kepada sesama. Sebagaimana sabda rosulullah saw :
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: «قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ، لَا تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا، وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari sini jelas bahwa tujuan utama pemberian adalah supaya tumbuh rasa saling mencintai dan saling menyanyangi antar sesama. Adapun kalau tujuan utamanya adalah ketamakan supaya mendapatkan sesuatu yang  lebih dari pemberiannya yang diberikan kepada orang lain maka hal  ini tercela.sebagaimana pendapat imam son’ani dalam subulus salam. [2]

Berkata imam khottobi: sebagian ulama mengelompokan manusia dalam hal memberi pada tiga tingkatan :
1. pemberiaan seseorang kepada bawahannya seperti pembantunya, sebagai bentuk penghormatan dan kelembutan kepadanya. Yang demikian itu tidak meminta balasan.
2. pemberian anak kecil kepada orang besar, meminta bantuan dan pertolongan, yang demikian hukum membalas adalah wajib
3. pemberian seseorang kepada orang lain, atau pemberian teman kepada temannya. Pada umumnya yang demikian akan memunculkan rasa cinta dan kedekatan. Adapun jika yang memberi pemberian mensyaratkan balasan maka itu lumrah (lazim). ـ[3]
PEMBERIAN, HADIAH ATAU SUAP
وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «مَنْ شَفَعَ لِأَخِيهِ شَفَاعَةً، فَأَهْدَى لَهُ هَدِيَّةً، فَقَبِلَهَا، فَقَدْ أَتَى بَابًا عَظِيمًا مِنْ أَبْوَابِ الرِّبَا» رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُد،
“dari abu umamah, meriwayatkan dari nabi saw bersabda: “barangsiapa yang meminta pertolongan kepada saudaranya, lalu ia memberinya hadiah dan diterima, maka sungguh ia telah mendatangi pintu besar dari pintu-pintu riba.”
Hadis ini menjelaskan bahwa haramnya hadiah yang ditujukan untuk meminta bantuan (pertolongan). Baik itu dengan maksud sengaja ataupun tidak.maka hal ini masuk dalam kategori riba karena mengharapkan tambahan dari orang lain tanpa adanya ganti. Imam  shon’ani menjelaskan syafaah (bantuan) dalam hadis ini sebagai berikut:
“Apabila bantuan itu pada sesuatu yang wajib seperti meminta pertolongan kepada raja untuk menyelamatkan orang yang terdlolimi, atau meminta pertolongan pada sesuatu yang haram seperti menjadikan orang yang dlolim sebagai pemimpin bagi rakyatnya, maka yang pertama wajib memberikan pertolongan tetapi mengambil hadiah sebagai ganti hal tersebut adalah haram. Adapun yang kedua memberikan pertolongan tersebut haram, begitu juga mengambil hadiah dari hal tersebut hukumnya haram.
Adapun jika meminta pertolongannya pada hal yang mubah (diperbolehkan) maka kemungkinan boleh mengambil hadiah sebagai bentuk balasan amal kebaikan yang tidak wajib. Tapi bisa saja hukumnya haram karena memberi bantuan adalah hal yang mudah yang tidak butuh balasan.” Wallahu a’lam.[4]
Begitu juga orang yang berhutang kemudian ketika membayar hutang ia menambahkannya hadiah, dalam masalah ini kalau ia sudah terbiasa melakukannya dan sebagai ungkapan terima kasih karena sudah ditolong maka hadiah tersebut boleh diambil. Tapi jika hal tersebut adalah syarat dari orang yang menghutangi maka yang demikian haram karena itu riba.
Adapun risywah atau suap adalah haram sebagaimana dijelaskan alqur’an dan sunnah maupun ijma’.
وَقَدْ قَالَ تَعَالَى: {وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ} [البقرة: 188]
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: «لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي الْحُكْمِ» . رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالْأَرْبَعَةُ، وَحَسَّنَهُ التِّرْمِذِيُّ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ.
Sungguh indah sekali penjelasan imam shon’ani dalam menjelaskan hadis ini di dalam subulus salam, sebagai berikut: [5]
“Sebagai kesimpulan, bahwa harta yang diambil hakim (qodli) ada empat macam yaitu suap, hadiah, gaji, dan rizki.
Yang pertama Risywah (suap). Jiwa harta suap itu digunakan supaya hakim memutuskan baginya tanpa kebenaran, maka yang demikian haram bagi orang yang memberi dan penerima.   Dan jika harta suap digunakan supaya hakim memutuskan baginya dengan kebenaran atas lawannya maka harta suap itu haram bagi hakim tetapi tidak bagi yang memberi.  Karena harta itu untuk mendapatkankan kembali haqnya, hal ini seperti gaji menyewa wakil untuk menyelesaikan sengketa. Ada yang mengatakan hal itu tetap haram, karena menjerusmuskan hakim ke dalam dosa.
Yang kedua, Hadiah, jika harta atau hadiah itu diberikan kepada hakim sebelum ia menjabat sebagai hakim maka tidak haram baginya memberikannya setelah itu. Tapi jika tidak diberikan kepada hakim kecuali setelah ia menjabat ; jika orang yang memberinya itu tidak pernah mempunyai kasus dengan orang lain yang pernah ia tangani, ia boleh menerima hadiah itu tetapi makruh. Tetapi jika orang yang memberinya pernah mempunyai kasus atau permusushan dengan orang lain yang iatangani, maka hadiah itu haram bagi hakim dan pemberi. Dan ini termasuk risywah bathil.
Yang ketiga, Ujrah (Upah). Jika hakim sudah mendapatkan gaji dari kas baitul mal atau negara, maka haram baginya menerima upah dari orang lain. Karena kerjanya dalam menangani masalah hukum sudah disediakan gaji. Tapi jika ia tidak mendapatkan gaji dari baitul mal atau kas negara mak tidak mengaapa ia mengambil upah sesuai usahanya tersebut. Dan jika ia mengambilnya lebih dari yang ia kerjakan maka hukumnya haram.  Wallahu a’lamu bissowab.

HADIAH ATAU PEMBERIAN  YANG TIDAK BOLEH DITOLAK[6]
Sabda Rosulullah saw :
1 - عن ابن عمر قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ثلاث لاترد: الوسائد والدهن  واللبن
“tiga yang tidak ditolak : bantal, minyak wangi dan susu.”
2 - وعن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " من عرض عليه ريحان فلا يرده لانه خفيف المحمل طيب الريح " (3) .
“barang siapa yang ditawari minyak wangi janganlah  ia menolaknya, karena ia ringan dibawa dan harum aromanya.”
3 - وعن أنس أن النبي صلى الله عليه وسلم كان لايرد الطيب.
“dari anas bahwa rosulullah saw tidak menolak (pemberian)  minyak wangi.”



[1] Subulussalam, hal 2 /129,darul hadis
[2] Subulussalam, hal 2 / 136
[3] Fiqih sunnah, dar kitab arabi, 3/543
[4] Subulus salam 2/59
[5] Ibid, 2/577
[6] Ibid, 3/553
Powered By Blogger